Konten dari Pengguna

Melestarikan Keberlanjutan Ekologi dengan Kesadaran Ekologis

Siti Fadhlatul Farihah
Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12 Juni 2022 6:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siti Fadhlatul Farihah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ekosistem Alam. Sumber : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ekosistem Alam. Sumber : Pixabay
ADVERTISEMENT
Ekologi sebagai bagian dari ekosistem erat kaitannya dengan usaha atau tindakan apa saja yang berhubungan dengan lingkungan alam. Merujuk dari arti kata “ekologi” itu sendiri sebagaimana yang dipaparkan oleh Yoga, et al. (2021) dalam Ekologi Lingkungan, berasal dari Bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata berupa oikos, yang berarti rumah atau habitat dan logos, yang berarti ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ekologi dapat diartikan sebagai satu cabang atau bidang ilmu yang mempelajari mengenai rumah atau habitat (lingkungan).
ADVERTISEMENT
Dalam pengertian lain, ekologi sebagaimana yang telah penulis singgung di awal, merupakan bagian dari ekosistem yang berfokus pada interaksi timbal balik antar organisme dengan lingkungan sekitarnya. Sebuah pengertian yang menurut saya terbilang klise dan umum, namun pada hakikatnya menyimpan makna yang lebih mendalam. Sebelum saya menjabarkan makna ini, saya ingin berangkat sekaligus menyinggung terlebih dahulu mengenai permasalahan lingkungan hidup.
Antara Lingkungan Hidup dengan Moralitas
Seperti yang dikutip oleh Keraf (2010) pada bagian pendahuluan bukunya yang berjudul Etika Lingkungan Hidup, mengatakan bahwa masalah lingkungan hidup merupakan masalah moral atau perilaku manusia. Sederhananya, lingkungan hidup yang kita lihat, alami, dan rasakan hingga sekarang, mustahil akan bermasalah, jika cara pandang dan perilaku (moral) manusia yang juga bermasalah. Tentu kita paham akan adanya hukum kausal (sebab-akibat) yang jika ditarik dalam topik bahasan ini, manusialah yang menjadi satu-satunya individu sebagai penyumbang terbesar atas segala permasalahan lingkungan hidup yang terjadi selama ini.
ADVERTISEMENT
Permasalahan lingkungan hidup yang terjadi di alam cukup tergambar jelas dalam kasus-kasus pencemaran maupun kerusakan baik di laut, hutan, atmosfer, tanah, maupun air. Begitu seterusnya. Saya rasa tidak perlu lagi menyebutkan faktor atau penyebab itu semua dapat terjadi, namun yang jelas ketika kita melihat atau menemukan fenomena tersebut, dapatlah dikatakan sekali lagi bahwa itu semua merupakan ulah atau perilaku congkaknya manusia.
Lebih lanjut Keraf mengatakan bahwa lingkungan hidup bukan hanya sebatas permasalahan teknis. Saya sepakat dengan itu, mengingat lingkungan hidup bukanlah sebuah objek yang semata-mata hanya dapat memenuhi semua kepentingan manusia. Ia (lingkungan hidup) bukan pula satu hal yang terpisah dengan kehidupan manusia. Ia justru sebagai satu kesatuan dengan manusia yang saling menopang dan berhubungan. Kondisi ini yang sejatinya akan menciptakan siklus kehidupan yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
ADVERTISEMENT
Menurut saya, seperti apa yang dikatakan oleh Keraf tadi, permasalahan lingkungan hidup—sebagai permasalahan teknis—yang terjadi dari dulu hingga kini, tidak hanya dapat diatasi oleh hal-hal yang bersifat teknis pula, melainkan ia juga harus dibarengi dengan hal-hal yang bersifat non-teknis. Permasalahan teknis yang dimaksud tadi berupa hal yang mencakup semua tindakan atau upaya pencegahan maupun penanggulangan atas permasalahan lingkungan hidup. Misal, jika terjadi banjir atau longsor, maka tindakan penanggulangan atau pencegahannya ke depannya berupa tidak menebang pohon sembarangan, tidak membuang sampah sembarangan ke sungai atau selokan, menanam hutan mangrove atau bakau, tidak membangun perumahan di pinggiran kali, dan seterusnya.
Adapun permasalahan non-teknis yang dimaksud berupa etika atau moralitas manusia sebagaimana yang diungkapkan oleh Keraf sebagai cara untuk mengatasi dasar atau akar permasalahan lingkungan hidup. Etika atau moralitas ini menurut hemat saya juga mencakup kesadaran segenap manusia untuk tetap melestarikan lingkungan hidup agar jangan sampai terjadi permasalahan yang dapat merugikan alam dan manusia itu sendiri. Kesadaran inilah yang saya sebut disebut dengan kesadaran ekologis.
