news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Prioritas Stunting di Tengah Pandemi: Juknis Permenkes No. 29 Tahun 2019

Sofie Wasiat
Alumnus Taruna Nusantara dan Fakultas Hukum UGM. Kini menempuh studi Master of Public Administration (UI).
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2020 13:01 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak stunting. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak stunting. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Penanggulangan COVID-19 telah menyita perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap isu-isu strategis nasional lainnya, salah satunya adalah Pencegahan Stunting. Tak hanya menyita perhatian, penyebaran COVID-19 juga memaksa kita untuk menghentikan berbagai kegiatan kontak langsung demi memutus rantai penyebaran virus tersebut.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, program-program yang berkaitan dengan Pencegahan Stunting menjadi terhambat. Padahal, stunting adalah salah satu dari Proyek Prioritas Nasional yang harus mendapat perhatian penuh dan harus segera ditangani oleh pemerintah demi mencapai target penurunan 14% pada tahun 2024. Artinya, diperlukan sebuah penyesuaian atau terobosan baru upaya pencegahan stunting di tengah pandemi.
Walaupun dalam situasi pandemi seperti ini, sebenarnya ada hal yang masih harus ditindaklanjuti oleh pemerintah. Di mana pada tanggal 26 Agustus 2019, Kementrian Kesehatan telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 29 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Masalah Gizi bagi Anak Akibat Penyakit, di dalamnya mengatur tentang pemberian PKMK (Pangan Olahan Keperluan Medis Khusus) terhadap anak berisiko Gagal Tumbuh, Gizi Kurang, dan Gizi Buruk oleh dokter Anak.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya melalui Permenkes ini diharapkan upaya pencegahan stunting dapat ditangani lebih baik, dari yang sebelumnya anak hanya diberikan intervensi spesifik berupa PMT (Pemberian Makan Tambahan) menjadi sebuah oral nutrition supplement dengan kandungan energi lebih besar dari 0,9 kkal/ml.
Namun ternyata setelah setahun diundangkan, Permenkes No. 29 Tahun 2019 masih dianggurkan. Hal ini dikarenakan Kementerian Kesehatan sampai dengan saat ini belum berhasil menyusun Petunjuk Teknis dari Permenkes tersebut bagi tenaga-tenaga kesehatan terkait cara pemberian di lapangan maupun terkait petugas dari kegiatan pendukung lain seperti pembiayaan, pengiriman, pendistribusian, dan lainnya.

Urgensi Penyusunan Juknis PKMK (Permenkes No. 29 Tahun 2019)

Akibat adanya pandemi ini, PBB telah memperkirakan bahwa secara global situasi pandemi ini dapat memicu ancaman kenaikan angka stunting sebesar 7.000.000 (tujuh juta) anak dan 180.000 (seratus delapan puluh ribu) di antaranya berisiko meninggal akibat krisis ekonomi maupun sosial. Hal ini patut dijadikan sebagai reminder pemerintah untuk tetap memprioritaskan pencegahan stunting dalam penanggulangan COVID-19.
ADVERTISEMENT
Ketidakberhasilan Kemenkes dalam penyusunan Juknis sampai dengan saat ini dapat diambil sisi positifnya, yaitu dalam penyusunannya dapat disesuaikan dengan new normal atau tata kehidupan baru, tidak perlu mengulang dari awal. Hal ini dapat dijadikan sebagai pemantik bagi Kemenkes untuk segera melanjutkan penyusunan Juknis tersebut.
Dapat dipahami bahwa saat ini konsentrasi atau fokus Kemenkes terpecah dengan penanggulangan COVID-19, akan tetapi lagi-lagi perlu diingat dampak jangka panjang stunting yang berlangsung antar-generasi.
Pernyataan PBB tersebut seharusnya sudah cukup menggugah semangat pemerintah untuk menghadapi skenario terburuk usai pandemi COVID-19 yaitu membludaknya angka anak stunting di Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, apalagi jika dikaitkan dengan bonus demografi yang diperkirakan akan berakhir pada tahun 2036.
ADVERTISEMENT
“Bencana (Bonus Demografi) apabila kualitas manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik,” mengutip pidato Presiden RI dalam acara Hari Keluarga Nasional Tahun 2018. (Baca artikel saya sebelumnya: Lampu Merah Bonus Demografi Stunting)
Hal minimal yang harus disiapkan pemerintah dalam menghadapi permasalahan tersebut adalah menyelesaikan penyusunan peraturan-peraturan dasarnya, dalam konteks ini Juknis dari Permenkes No. 29 Tahun 2019. Agar apabila skenario terburuk tersebut sungguh terjadi, kita semua tidak kalang-kabut kebingungan dalam menghadapinya, terutama bagi petugas-petugas di lapangan.
Di mana sampai dengan saat ini mekanisme pencegahan stunting yang diberlakukan hanyalah sebatas Pemberian Makanan Tambahan berdasarkan Permenkes No. 51 Tahun 2016 beserta Juknisnya. Hal yang sangat disayangkan adalah PMT tersebut sampai saat ini belum ada hasil evaluasi keefektivitasannya. Walaupun memang, secara formal angka stunting telah dinyatakan jauh berhasil turun. (Baca artikel saya sebelumnya: Simsalabim Lima Tahun, Stunting Turun!)
ADVERTISEMENT

