Konten dari Pengguna

Menikah dengan WNA Lebih Ribet Enggak, Ya?

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
17 Juni 2022 9:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menikah dengan WNA Lebih Ribet Enggak, Ya?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Beberapa selebriti memutuskan untuk menikah dengan WNA (Warga Negara Asing). Sebut saja Maudy Koesnaedi, Daniel Mananta, hingga yang terbaru Maudy Ayunda. Menikah sesama WNI saja banyak tantangannya, apalagi beda negara. Lebih ribet enggak, ya? Simak kisah Ayu dan suaminya Faysal yang berkebangsaan Belanda berikut ini!
ADVERTISEMENT
Kok bisa kenal dengan WNA, dari mana?
Pertama kali ketemu dengan Faysal, karena dikenalin teman. Awalnya biasa aja, bukan love at first sight alias cinta pada pandangan pertama. Tapi, sih saya memang tertarik dengan fisiknya. Karena saya terbilang cukup tinggi, jadi pria asing memang idaman saya (karena mereka rata-rata lebih tinggi dari saya), termasuk Faysal.
Apa sih, yang disukai dari Faysal?
Ia pribadi yang terbuka, seru, dan mudah bergaul. Selain itu, ia juga pintar dalam akademis plus pintar masak, lho! Dan yang paling penting buat saya, dia enggak patriarki alias menjujung tinggi persamaan gender. Tipikal pria asing, ya. Dia juga mudah dekat dengan teman dan keluarga saya, walaupun “bule” tapi dia bisa berbaur dengan mudah seperti teman-teman Indonesia saya yang lain.
ADVERTISEMENT
Ada hambatan bahasa, enggak?
Sejauh ini sih enggak, ya.. Kita sama-sama menggunakan bahasa Inggris untuk sehari-hari, walaupun saya sempat belajar juga intensif bahasa Belanda karena memang sejak awal sudah ada niat untuk pindah ke sana bersamanya setelah menikah.
Perbedaan budaya, berpengaruhkah dalam hubungan?
Sejauh ini enggak ada perbedaan yang cukup signifikan, ya. Paling, karena Faysal enggak suka makanan Indonesia, jadi kita masak sendiri-sendiri atau masak dengan menu yang berbeda-beda. Kita juga sama-sama fleksibel, jadi mudah beradaptasi. Untungnya, kami berdua pun seagama jadi punya adab dan pandangan hidup yang relatif sama.
Faysal (dan rata-rata orang Belanda) itu “saklek” alias to the point, mandiri, dan benar-benar menjunjung tinggi persamaan gender. Jadi, dalam urusan rumah tangga pembagiannya sama rata apalagi di Belanda tenaga manusianya mahal sehingga semua harus dikerjakan sendiri.
ADVERTISEMENT
Lebih banyak sukanya atau dukanya?
Lebih banyak suka daripada dukanya, hanya saja karena sekarang ikut tinggal di Belanda jadi ada penyesuaian yang butuh proses.
Dimulai dari menyiapkan pernikahan yang proses birokrasinya cukup panjang, rumit, dan memakan biaya. Setelah pindah ke Belanda, menyesuaikan diri dengan cuaca di sini juga butuh proses karena udara dingin dan mendungnya suka bikin mood kita turun. Selain itu, jauh dari keluarga dan sahabat terkadang bikin sendu dan rindu kampung halaman.
Lalu di sini, biaya hidup semuanya mahal. Kita perlu pintar mengatur keuangan termasuk ketat jajan dan lebih banyak masak sendiri.
Di Belanda ada sih semacam ojek online makanan, namanya uber eat atau thuisbezorg, tapi.. ongkos kirimnya mahal sekitar 3 euro atau 45 ribu sekali kirim! Walhasil kalau mau makan enak atau kangen masakan Indonesia ya harus masak sendiri. Untungnya, kami berdua senang masak jadi eksplorasi masakan bukan hal yang sulit walau bahan pangan Indonesia relatif lebih mahal karena harus impor.
ADVERTISEMENT
Ada enggak sih tips buat mereka yang lagi menjalani hubungan dengan WNA dan mempersiapkan pernikahan?
• Kalau memang ada rencana menikah dengan WNA, kita perlu dulu pahami budayanya dan mengatur ekspektasi. Walau terkadang budaya bukan hambatan utama, tapi pasti ada perbedaan yang perlu kita sikapi. Misalnya, orang Belanda pada umumnya kalau berumah tangga, membagi pengeluaran sama rata dengan pasangan. Berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang menjadikan suami sebagai kepala rumah tangga dan membiayai kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan).
• Kedua, kita perlu terbuka untuk segala kemungkinan. Jika suami ajak kita ikut tinggal di negaranya misalnya, kita perlu bekal keterampilan hidup karena akan jauh dari keluarga dan kerabat. Makanya enggak heran, mereka yang menikah dengan WNA dan tinggal di negaranya mendadak mampu mengerjakan hal yang sebelumnya tak terpikir olehnya. Kuncinya hanya satu kok, mau berusaha!
ADVERTISEMENT
Berhubungan dengan WNA atau sesama warga Indonesia sebenarnya sama saja, kita sama-sama perlu komunikasi yang terbuka, memahami kebutuhan, dan keinginan pasangan, serta tidak menutup diri dengan segala kemungkinan dan kesempatan.
Menghargai latar belakang budaya dan kebiasaan mereka, juga salah satu kunci sukses menikah dengan mereka yang berlainan negara. Asalkan keduanya mau saling mengerti dan beradaptasi dengan landasan komitmen yang kuat, menikah dengan WNA tak jadi kendala.
Photo created by Lifestylememory - www.freepik.com