ADVERTISEMENT
Kesadaran Ekologis di Tengah Peradaban Modern
Dalam sebuah artikel terbitan LIPI pada 2021 silam yang berjudul Kesadaran Ekologis Pascapandemi: Sebuah Tinjauan Filosofis, kesadaran ekologis merupakan sebuah prinsip untuk merekognisi (mengakui) seluruh entitas yang ada di alam semesta, baik yang hidup seperti manusia, maupun nonhidup seperti lingkungan. Sebuah prinsip yang menurut saya cukup sederhana, tapi bagi banyak kalangan—yang kurang akan kesadaran ekologis—nyatanya prinsip ini seringkali dianggap remeh. Bahkan, cenderung diabaikan.
Kita ambil contoh seperti penggunaan bahan bakar fosil yang kian marak digunakan hingga kini sejak abad ke-18, tepat pada saat revolusi industri menampilkan pesonanya. Kita pasti memahami dampak negatif dari penggunaan bahan bakar fosil yang berlebih bagi keberlangsungan lingkungan. Asap karbon yang dihasilkan dari penggunaan bahan bakar fosil itu yang kerap digunakan oleh berbagai kalangan baik dari pihak industri, domestik, maupun publik mengakibatkan pemanasan global (global warming) yang hingga hari ini persoalan itu tak kunjung berakhir.
ADVERTISEMENT
Para ahli atau pakar mengklaim bahwa penggunaan bahan bakar fosil khususnya pada sektor energi merupakan penyumbang emisi gas karbondioksida (rumah kaca) terbesar di dunia. Ini diperkuat dengan data yang diperoleh dari Institute for Essential Service Reform dalam situs resminya, di Indonesia saja sepanjang tahun 2019, industri pada sektor energi masih menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar sebanyak 45,7% selain sektor penggunaan lahan, belum lagi sub sektor pembangkit listrik menyumbang sekitar 35% emisi gas rumah kaca, yang diikuti oleh transportasi dan industri masing-masing sebesar 27%. Data ini baru menunjukkan satu gambaran umum pada skala nasional. Kita belum lagi berbicara pada skala global, yang kemungkinan besar akumulasi dampak penggunaan bahan bakar fosil ini jauh lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, penggunaan bahan bakar ini mengubah wajah peradaban dunia pramodern saat itu, namun di sisi lain, penggunaan bahan bakar fosil yang terus-menerus dan berkelanjutan justru dapat merusak keindahan dan gemerlapnya peradaban dunia modern saat ini. Dunia modern yang katanya lebih beradab, lebih ramah, lebih canggih, dan lebih hebat justru dengan penggunaan bahan bakar fosil yang masih digunakan hingga kini, menjadikan dunia modern yang dilihat saat ini hanya sebatas ilusi dan omong kosong belaka. Kendati sekalipun, penggunaan bahan bakar yang ramah akan lingkungan sedang gencar-gencarnya diterapkan, namun penggunaan bahan bakar fosil yang sudah berlangsung sejak lama, saat ini justru semakin tak terhindarkan.
Jika dicermati lebih jauh, dampak penggunaan bahan bakar fosil itu tak memiliki intervensi atau tanggung jawab secara langsung terhadap tindakan di masa lalu. Namun, pertanyaannya adalah mengapa hingga kini penggunaan bahan bakar fosil kerapkali terus digunakan? Masih mengutip pada artikel yang sama, jawabannya adalah kurangnya kesadaran ekologis manusia modern. Sebuah kesadaran yang tidak hanya merekognisi pentingnya posisi lingkungan hidup, tetapi juga berusaha membangun lingkungan sosial yang adaptif. Tapi sayang, hingga sekarang kesadaran ini belum terbentuk. Dengan demikian, kurangnya kesadaran ekologis tersebut menunjukkan adanya indikasi atas persoalan lama yang terjadi terus-menerus dan hingga kini belum terselesaikan secara penuh. Sungguh sebuah ironi yang terbilang miris.
ADVERTISEMENT
Layaknya sebuah manfaat mempelajari ilmu sejarah, kesadaran ekologis menjadi penting untuk ditanamkan sejak dini dan diterapkan sesegera mungkin guna mempelajari berbagai kerusakan yang terjadi di masa lalu untuk mengantisipasi atas perubahan yang terjadi di masa yang akan mendatang di tengah gempuran dan gencaran langkah pemangku kebijakan saat ini yang cenderung berfokus pada pengolahan alih fungsi lahan menjadi objek penunjang ekonomi dengan dalih investasi ekonomi hijau, ketimbang memprioritaskan kebijakan konservasi alam yang jauh lebih berdampak. Dengan demikian, itu berarti kesadaran ekologis pada hakikatnya tidak hanya berhenti pada relasi antara manusia dengan lingkungan saja, tetapi juga menyangkut relasi antar sesama manusia.
