Memahami Prinsip Kehidupan Berkelanjutan dari Masyarakat Adat Baduy

Abharina Nasution
Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Kristen Indonesia
Konten dari Pengguna
11 Januari 2024 5:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abharina Nasution tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perlindungan alam. | Foto by: Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perlindungan alam. | Foto by: Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Suku Baduy, sebuah komunitas masyarakat adat yang berdiam di wilayah Banten Selatan. Terkenal karna ketegasan mereka dalam mempertahankan gaya hidup tradisional. Suku Baduy sendiri terbagi menjadi dua bagian: Baduy dalam dan Baduy luar. Baduy dalam adalah kelompok yang paling konservatif dalam menjaga adat dan menolak modernisasi, sementara Baduy luar merupakan orang-orang yang telah meninggalkan adat dan wilayah Baduy dalam. Keunikan suku Baduy bukan hanya terletak pada penolakan mereka terhadap modernisasi, tetapi juga pada kesadaran luar biasa mereka akan pentingnya menjaga lingkungan. Ungkapan "Gunung teu beunang dilebur, sagara teu beunang diruksak, buyut teu beunang dirempak" yang berarti "Gunung tidak boleh dihancurkan, laut tidak boleh dirusak dan sejarah tidak boleh dilupakan" menjadi prinsip dan pijakan moral yang memandu kehidupan sehari-hari mereka. Mereka memperjuangkan perlindungan terhadap gunung, laut, dan sejarah, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata dalam menjaga kelestarian hutan dan air.
Ilustrasi hutan yang asri. | Foto by: Pixabay.com
Pemahaman mendalam mereka tentang hutan menjadi landasan utama dalam menjaga keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan manusia. Suku Baduy mengklasifikasikan hutan menjadi tiga kategori yang berbeda. Pertama, Leuweung Titipan, adalah kawasan hutan yang dianggap suci, yang tidak boleh diinjak oleh manusia. Kedua, Leuweung Tutupan, merupakan kawasan hutan cadangan yang bisa digunakan dengan aturan ketat. Dan ketiga, Leuweung Garapan, adalah kawasan hutan yang dibuka untuk kegiatan pertanian. Pembagian ini tidak hanya mencerminkan pemahaman mendalam masyarakat Baduy tentang hutan sebagai sumber kehidupan, tetapi juga sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Filosofi ini menggambarkan prinsip bahwa alam harus dilestarikan dan dimanfaatkan dengan bijaksana, hanya untuk kebutuhan tertentu, tanpa eksploitasi yang berlebihan.
Ilustrasi wanita adat tradisional. | Foto by: Pixabay.com
Sangat menarik melihat bahwa konsep ini, yang baru-baru ini mendapatkan perhatian luas dari dunia luar, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Baduy selama berabad-abad. Mereka telah menjadi pelopor dalam praktek keberlanjutan jauh sebelum hal ini menjadi sorotan global. Keputusan mereka untuk mempertahankan tradisi dan lingkungan, sambil menolak arus modernisasi, menginspirasi kita semua. Mereka bukan hanya penjaga warisan budaya, tetapi juga pionir dalam menjalankan gaya hidup berkelanjutan. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana kita bisa belajar dari mereka? Bagaimana kita bisa mendukung upaya mereka dalam mempertahankan kearifan ini dan menyebarluaskannya ke dunia yang semakin terhubung ini? Suku Baduy memberikan teladan luar biasa tentang bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan alam, merawat budaya kita, dan menjaga lingkungan. Menyimak kebijaksanaan mereka merupakan langkah awal untuk membangun masa depan yang berkelanjutan bagi kita semua.
ADVERTISEMENT