Konten dari Pengguna

Tagih Utang Berujung Kematian: Bisakah Si Penagih Dipidana?

Ahmad Fahmi Fadilah
Mahasiswa Aktif - S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27 Januari 2025 13:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Fahmi Fadilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/08/17/02/59/hoi-an-5494203_1280.jpg (Ilustrasi petani desa)
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2020/08/17/02/59/hoi-an-5494203_1280.jpg (Ilustrasi petani desa)
ADVERTISEMENT
Dunia ini penuh dengan dinamika manusia, termasuk soal utang-piutang yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial dan ekonomi. Tapi, apa jadinya kalau urusan menagih utang berakhir tragis? Misalnya, seorang pengutang meninggal dunia karena serangan jantung usai adu mulut dengan penagih. Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah: apakah si penagih bisa dihukum? Kasus seperti ini bukan hanya perkara hukum, tapi juga membawa kita ke ranah moral dan etika.
ADVERTISEMENT
Mari kita bahas lebih dalam. Sebuah kasus seperti ini biasanya dimulai dari utang yang belum dilunasi. Si penagih merasa sudah waktunya menagih, entah karena tenggat waktu yang sudah lama lewat atau karena kebutuhan pribadi. Proses penagihan pun berlangsung, sering kali dengan nada tinggi, emosi memuncak, bahkan berujung pada intimidasi verbal. Nah, di sinilah titik kritis itu muncul. Kalau si pengutang punya kondisi kesehatan yang rentan, tekanan seperti ini bisa menjadi pemicu sesuatu yang fatal, seperti serangan jantung.
Dari perspektif hukum, ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan untuk menjawab apakah si penagih bisa dihukum. Dalam hukum pidana Indonesia, seseorang bisa dianggap bersalah jika perbuatannya memenuhi unsur tindak pidana tertentu. Dalam kasus ini, pertanyaannya adalah: apakah tindakan si penagih termasuk tindak pidana? Jawabannya gak gampang yagesya.
ADVERTISEMENT
Pertama-tama, kita perlu melihat apakah ada unsur penganiayaan, baik fisik maupun psikis, dalam proses penagihan itu. Kalau penagih menggunakan kekerasan fisik, tentu itu jelas melanggar hukum. Tapi bagaimana kalau hanya menggunakan kata-kata kasar? Ini masuk ke wilayah yang lebih abu-abu. Dalam hukum, ada yang disebut dengan "penghinaan" atau "perbuatan tidak menyenangkan" yang bisa dilaporkan ke polisi. Jadi, kalau kata-kata si penagih dianggap melukai harga diri atau membuat si pengutang merasa terintimidasi, bisa saja ada landasan hukum untuk memprosesnya.
Namun, dalam konteks kematian si pengutang, pertanyaannya menjadi lebih spesifik: apakah kematian itu adalah akibat langsung dari tindakan si penagih? Untuk membuktikan ini, biasanya diperlukan analisis mendalam, seperti visum et repertum atau keterangan medis lain yang menunjukkan bahwa serangan jantung itu memang dipicu oleh stres akibat adu mulut. Jika terbukti, si penagih bisa saja dijerat pasal tentang kelalaian yang menyebabkan kematian, misalnya Pasal 359 KUHP. Tapi kalau bukti medisnya tidak kuat, sulit untuk menghubungkan tindakan si penagih dengan kematian tersebut.
ADVERTISEMENT
Yang menarik adalah bagaimana masyarakat sering kali melihat kasus seperti ini dari kacamata moral sebelum hukum. Ada yang menganggap bahwa si penagih "terlalu kejam" atau "tidak punya hati" karena menekan si pengutang hingga akhirnya meninggal. Di sisi lain, ada juga yang berpikir bahwa si pengutanglah yang salah karena tidak memenuhi kewajibannya. Kedua perspektif ini sah-sah saja, tapi penting untuk diingat bahwa moral dan hukum itu dua hal yang berbeda.
Bicara soal moral, tindakan menagih utang dengan cara yang kasar tentu tidak etis. Sebagai manusia, kita diajarkan untuk bersikap empati, terutama dalam situasi di mana orang lain mungkin sedang dalam posisi sulit. Tapi, bagaimana kalau si pengutang memang sengaja menghindar dan tidak punya itikad baik untuk melunasi? Di sinilah dilema itu muncul. Banyak penagih merasa frustrasi karena sudah memberi tenggang waktu atau bahkan kesempatan, tapi si pengutang tetap tidak mau membayar. Frustrasi ini kadang meledak dalam bentuk emosi yang tidak terkendali, yang justru memperburuk situasi.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana seharusnya menagih utang agar tidak berujung pada tragedi seperti ini? Pertama, penting untuk mengedepankan komunikasi yang baik. Menagih dengan nada tinggi atau ancaman hanya akan memperkeruh keadaan. Sebaliknya, mencoba memahami situasi si pengutang dan mencari solusi bersama bisa menjadi jalan keluar yang lebih baik. Kalau memang sudah mentok, jalur hukum adalah opsi yang paling aman. Mengajukan gugatan perdata untuk penagihan utang mungkin memakan waktu, tapi setidaknya itu cara yang legal dan minim risiko.
Di sisi lain, bagi si pengutang, ada baiknya untuk selalu terbuka dan jujur soal kondisi keuangan. Kalau memang belum mampu membayar, bicarakan baik-baik dengan si penagih. Sebagian besar konflik utang-piutang terjadi karena kurangnya komunikasi. Dan tentu saja, memiliki utang adalah tanggung jawab yang harus diselesaikan, bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus tragis seperti ini, apa yang bisa kita pelajari? Pertama, pentingnya menjaga komunikasi yang sehat dalam hubungan utang-piutang. Kedua, kita harus sadar bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, bisa berdampak besar pada orang lain. Dan yang tak kalah penting, selalu ada jalur hukum untuk menyelesaikan konflik, tanpa perlu menggunakan emosi atau kekerasan.
Jadi, apakah penagih utang bisa dihukum jika pengutang meninggal karena serangan jantung setelah adu mulut? Jawabannya tergantung pada banyak faktor, terutama apakah ada bukti bahwa tindakan si penagih langsung menyebabkan kematian itu. Tapi lebih dari itu, kasus seperti ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu mengedepankan empati dan komunikasi yang baik, baik sebagai penagih maupun pengutang. Karena pada intinya hidup ini lebih dari sekadar uang; ini tentang bagaimana kita saling memperlakukan satu sama lain sebagai manusia.
ADVERTISEMENT