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Terus-Menerus Terlalu Berisiko dalam Pencegahan Stunting

Katalog Juknis PMT Kemenkes RI.
Dari segi hukum pun, sejak diterbitkannya Permenkes No. 29 Tahun 2019, Permenkes No. 51 Tahun 2016 beserta turunannya dinilai sudah tidak sesuai lagi dan diperlukan adanya perubahan atau penyesuaian. Walaupun sampai saat ini Permenkes No. 29 Tahun 2019 masih dianggurkan, ketidaksesuaian antara kedua produk hukum tersebut dapat menimbulkan kebingungan petugas lapangan karena ternyata ada dua (2) jenis pangan untuk bayi stunting. Sehingga ketidakefektifan penanganan sangat mungkin terjadi, sedangkan risiko yang dihadapi tidaklah main-main. Hal ini mengingat jendela waktu yang dimiliki sangat sempit, yaitu hanya 1000 Hari Pertama Kelahiran (HPK).
Secara formal, tumpang tindih mekanisme pemberian PMT dan PKMK tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Anak Balita yang dikategorikan kurus (berdampak stunting) oleh puskesmas diberikan PMT yang harus dikonsumsi setiap hari dan kemudian dilakukan pemantauan berat badan dan panjang badan/tinggi badan setiap bulan. Dalam juknis ini pula diatur bahwa PMT dihentikan apabila berat badan sesuai panjang/tinggi dan atau berat badan sesuai umur sudah tercapai.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pada Permenkes No. 29 Tahun 2019, terhadap balita kurus yang sama harus berikan PKMK. Hanya saja, diatur bahwa penanganan dilakukan di Puskesmas terlebih dahulu. Baru apabila Puskesmas tidak dapat menangani, balita tersebut dirujuk ke Rumah Sakit untuk ditangani oleh Dokter Spesialis Anak agar dapat diberikan PKMK.
Hal yang paling terlihat tumpang tindih dari kedua Permenkes tersebut adalah batasan kondisi dan waktu tidak diatur dengan jelas. Hal yang sangat dimungkinkan saat ini terjadi adalah balita kurus berdampak stunting tersebut terus-terusan diberikan PMT, berlama-lama memaksakan tercapainya target BB (sebagaimana diatur dalam Juknis). Padahal kondisinya sudah tidak dimungkinkan dan harus segera dirujuk ke RS. Di mana sekali lagi jendela waktu pemulihan kondisi berdampak stunting yang ada sangatlah sempit.
ADVERTISEMENT
Juknis PMT pun sebenarnya menutup kemungkinan seorang balita kurus berdampak stunting dirujuk ke RS untuk mendapatkan penanganan oleh Dokter Spesialis Anak untuk diberikan PKMK, karena berdasarkan Juknis tersebut PMT diberikan secara terus menerus dan baru dihentikan ketika balita sudah mencapat target BB. Padahal, Permenkes No. 29 Tahun 2019 belum memiliki Juknis. Pada situasi ini, risiko anak menjadi stunting permanen terlalu besar untuk dipertaruhkan.
Foto: Shutterstock

Langkah Strategis Pemerintah

Sebagaimana Instruksi Presiden RI dalam Rapat Terbatas di Istana pada Tanggal 3 Agustus 2020 serta salah satu Indikator Sasaran Strategis RPJMN 2020-2024 yang menargetkan pravelensi stunting turun di angka 14% pada Tahun 2024, sebaiknya Kementerian Kesehatan bergegas menyelesaikan penyusunan Juknis Permenkes No. 29 Tahun 2019 sebagai langkah pertama pencegahan stunting, dengan memperhatikan;
ADVERTISEMENT
a. Penyesuaian batasan kondisi/waktu yang jelas balita dirujuk ke Rumah Sakit, sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 29 Tahun 2019 “apabila puskemas tidak dapat menangani”.
b. Pembatasan pemberian PMT terus-menerus kepada balita (kondisi saat ini adalah PMT terus-menerus diberikan sampai dengan target BB balita tercapai, tidak memberikan kesempatan kepada balita untuk ditangani secara khusus melalui intervensi PKMK oleh Dokter Spesialis Anak, tidak memperhatikan 1000 HPK sebagaimana disesuaikan dengan Permenkes No. 29 Tahun 2019.
c. Mengatur standar suplementasi PKMK agar sejalan dengan Permenkes No. 29 Tahun 2019 dan Peraturan BPOM 1/2018 (oral nutrition supplement dengan kandungan energi lebih besar dari 0,9 kkal/ml).
Melalui adanya Juknis tersebut diharapkan kegiatan atau upaya-upaya pencegahan stunting dapat segera dilaksanakan di lapangan ditambah dengan adanya penyesuaian terhadap tata kehidupan baru selama ataupun pasca-pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Jakarta, 25 Agustus 2020
Sofie Wasiat. PH&H Public Policy Interest Group.