Para Dosen Turun Gunung: Koalisi Politisi vs Koalisi Akademisi

Bahtera Muhammad Persada
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2022
Konten dari Pengguna
3 Februari 2024 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bahtera Muhammad Persada tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga dan alumni Universitas Indonesia (UI) gelar deklarasi kebangsaan di Rotunda UI, Depok, Jumat (2/2/2024).
zoom-in-whitePerbesar
Warga dan alumni Universitas Indonesia (UI) gelar deklarasi kebangsaan di Rotunda UI, Depok, Jumat (2/2/2024).
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Media massa dihebohkan oleh beberapa instansi akademisi. Tiga diantaranya diawali oleh Universitas Gadjah Mada (UGM), kemudian disusul oleh Universitas Islam Indonesia (UII), lalu diperkuat argumen pernyataannya oleh Universitas Indonesia (UI), yang ketiganya bersifat proporsional secara subtansi.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah pernyataan yang dipublikasikan dari ketiga instansi raksasa tersebut? Menurut hemat penulis menggunakan library research melalui media massa yang dapat diakses dengan informasi relevan, mereka mendeklarasikan telah terjadinya ketimpangan demokrasi yang tidak wajar, nyawa demokrasi sudah berada di ujung batas nyaris kehancuran. Mengingat bahwasannya negara ini adalah hukum bukan negara kekuasaan. Maka dari itu civitas academica tidak tinggal diam dalam mempertahankannya, mereka berusaha dalam mempertahankan demokrasi negara yang telah dibangun oleh para pahlawan terdahulu. Dilahirkan oleh Bung Karno, dibesarkan oleh Jendral Soeharto, dididik oleh Prof Habibie, dilestarikan oleh Gus dur, dan seterusnya.
Mengingat judul tulisan ini adalah "Dosen Turun Gunung: Koalisi Politisi vs Koalisi Akademisi", maka penulis ingin mengingatkan pada bulan-bulan awal usai pendeklarasian Capres-Cawapres 2024 di setiap koalisi yang kemudian didaftarkan secara legal di KPU. Isitilah "turun gunung" ini kerap disematkan kepada elite politik. Salah satu diantaranya adalah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono memberikan sambutan saat groundbreaking Museum dan Galeri Seni SBY-ANI di Pacitan. Foto: Dok. Istimewa
Kita mengetahui Pak SBY sempat menjadi trending topik, bahwa beliau telah Turun Gunung dalam mengatur koalisi partainya yakni Partai Demokrasi Rakyat (DEMOKRAT). Tidak sampai disitu, kemudian disusul juga oleh Bapak Jusuf Kalla (JK) sebagai mantan elite politik. Yang menariknya adalah peranan mantan Wapres periode 2004 dan 2014 ini bertolak belakang dengan pasangannya Bapak SBY, yang sempat mengemban jabatan bersama di Eksekutif. Bapak Jusuf Kalla berperan sebagai oposisi, mengkritik kebijakan pemerintah yang telah diluar batas nalar, jauh dari dasar kepentingan rakyat yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Tidak sampai disitu, masih banyak lagi pejabat pemerintahan baik aktif maupun pasif yang tiba tiba telah mendeklarasikan diri menjadi Tim kemenangan Nasional (TKN). Muncul sebuah pertanyaan, TKN nomor berapa yang paling banyak Pejabat Publik dan Pejabat Politik? Jawabannya adalah nomor urut 02. Dilansir dari (Kapal Besar TKN Prabowo-Gibran untuk mengarungi Pilpres 2024)
Komplikasi apa yang membuat civitas academica sampai turun gunung? Karena para akademisi telah mengamati dari sejak awal mulainya kampanye pemilu 2024 tepatnya pada tanggal 28 November 2023 hingga sekarang. Mereka menuntut Presiden Jokowi untuk kembali ke ranah kebenaran yang sudah jauh dari demokrasi, dan juga telah mendapatkan banyak peristiwa yang bersifat inkonstitusional, non demokratis dan non prosedural.
ADVERTISEMENT
Mulai dari gugatan UU tentang batas usia Capres-Cawapres yang secara konstitusional telah melakukan pelanggaran etik berat. Tidak jauh dari setelah lolos dari karpet merah mahkamah konstitusi nepotisme baby yang paling banyak absen dari Diskusi Kampus yang tumpul akan diskusi bagi negara yang demokrasi. Pembentukan UU Ibu Kota Nusantara (IKN) baru yang non demokratis hingga berpotensi hanya menguntungkan oligarki semata. Pernyataan Presiden Jokowi tentang Presiden boleh berkampanye yang menjadi pembohongan publik karena menggunakan UU secara inkonstitusional.
Yang masih menjadi berita hangat adalah penyalahgunakan labelitas APBN bantuan sosial (BANSOS) sebagai bantuan presiden. Bansos serasa melestarikan kemiskinan dan mencari suara. Penderitaan dan kemiskinan dipelihara agar bisa mendapatkan suara.
Foto: Presiden Joko Widodo Meninjau Proses Pendistribusian Sembako di Johar Baru. (Biro Pers Sekretariat Presiden/ Lukas)
Apakah sangat diharuskan Presiden membagikan bansos langsung ke rakyat? Apakah tidak ada aktivitas lain yang lebih urgen dan vital? Seharusnya tugas tersebut telah terakomodir oleh menteri sosial Ibu Tri Rismaharini. Namun faktanya tidak demikian, Ibu Tri tidak disangkutpautkan sama sekali yang seharusnya membagi bansos tersebut adalah tugas kemensos, alasan dari istana adalah kelangkaan sumber bansos yang kini menurut istana sendiri sedang dalam krisis bahan pangan sehingga Ibu Tri tidak dilibatkan. Ibu Tri yang termasuk Fraksi PDI-P menjadi polemik apakah ada hubungannya tentang hal tersebut? Melihat track record Ibu Tri juga bersih dari kasus korupsi bahkan Ibu Tri memiliki segudang prestasi. Dilansir dari Kemensos.go.id
ADVERTISEMENT
Menurut hemat penulis, inilah beberapa alasan secara garis besar penyebab civitas academica sampai turun gunung untuk melawan kemunduran demokrasi yang semakin terpuruk oleh oligarki. Akademisi vs Politisi. Rakyat vs Konglomerat.
Demokrasi mundur Oligarki makmur.