Konten dari Pengguna

Dilema Aborsi dalam Hubungan Gelap: Siapa yang Salah dan Siapa yang Jadi Korban?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2 Februari 2025 15:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/04/11/19/33/stillborn-2222602_960_720.jpg (Ilustrasi janin)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/04/11/19/33/stillborn-2222602_960_720.jpg (Ilustrasi janin)
ADVERTISEMENT
Kasus seorang polisi yang menyuruh pacarnya menggugurkan kandungan hasil hubungan gelap mereka jadi sorotan. Bukan cuma karena melibatkan isu moral, tapi juga karena hukum dan ketidakadilan gender yang muncul di baliknya. Banyak yang bertanya-tanya, apakah si pacar yang melakukan aborsi juga bersalah secara hukum, atau justru dia dianggap korban dalam kasus ini?
ADVERTISEMENT
Kita nggak bisa menutup mata bahwa hubungan gelap yang kemudian berujung pada kehamilan sudah jadi masalah besar sejak awal. Ketika laki-laki itu memilih untuk nggak bertanggung jawab dan malah meminta pacarnya melakukan aborsi, masalah ini jadi semakin pelik. Secara hukum, aborsi di Indonesia termasuk tindakan ilegal kecuali dalam kondisi tertentu, misalnya untuk menyelamatkan nyawa ibu atau kasus pemerkosaan yang terbukti secara hukum. Nah, dalam kasus ini, si perempuan melakukan aborsi bukan karena alasan medis atau paksaan kekerasan fisik, tapi lebih kepada tekanan psikologis dan sosial dari pasangannya.
Kalau dilihat dari hukum yang berlaku, siapa pun yang terlibat dalam tindakan aborsi bisa dikenakan sanksi. Pasal 346 KUHP menyebutkan bahwa perempuan yang menggugurkan kandungannya bisa dihukum penjara. Sementara itu, Pasal 348 KUHP menyatakan bahwa orang lain yang membantu proses aborsi bisa mendapat hukuman yang lebih berat. Jadi, kalau ditilik dari aturan ini, secara teknis si perempuan juga bisa dikenakan sanksi hukum. Tapi, apakah itu adil?
ADVERTISEMENT
Di sinilah moralitas dan realita sosial berperan besar. Aborsi bukan cuma perkara hukum hitam-putih, tapi juga menyangkut tekanan sosial, ekonomi, dan kekuatan relasi dalam hubungan. Dalam kasus ini, laki-laki yang memiliki power lebih besar dibanding pacarnya bisa memaksakan keinginannya dengan berbagai cara. Dia mungkin memiliki otoritas, pengaruh dalam kehidupan sosial si pacar, atau bahkan memberikan ancaman halus yang membuat si perempuan merasa tidak punya pilihan lain selain menurut. Itulah kenapa dalam banyak kasus seperti ini, perempuan sering kali dianggap sebagai korban meskipun secara hukum dia tetap bisa dijerat.
Kalau kita bicara tentang keadilan, kasus ini jelas menunjukkan adanya ketimpangan gender dalam sistem hukum dan sosial kita. Ketika seorang laki-laki dengan status dan kuasa lebih tinggi bisa lepas tangan dan hanya kena hukuman sosial (misalnya dicopot dari jabatannya atau dipindahkan), perempuan yang melakukan aborsi bisa berhadapan dengan ancaman hukum nyata. Padahal, kalau kita tarik ke akar permasalahan, keputusan aborsi itu sendiri bukan sesuatu yang muncul dari kehendak si perempuan semata, tapi akibat tekanan yang diberikan oleh pasangannya.
ADVERTISEMENT
Ada juga yang bilang, "Lho, tapi dia bisa saja nggak menurut. Kenapa harus nurut kalau itu ilegal?" Ini adalah cara pandang yang sangat simplistik dan mengabaikan faktor tekanan psikologis yang dialami perempuan dalam situasi seperti ini. Bukan cuma soal takut kehilangan hubungan, tapi juga rasa takut akan konsekuensi sosial—di mana perempuan yang hamil di luar nikah masih mendapat stigma buruk yang jauh lebih besar dibanding laki-lakinya. Dan dalam banyak kasus, tekanan dari laki-laki yang lebih berkuasa tentu jauh lebih besar dibanding dari laki-laki biasa.
Selain itu, aspek ekonomi juga sering kali menjadi faktor penentu. Banyak perempuan yang memilih aborsi bukan karena mereka benar-benar menginginkannya, tetapi karena merasa tidak memiliki dukungan finansial untuk membesarkan anak sendirian. Sementara itu, laki-laki yang menekan mereka untuk melakukan aborsi justru sering kali punya sumber daya lebih besar untuk bertanggung jawab, tetapi memilih untuk menghindar.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau ditanya apakah si pacar juga harus dihukum? Secara hukum, mungkin iya, karena aturan di Indonesia masih mengkriminalisasi aborsi dalam hampir semua kondisi. Tapi secara moral dan keadilan sosial, dia lebih pantas dianggap sebagai korban daripada sebagai pelaku kejahatan. Yang lebih layak dihukum adalah pihak yang memaksanya melakukan aborsi dan menelantarkan tanggung jawabnya. Sayangnya, hukum kita sering kali nggak cukup sensitif terhadap kompleksitas masalah seperti ini.
Kasus ini juga seharusnya jadi alarm bagi kita semua bahwa ketimpangan gender dalam hubungan dan hukum itu nyata. Seharusnya, ada perubahan dalam cara kita melihat kasus seperti ini. Hukuman berat bagi perempuan yang aborsi tanpa mempertimbangkan latar belakangnya hanya akan membuat mereka semakin terpojok, sementara laki-laki yang menekan mereka sering kali bisa melenggang bebas dengan konsekuensi minimal. Jika ingin keadilan yang lebih baik, hukum harus mulai mempertimbangkan faktor tekanan dan relasi kuasa dalam kasus-kasus seperti ini.
ADVERTISEMENT
Selain perubahan hukum, edukasi juga memegang peranan penting dalam mengatasi masalah ini. Masyarakat harus mulai memahami bahwa aborsi bukan sekadar tindakan kriminal, tetapi juga hasil dari berbagai tekanan sosial, ekonomi, dan psikologis. Perempuan yang hamil di luar nikah seharusnya mendapatkan dukungan, bukan malah dihakimi dan dikriminalisasi walaupun dia memang berdosa karena berzina.
Skandal ini bukan sekadar drama percintaan yang berujung tragis, tapi juga potret nyata betapa hukum dan norma sosial masih sering kali tidak berpihak pada perempuan dalam situasi seperti ini. Kalau ada satu hal yang harus diubah dari kasus ini, itu bukan hanya tentang hukuman bagi laki-laki yang menekan pasangannya, tapi juga perlindungan bagi perempuan yang berada dalam situasi sulit seperti ini. Kita perlu sistem yang lebih adil, yang nggak cuma melihat teks hukum secara kaku, tapi juga memahami konteks sosial di baliknya. Selama hal ini belum berubah, kasus serupa akan terus terjadi, dan perempuan akan selalu menjadi pihak yang paling dirugikan.
ADVERTISEMENT