Konten dari Pengguna

Perjuangan Mengajar di Sekolah Jauh

Siti Nurjanah
Staf Pengelola Data di Direktorat Pengabdian dan Pemberdayaan Manusia Universitas Indonesia
11 Juli 2021 5:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siti Nurjanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Proses belajar mengajar di Sekolah Jauh Kampung Cijantur, Desa Rabak, Kecamatan Rumpin, Bogor, Jawa Barat. (Sumber : Dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Proses belajar mengajar di Sekolah Jauh Kampung Cijantur, Desa Rabak, Kecamatan Rumpin, Bogor, Jawa Barat. (Sumber : Dokumen pribadi)
ADVERTISEMENT
"Yang Ibu harapkan tidak muluk, yang terpenting anak-anak tidak buta aksara seperti orang tuanya," begitu kata seorang guru sekolah jauh yang terletak di Kampung Cijantur. Ibu Jentri namanya.
ADVERTISEMENT
Disebut dengan sekolah jauh karena sekolah ini merupakan percabangan dari sekolah induk di daerah sekitar. Sekolah jauh yang terletak di Kampung Cijantur, Desa Rabak, Kecamatan Rumpin, Bogor, Jawa Barat ini bersekolah induk di SDN Kadusewu. SDN Kadusewu sendiri terletak kurang lebih 8 kilometer dari sekolah jauh tersebut, kita sebut saja SD Cijantur.
Ibu Jentri merupakan salah satu guru muda di SD Cijantur tersebut. Beliau memutuskan menjadi pengajar di sana setelah mendapatkan pengalaman mengajar di SD Kukuk Sumpung. Saat mengajar di SD Kukuk Sumpung, beliau bahkan tidak menerima gaji satu rupiah pun. Hingga salah satu saudara beliau menawarkannya untuk mengajar di SD Cijantur.
“Di sana banyak anak-anak luar biasa yang ingin bersekolah. Meskipun tenaga pengajar dan bangunan sekolah kurang memadai, tidak menjadi penghalang untuk mereka memilih bersekolah. Di situ saya berpikir, mungkin ini jalan saya untuk mengabdikan diri," begitu alasan beliau memutuskan menjadi guru di SD Ciijantur.
ADVERTISEMENT
Ibu Jentri bertempat tinggal cukup jauh dari SD Cijantur, sekitar 5-6 kilometer jauhnya. Karena jarak tempuh yang cukup jauh dan jalanan yang kurang memadai, beliau diharuskan berangkat lebih pagi. Bahkan jika turun hujan pada hari itu, beliau akan mempersiapkan dirinya dari subuh.
Sempat pada suatu saat terjadi hujan lebat, Ibu Jentri harus melewati jalanan bertanah yang basah terkena air hujan. Saat itu beliau memaksakan untuk tetap ke sekolah karena mengingat semangat anak-anak yang masih ingin belajar hari itu. Namun sebuah kecelakaan menimpanya, di mana sepeda motor yang beliau kendarai tidak bisa menanjak dan berakhir dengan dirinya yang jatuh tertimpa motor. Saat itu bahkan tidak ada yang menolongnya, karena kondisinya yang berada di tengah hutan.
ADVERTISEMENT
“Ketika mau hujan, anak-anak tetap semangat untuk berangkat sekolah meskipun tanah licin dan membuat mereka terjatuh,” lagi-lagi semangat anak-anaklah yang membuat Ibu Jentri membulatkan tekadnya untuk tetap mengajar.
Kondisi kelas yang mengalami kerusakan saat proses belajar mengajar berlangsung. (Sumber : Dokumen pribadi)
Tidak hanya akses jalan saja yang kurang memadai, bangunan di sekolah tersebut juga sempat mengalami kerusakan bahkan ketika proses belajar mengajar sedang berlangsung. Beruntungnya bangunan sekolah yang sempat terjatuh tidak memakan korban.
Di samping kegigihan dan semangat anak-anak untuk tetap bersekolah, kurangnya tenaga pengajar di SD Cijantur menjadi dorongan untuk Ibu Jentri tetap mengajar di sana. Sekolah tersebut tidak hanya dijadikan tempat belajar mengajar untuk anak-anak tingkat sekolah dasar, tetapi juga untuk tingkat sekolah menengah pertama. Itu sebabnya tenaga mengajar di sana mengalami kekurangan, sedangkan muridnya cukup banyak. Beliau mengatakan, “Jika bukan kita-kita yang muda, siapa lagi ?”
ADVERTISEMENT
Ibu Jentri sempat berpesan, bahwasanya banyak anak-anak kurang beruntung yang begitu memiliki semangat belajar yang luar biasa. Namun mereka yang saat ini diberikan kemudahan untuk bersekolah justru menyia-nyiakannya. Ada baiknya mereka yang beruntung itu melihat ke bawah untuk membandingkan, ketimbang melihat yang jauh di atas namun membuat mereka menyerah kepada keadaan.
(SITI NURJANAH / POLITEKNIK NEGERI JAKARTA)