Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Kebijakan Gas Elpiji yang Menyulitkan, Bukan Solusi tapi Masalah Baru
5 Februari 2025 13:41 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Bayangkan hidup di negara sendiri, tapi untuk sekedar membeli subsidi gas pun harus berjuang mati-matian. Gas elpiji 3 kg yang dulunya bisa dibeli dengan relatif mudah, kini berubah menjadi barang mewah yang membutuhkan prosedur yang rumit. Pemerintah, melalui kebijakan terbaru yang mewajibkan pembelian gas menggunakan KTP dan KK, bertujuan untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Nyatanya? Yang terjadi di lapangan justru menyusahkan rakyat kecil dan menciptakan antrean panjang yang mengarah pada tragedi.
ADVERTISEMENT
Sejak kebijakan baru tentang distribusi gas elpiji diterapkan, banyak masyarakat yang justru semakin kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemerintah, melalui Menteri Bahlil, mengeluarkan aturan yang membatasi penjualan gas elpiji bersubsidi hanya melalui agen resmi dengan syarat menunjukkan KTP dan KK. Alasannya? Agar distribusi lebih tepat sasaran. Tapi apakah kebijakan ini benar-benar membantu masyarakat, atau justru menambah beban mereka?
Di banyak daerah, kebijakan ini secara langsung berdampak buruk. Bayangkan seorang ibu rumah tangga yang sehari-hari mengandalkan gas untuk memasak, tapi sekarang harus membawa KTP dan KK hanya untuk membeli satu tabung gas. Tidak hanya itu, setiap keluarga hanya diperbolehkan membeli satu tabung gas dalam jangka waktu tertentu. Ini bukan hanya merepotkan, tapi juga tidak masuk akal. Dalam satu rumah bisa saja ada lebih dari lima orang, dan satu tabung gas tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan memasak dalam satu bulan. Akibatnya, mereka harus bolak-balik satu sama lain hanya untuk mendapatkan gas yang seharusnya mudah diakses.
ADVERTISEMENT
Yang lebih parah, antrean gas di banyak tempat menjadi pemandangan sehari-hari. Karena gas hanya tersedia di agen tertentu dengan jumlah terbatas, warga harus datang lebih awal dan rela berdesakan demi mendapatkan jatah mereka. Antrian panjang ini tidak hanya menyita waktu dan tenaga, tetapi juga membahayakan keselamatan. Bahkan ada laporan tragis di mana seorang warga meninggal dunia saat mengantre gas yang membludak. Ini bukan sekedar ketidaknyamanan, tapi sudah menjadi ancaman nyata bagi masyarakat kecil yang hanya ingin memasak makanan untuk keluarga mereka.
Dalih kebijakan utama ini adalah untuk memastikan subsidi gas tepat sasaran. Namun kenyataannya, banyak warga yang benar-benar membutuhkan justru semakin sulit mendapatkan gas elpiji 3 kg. Di sisi lain, mereka yang punya uang lebih bisa dengan mudah mendapatkan gas non-subsidi tanpa harus mengantre atau menunjukkan KTP dan KK. Ini menciptakan ketimpangan yang semakin nyata. Subsidi yang seharusnya membantu masyarakat kecil malah semakin jauh dari jangkauan mereka.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan distribusi gas di daerah terpencil? Dengan kebijakan ini, warga di pedesaan yang jauh dari agen resmi harus menempuh perjalanan lebih panjang dan mengeluarkan biaya lebih besar hanya untuk membeli satu tabung gas. Padahal sebelumnya, mereka bisa mendapatkan gas dari warung-warung kecil di sekitar mereka. Sekarang, mereka harus ke agen resmi yang mungkin jaraknya belasan kilometer. Kalau tujuannya untuk memastikan gas tidak disalahgunakan, kenapa masyarakat kecil justru dikorbankan?
Ironi lainnya, kebijakan ini juga memicu penayangan harga di pasar gelap. Karena gas menjadi semakin sulit diakses, banyak oknum yang memanfaatkan keadaan tersebut dengan menjual subsidi gas di atas harga normal. Akibatnya, masyarakat yang tidak mau repot dengan antrean panjang atau yang tidak memiliki akses mudah ke agen resmi akhirnya terpaksa membeli dengan harga lebih mahal. Yang diuntungkan dari situasi ini tentu bukan masyarakat kecil, tapi para spekulan yang bermain di balik layar.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini jelas bukan solusi, melainkan masalah baru yang hanya menambah penderitaan rakyat kecil. Jika pemerintah benar-benar ingin memastikan subsidi tepat sasaran, seharusnya mereka memperbaiki sistem distribusi, bukan malah menyulitkan rakyat. Bagaimana mungkin sebuah kebijakan yang katanya pro-rakyat justru membuat rakyat semakin sengsara? Jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin gas elpiji yang seharusnya menjadi kebutuhan dasar malah berubah menjadi barang mewah bagi mereka yang benar-benar membutuhkan.