Perlunya Pelaksanaan Pencegahan Stunting yang Realistis

Sofie Wasiat
Alumnus Taruna Nusantara dan Fakultas Hukum UGM. Kini menempuh studi Master of Public Administration (UI).
Konten dari Pengguna
16 September 2020 9:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi stunting. Kredit: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi stunting. Kredit: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Rasanya tak perlu lagi dibahas mengenai bahaya dan dampak stunting bagi anak bangsa. Pemerintah kini dinilai sudah sadar dan paham mengenai hal tersebut, mulai dari penurunan produktivitas hingga adanya risiko peningkatan penyakit tidak menular di kemudian hari. Kini yang perlu dilakukan adalah tetap mengawal proses penyusunan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Tulisan saya kali ini membahas mengenai perlunya pelaksanaan pencegahan stunting yang realistis, mudah dilaksanakan di lapangan yang tidak berhenti hanya pada tatanan kebijakan. Sebelumnya, saya telah membahas mengenai pentingnya penyusunan Juknis Permenkes No. 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi bagi Anak Akibat Penyakit (baca artikel saya sebelumnya, “Prioritas Stunting di Tengah Pandemi: Juknis Permenkes No. 29 Tahun 2019”).
Dalam peraturan tersebut dibahas mengenai pemberian Pangan Olahan Keperluan Medis Khusus (PKMK) oleh dokter anak terhadap anak berisiko gagal tumbuh, gizi kurang, dan gizi buruk, yang artinya pemberian PKMK tersebut hanya bisa diberikan di rumah sakit bukan di posyandu dan puskesmas sebagai unit garda terdepan dari penanggulangan stunting.
Kondisi Puskesmas/Posyandu di Indonesia
ADVERTISEMENT
Adapun kondisi puskesmas atau posyandu di Indonesia sebagaimana diolah dari Pusdatin Kemenkes adalah sebagai berikut:
• Jumlah puskesmas di seluruh Indonesia adalah 9.993 unit dan tersebar di 514 kabupaten/kota. Sehingga secara nasional, rasio puskesmas sebesar 1,39 setiap kecamatan;
• Setiap puskesmas rata-rata mengelola kesehatan dari 60 Kepala keluarga;
• Hanya 62,8% yang diklasifikasikan memiliki prasarana yang baik, 72% dapat diakses melalui jalan beraspal, 52% tersedia internet yang cukup, 70,7% memiliki ambulans;
• Sedangkan Posyandu (pratama, madya, purnama, mandiri) ada 229.457 unit.
• Jumlah dokter umum adalah 19.855 (sembilan belas ribu delapan ratus lima puluh lima), artinya hanya terdapat kurang dari dua dokter umum di setiap puskesmas. Tidak ada catatan ketersediaan Dokter Spesialis pada data Pusdatin Kemenkes, sedangkan ada 12.573 (dua belas ribu lima ratus tujuh puluh tiga) ahli gizi (1,3 ahli gizi/puskesmas).
ADVERTISEMENT
Mengetahui fakta tersebut, sudah seharusnya bahwa dalam penyusunan Juknis Permenkes No. 29 Tahun 2019 memahami dan mempertimbangkan kondisi lapangan di atas. Walau dari segi tata kebijakan hal-hal yang diatur dalam Permenkes tersebut sudah tergolong ideal, namun ternyata masih terdapat beberapa hal yang ditengarai mempersempit kemungkinan anak mendapatkan perawatan intensif atau pemberian PKMK itu sendiri, seperti halnya konektivitas, prasarana dan sarana. Adanya rumah sakit apung menjadi salah satu contoh keterbatasan akses fasilitas kesehatan di Indonesia.
Perujukan anak stunting dari puskemas pasti memang dilakukan oleh dokter umum di Puskemas, hanya saja hal tersebut tetap bergantung pada keputusan keluarga apakah akan berangkat ke rumah sakit atau tidak.
Ilustrasi bayi stunting. Kredit: fancycrave1 from Pixabay

Idealisme yang Menjadi Sebuah Hambatan

Adapun idealisme positif yang baru yang diatur dalam Permenkes No. 29 Tahun 2019 yang baru saya sadari yaitu pemberian PKMK yang hanya bisa diresepkan oleh dokter anak. Hal ini diatur dalam Pasal 10 yang berbunyi “Pemberian PKMK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) merupakan bagian dari tata laksana dalam penanganan kasus sebagaimana dalam Pasal 9.”
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini di mana saya berbicara dari segi kebijakan publik, tujuan dari apa yang diatur dalam pasal tersebut akan menjadi sulit untuk dilaksanakan mengingat bahwa jumlah dokter umum pun di setiap puskesmas memiliki rasio kurang dari dua orang, dengan kata lain tidak ada satupun puskesmas yang memiliki dokter spesialis anak.
Selain itu dalam tatanan intervensi spesifik penanggulangan stunting, perananan puskesmas hanyalah pada sebatas pemberian F75, F100, RUTF, dan PMT. Sekali lagi, satu dokter umum di puskesmas di Indonesia harus mengawasi 60 KK dengan berbagai jenis penyakit yang beragam. Alangkah lebih baiknya jika PKMK nantinya dapat dijadikan pada tingkat puskesmas agar berbentuk ready to drink, sehingga memudahkan tenaga kesehatan dan penanggulangan stunting pun dapat segera dilaksanakan.
ADVERTISEMENT

Langkah Strategis Pemerintah

Dalam menghadapi realita dan hambatan tersebut, langkah strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain;
1. Pemberian PKMK dapat diberikan oleh dokter umum yang sebelumnya diberi pelatihan/sertifikasi tentang penanggulangan stunting di tingkat puskesmas, hanya saja dengan menunjuk Dokter Spesialis Anak sebagai supervisor/pengawas dari lingkup wilayah bersangkutan.
2. Hendaknya yang utama diberikan PKMK berbentuk ready to drink sehingga memudahkan tenaga kesehatan untuk segera melakukan aksi cepat tanggap intervensi mengingat jendela waktu pemulihan gizi anak hanyalah selama 1000 Hari Pertama Kehidupan.
3. Mengenai anggaran, jika nantinya PKMK dapat disediakan di tingkat puskesmas maka hendaknya dipersiapkan penganggaran yang terkoordinasi namun tidak terbatas antara Kemenkeu, Kemenkes, Kemendes, Kemendagri, Kemensos, dan BPJS. Tidak mengenyampingkan bahwa pengadaan tersebut pun harus transparan melalui e-catalog dan LPSE/LKPP.
ADVERTISEMENT

Jakarta, 12 September 2020

Sofie Wasiat.

PH&H Public Policy Interest Group.