Kesadaran Ekologis: Ditinjau dari Aspek Moralitas Lingkungan
Erat kaitannya dengan kesadaran ekologis, saya beranggapan bahwa kesadaran ini bagian dari moralitas terhadap lingkungan hidup. Moralitas ini juga dapat mencakup cara pandang seseorang terhadap sesuatu yang dilihat, dialami, dan dirasakan di sekelilingnya. Cara pandang setiap individu tentu berbeda. Ada yang memandang bahwa manusia sebagai individu di muka bumi dapat melakukan segala-galanya apa yang diinginkan, tanpa mempedulikan apa-apa yang ada di sekitarnya termasuk lingkungan. Pandangan ini sebagaimana yang diutarakan oleh Keraf sebagai antroposentrisme. Dalam pandangan ini, alam hanya dapat dijadikan sarana untuk memenuhi kepentingan atau tujuan manusia semata. Dengan kata lain, manusia dan kepentingannya merupakan nilai tertinggi yang harus diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Ada juga yang berpandangan bahwa manusia dan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dan saling memiliki nilai. Lebih dari itu, pandangan ini menganggap setiap kehidupan yang ada di alam ini memiliki nilai yang berharga pada dirinya sendiri. Pandangan ini dinamakan biosentrisme, juga sebagai bentuk penolakan argumen daripada antroposentrisme. Ada lagi pandangan yang menyebutkan bahwa moralitas atau etika baik yang dijunjung tinggi harus senantiasa dipusatkan pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun yang tidak. Artinya, dalam pandangan ini manusia sebagai individu yang hidup yang kerapkali memanfaatkan alam untuk keberlangsungan hidupnya, itu juga berkewajiban untuk senantiasa melestarikan alam itu sendiri, termasuk dalam upaya untuk mengatasi persoalan lingkungan. Padangan ini dikenal dengan ekosentrisme. Serupa dengan biosentrisme, keduanya berani mendobrak cara pandang antroposentrisme yang cenderung praktis-materialistris.
ADVERTISEMENT
Di samping ekosentrisme, ada pula ekofeminisme yang cenderung lebih berani, vulgar, dan terang-terangan dalam melawan segala bentuk cara pandang yang cenderung berhaluan dominan, patriarkis, dan hierarkis yang erat kaitannya terdapat dalam pandangan antroposentrisme. Pandangan ini beranggapan bahwa apapun yang bersifat dominan, patriarkis, dan hierarkis pastilah melahirkan berbagai penindasan, pendiskreditan, pendiskriminasian, dan sebagainya terhadap sesuatu yang kerap dianggap lemah dan bersebrangan, dalam hal ini ialah lingkungan yang notabenenya tidak hidup. Hadirnya ekofeminisme sebagai cabang dari feminisme dalam kajian moralitas lingkungan seolah menawarkan berbagai telaah kritis atas akar dari semua krisis lingkungan hidup serta menyuguhkan beragam visi-visi yang alternatif dan solutif di masa yang akan datang dengan hal-hal yang cenderung berbau ramah lingkungan. Ini tentu menjadi pelengkap dari cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme.
ADVERTISEMENT
Penutup
Dengan beragam cara pandang yang telah saya sebutkan tadi, melahirkan sikap dan perilaku yang beragam pula. Ini tentu menjadi sesuatu yang tak dapat dipungkiri dan fakta yang tak lagi dapat terbantahkan bagi setiap individu yang selama kehidupannya akan terus bergantung dan berdampingan dengan lingkungan di manapun mereka berada. Cara pandang yang positif akan melahirkan sikap dan perilaku yang positif pula, begitupun sebaliknya. Oleh karena kesadaran ekologis sebagaimana yang telah saya sebutkan pengertian dan maknanya di atas, memiliki kandungan nilai-nilai yang positif. Sangking positifnya, ia (kesadaran ekologis) harus terus diupayakan agar senantiasa berlanjut.
Kendati sekalipun, setiap individu memiliki kadar kesadaran ekologis yang berbeda-beda, tapi cukuplah kiranya dikatakan bahwa setiap manusia harus memiliki tanggung jawab secara utuh dan penuh untuk senantiasa melestarikan dan merawat lingkungan hidup demi keberlangsungan hidup. Untuk mewujudkan itu semua, tentu perlu ditopang dengan kualitas akan pemahaman ekologi yang baik. Upaya ini juga dapat diperoleh melalui sarana edukasi dan sosialisasi yang berorientasi pada meleknya literasi ekologi. Dengan upaya-upaya tadi diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran ekologis yang pada akhirnya tidak lagi mengabaikan etika atau perilaku baik terhadap lingkungan. Akhir kata, keberlanjutan lingkungan hidup saat ini sangat ditentukan dari seberapa besarnya kesadaran ekologis yang lahir dari pemahaman individu akan ekologi yang baik.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Jati, Geny. 2021. “Laporan Climate Transparency 2021: Dampak Perubahan Iklim Nyata, Indonesia Perlu Tingkatkan Aksi Iklimnya”. https://iesr.or.id/laporan-climate-transparency-2021-dampak-perubahan-iklim-nyata-indonesia-perlu-tingkatkan-aksi-iklimnya. Diakses pada 10 Juni 2022, pukul 01.20 WIB.
Keraf, A. Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas.
Rangga Kala Mahaswa dan Putu Pradnya Lingga Dharmayasa. 2021. “Kesadaran Ekologis Pascapandemi: Sebuah Tinjauan Filosofis”. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Vol. 23, No. 21.
Yoga Priastomo, dkk. 2021. Ekologi Lingkungan. Medan: Yayasan Kita Menulis.