Konten dari Pengguna

Hamil Akibat Pemerkosaan Boleh di Aborsi, Apa Betul?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Fakultas Syariah Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21 Agustus 2024 13:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/01/27/17/53/bride-4797907_1280.jpg (Ilustrasi perempuan sedang bercermin)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/01/27/17/53/bride-4797907_1280.jpg (Ilustrasi perempuan sedang bercermin)
ADVERTISEMENT
Dilansir dari halaman website Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mereka menyambut baik ketentuan aborsi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) yang mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan.
ADVERTISEMENT
Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan). Komnas Perempuan berharap aturan ini mempercepat pengadaan dan menguatkan akses layanan dalam rangka memastikan pemenuhan hak atas pemulihan bagi perempuan korban.
Aborsi adalah salah satu topik yang sering menimbulkan perdebatan di Indonesia, terutama ketika dikaitkan dengan kasus pemerkosaan. Di negara dengan populasi yang besar dan beragam, peraturan mengenai aborsi untuk korban pemerkosaan menjadi sangat penting untuk dikaji secara mendalam.
Narasi ini akan membahas secara komprehensif mengenai pembolehan aborsi dalam kasus pemerkosaan di Indonesia, meliputi aspek hukum, dampak kesehatan, tantangan sosial, serta rekomendasi untuk perbaikan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, peraturan mengenai aborsi diatur dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan :
Menurut pasal 75 dari undang-undang ini, aborsi pada umumnya dilarang, kecuali dalam beberapa kondisi tertentu. Salah satu pengecualian penting adalah ketika kehamilan tersebut adalah hasil dari pemerkosaan dan mengancam kesehatan fisik atau mental ibu, atau jika terdapat kelainan janin yang tidak dapat diobati. Hal ini memberikan dasar hukum bagi pembolehan aborsi untuk korban pemerkosaan.
ADVERTISEMENT
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi memberikan pedoman lebih lanjut mengenai pelaksanaan aborsi dalam kasus-kasus yang diizinkan oleh hukum. Pasal 18 mengatur tentang pelaksanaan aborsi yang aman, salah satu ketentuannya adalah aborsi bisa dilakukan pada korban pemerkosaan jika dilakukan dalam jangka waktu tertentu (maksimal 40 hari sejak kejadian pemerkosaan) dan harus dilakukan dengan prosedur medis yang sesuai. Peraturan ini mengatur tentang persyaratan medis dan prosedural yang harus dipenuhi untuk memastikan bahwa aborsi dilakukan dengan cara yang aman dan sesuai dengan standar kesehatan.
Dampak kehamilan akibat pemerkosaan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan bagi korban. Dalam beberapa kasus, komplikasi medis dari kehamilan yang tidak diinginkan dapat menjadi serius jika tidak ditangani dengan baik. Aborsi, jika dilakukan secara medis dan sesuai prosedur, dapat mengurangi risiko kesehatan yang berpotensi membahayakan. Namun, aborsi yang dilakukan dengan cara yang tidak aman atau terlambat dapat mengakibatkan komplikasi serius, seperti infeksi, pendarahan, atau masalah kesehatan lainnya.
ADVERTISEMENT
Dampak psikologis dari kehamilan akibat pemerkosaan sering kali sangat berat. Korban dapat mengalami gangguan stres pascatrauma (PTSD), depresi, dan kecemasan. Proses kehamilan dan melahirkan dapat memperburuk trauma psikologis yang telah ada. Aborsi sering kali dianggap sebagai opsi untuk mengurangi beban mental dan emosional, namun proses aborsi itu sendiri juga dapat menambah stres jika tidak ditangani dengan dukungan yang memadai. Dukungan psikologis dan konseling sangat penting dalam konteks ini, untuk membantu korban mengatasi trauma dan membuat keputusan yang tepat tentang kesehatan mereka.
Di Indonesia, stigma sosial terhadap korban pemerkosaan dan aborsi masih sangat kuat. Korban sering kali mengalami penghakiman dari masyarakat, yang dapat memperburuk trauma psikologis mereka. Stigma ini juga menghambat korban dalam mencari bantuan medis dan dukungan sosial. Masyarakat yang tidak memahami situasi korban atau memiliki pandangan yang konservatif terhadap aborsi sering kali menghambat akses korban ke layanan yang mereka butuhkan.
ADVERTISEMENT
Pembolehan aborsi untuk korban pemerkosaan di Indonesia merupakan isu yang kompleks, melibatkan berbagai aspek hukum, kesehatan, sosial, dan budaya. Meskipun terdapat dasar hukum untuk melakukan aborsi dalam kasus pemerkosaan, banyak tantangan yang harus dihadapi, termasuk stigma sosial, keterbatasan akses, dan prosedur administratif yang rumit.
Untuk meningkatkan situasi ini, diperlukan reformasi kebijakan, peningkatan layanan kesehatan, kampanye edukasi, dan dukungan psikososial yang komprehensif. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan korban pemerkosaan dapat memperoleh perlindungan dan dukungan yang layak, serta akses ke layanan kesehatan yang aman dan berkualitas.