Konten dari Pengguna

Empati Tanpa Pandemi

Suhito
Direktur Eksekutif Rumah Sosial Kutub, Pelopor Gerakan Sedekah Minyak Jelantah, dan Pembina Relawan Indonesia Tersenyum (RIT)
27 November 2021 12:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhito tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penyaluran dari program sedekah minyak jelantah untuk Yatim Tersenyum. Foto: Dok. Rumah Sosial Kutub
zoom-in-whitePerbesar
Penyaluran dari program sedekah minyak jelantah untuk Yatim Tersenyum. Foto: Dok. Rumah Sosial Kutub
ADVERTISEMENT
Walau virus corona belum ada tanda-tanda akan musnah sama sekali, tetapi zona-zona merah semakin menghilang sekaligus ditandai dengan hadirnya berbagai aktivitas masyarakat yang mulai bergeliat. Ada harapan untuk segera bangkit kembali, memulihkan keadaan hidup yang sempat sakit dengan durasi lumayan lama.
ADVERTISEMENT
Bahkan, kehadiran virus ini juga telah menelurkan data yang sebenarnya tidak kita inginkan. Mulai dari angka pengangguran sampai angka kematian. Akibat dari dampaknya, akhirnya pada tahun lalu, tepatnya 13 April 2020 pemerintah menetapkan penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional non alam.
Lebih dari itu, di tengah keadaan yang sebelumnya tidak terprediksi ini. Cobaan dalam bentuk bencana alam juga masih terus menghampiri. Di tahun ini, menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 25 November terdata total bencana sebanyak 2.564 kejadian. Adapun bencana alam yang mendominasi tersebut adalah banjir (1.066 kejadian), puting beliung (653 kejadian), dan tanah longsor (516 kejadian). Selain itu ada juga gempa bumi, karhutla, kekeringan, gelombang pasang dan abrasi.
ADVERTISEMENT
Dampak dari ribuan kejadian bencana alam ini juga telah menyebabkan 7.545.471 menderita dan mengungsi, 13.088 luka-luka, 76 orang hilang, dan angka kematiannya mencapai 584 jiwa. Tentunya kejadian ini juga memberikan rentetan pada rusaknya tempat tinggal dan berbagai fasilitas umum.
Inilah kabar bencana yang telah kita lewati di tahun 2021. Kabar duka untuk kita dan buat bangsa. Semoga lantunan doa selalu kita berikan buat mereka yang berduka dan yang telah tiada.
Pastinya, sambil berharap berkali-kali, semoga semua segera kembali pulih. Kemudian, di tahun-tahun mendatang semua kejadian ini bisa terhindari. Paling tidak melakukan usaha maksimal untuk meminimalisasi kejadian dan dampaknya.
Untungnya, dari berbagai bencana yang telah terjadi itu, kita masih selalu dihampiri dengan rasa kemanusian. Mulai dari doa, penggalangan dana, sampai kepada aksi turun langsung ke lokasi kejadian dalam rangka untuk meringankan dan memulihkan keadaan. Apalagi dengan kemajuan teknologi, proses saling membantu ini semakin terasa mudah. Mulai dari berbagai lembaga sosial kemanusiaan, dari pribadi-pribadi yang 'berpengaruh', sampai kepada siapa pun yang merasa ingin membantu, akan selalu punya cara.
ADVERTISEMENT
Bencana yang hadir memang tidak bisa kita hindarkan. Namun rasa empati haruslah terpatri. Sekali lagi, karena persoalan bencana adalah tanggungjawab kemanusiaan. Maka wujud kesadaran untuk saling membantu adalah nuansa dari naluri yang fitrah dan manusiawi. Meski tidak saling kenal. Meski tidak satu daerah. Bahkan meskipun berbeda negara. Tidak ada yang bisa menghentikan langkah-langkah ini. Langkah-langkah untuk saling meringankan beban.
Untuk itu, salah satu kunci untuk terus menjaga langkah-langkah itu adalah dengan terus membangun kepekaan. Di luar hadirnya takdir berupa kebencanaan. Sebenarnya masih banyak zona lain yang harus diberi perhatian. Mulai dari persoalan anak-anak bangsa yang terjebak pergaulan bebas, narkoba, dan berbagai perilaku buruk lainnya. Begitu juga dengan hadirnya berbagai ketimpangan yang semakin membuat dalamnya jurang perbedaan pendapatan masyarakat. Sehingga angka-angka kemelaratan masih terus hadir.
ADVERTISEMENT
Kepekaan inilah yang kelak melahirkan kepedulian. Sehingga setiap persoalan kemanusiaan tidak hanya diselesaikan dengan 'seadanya'. Namun harus benar-benar tuntas. Sampai tidak ada lagi tembok-tembok pemisah antara yang kenyang dengan yang lapar, antara yang bersuka ria dengan yang berduka cita, termasuk antara pemimpin dengan rakyatnya.
Semuanya bersatu untuk menyatukan frekuensi keadaan: menghilangkan lapar agar sama-sama merasakan kenyang, menghilangkan duka agar bersama merasakan suka, dan menghilangkan ego kekuasaan agar setiap pemimpin bisa merasakan setiap persoalan rakyatnya.
Kepekaan dan kepedulian ini harus terus dihidupkan. Dihidupkan setiap waktu. Bukan hanya saat datangnya bencana atau adanya kejadian yang membuat hadirnya tangisan. Atau juga hanya menunggu momentum saja, seperti peringatan hari-hari tertentu dan lain sebagainya. Apalagi hanya dilakukan untuk memoles berbagai seremonial agar terlihat ada sensasi kemanusiaannya. Setelah itu kembali membangun tembok-tembok pemisah itu. Suka-duka, kaya-miskin, pemimpin-rakyat.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai perspektif telah memprediksi bahwa tantangan di tahun-tahun mendatang akan semakin berat. Bukan hanya karena ancaman bencana, tetapi juga karena banyaknya perubahan-perubahan 'ekstrem' dalam segala bidang. Oleh karena itu, tidak ada jalan lagi selain mulai menginternalisasikan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat. Inilah yang senantiasa harus terus dijaga bersama.
Jadi, sebelum terlambat. Mari bergandengan tangan untuk terus saling membangun kepekaan. Untuk terus saling peduli. Untuk terus meningkatkan empati tanpa harus menunggu hadirnya pandemi atau korban berjatuhan kembali.
Suhito, Direktur Eksekutif Rumah Sosial Kutub & Pelopor Gerakan Sedekah Minyak Jelantah