Toxic Masculinity Dalam Konstruksi Sosial Laki-Laki

sonny xavier setiawan
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jenderal Achmad Yani
Konten dari Pengguna
28 Mei 2024 12:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari sonny xavier setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang Pria yang memprotes Toxic Masculinity di Amerika Serikat (https://www.shutterstock.com/image-photo/washington-dc-usa-october-17-2020-1835933062)
zoom-in-whitePerbesar
Seorang Pria yang memprotes Toxic Masculinity di Amerika Serikat (https://www.shutterstock.com/image-photo/washington-dc-usa-october-17-2020-1835933062)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perdebatan isu gender memang tidak ada habisnya, baik itu feminis maupun maskulin. Pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan kelamin secara biologis, namun perbedaan tersebut dapat dikonstruksikan secara sosial budaya melalui adanya gender. Gender merupakan sebuah tanggung jawab, pola perilaku, peran, kualitas seseorang dan lain-lainnya yang bersifat maskulin dan feminim. Menurut American Psychological Association (APA) menyatakan jika perilaku gender tertentu merupakan hasil konstruksi sosial dan dengan demikian hal tersebut dapat didekonstruksi.
ADVERTISEMENT
Menurut barker, sebagaimana yang dikutip oleh Wandi (2015) laki-laki yang merasa dirinya maskulin akan mengutamakan kekuatan, kekuasaan, aksi, kendali, kemandirian, kepuasan diri dan kerja. Sebaliknya, mereka akan memandang rendah masalah interpersonal, kemampuan verbal, kehidupan domestik, kelembutan, komunikasi, perempuan dan anak-anak serta menganggap hal tersebut merupakan sifat feminim.
Selain memandang rendah seorang yang mempunyai sikap feminim, hal ini juga menyebabkan tuntutan bagi seorang laki-laki agar menjadi maskulin laki-laki yang ideal. Kemudian hal tersebut yang menyebabkan adanya toxic masculinity, dimana peran dan stereotype secara karakteristik seorang laki-laki telah terkonstruksi dalam masyarakat yang memberikan dampak buruk terhadap laki-laki lainnya. Toxic masculinity ini melarang laki-laki memiliki perasaan lembut atau mengungkapkan emosinya (menangis, mengeluh, bercerita).
ADVERTISEMENT
Konstruksi sosial ini mengajarkan pria untuk tidak menunjukkan emosi, bersikap dominan, dan memiliki jiwa kepemimpinan, tegas, dan berani. Istilah toxic masculinity berasal dari seorang psikolog bernama Shepherd Bliss pada tahun 1990, yang digunakan untuk membedakan dan memisahkan nilai positif dan nilai negatif dari gender laki-laki.
Pandangan toxic masculinity yang tidak boleh menunjukan emosi karena adanya pandangan bahwa sense of feeling merupakan sifat yang cenderung feminis bukan maskulin. Selain itu toxic masculinity mempunyai perilaku yang agresif terhadap laki-laki lain yang tidak sesuai dengan ekspektasinya (maskulin ideal), ketika melihat laki-laki menangis atau mengungkapkan emosinya akan mencemooh dan biasanya berupa ungkapan ‘Pria itu tidak boleh menangis,’ ‘Pria itu harus kuat, jangan lemah,’ ‘Pria itu harus melawan, jangan diem aja,’. Hal ini karena adanya pandangan yang memandang jika seorang laki-laki memiliki aturan tidak tertulis dimana laki-laki tidak boleh cengeng, menangis, gemulai dan berbagai ciri yang menggambarkan sifat kewanitaan.
ADVERTISEMENT
Selain dalam kehidupan sosial, toxic masculinity juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan di media sosial. Seorang yang merasa dirinya maskulin, akan berkomentar terhadap laki-laki lain yang berpakaian atau berperilaku feminim. Hal ini sebenarnya tidak jauh beda dalam kehidupan sosial secara langsung, namun yang membedakan adalah media mereka dalam bersuara. Hal ini akan berdampak buruk bagi korban yang mendapat cemoohan, seharusnya semua orang mempunyai kesempatan menjadi dirinya sendiri tanpa harus ada paksaan dari pihak manapun.
Fenomena toxic masculinity ini diidentikan pada bentuk bullying atau perundungan terhadap korban. Dalam hal ini toxic masculinity berupa perundungan acap kali terjadi melalui perilaku hujatan atau roasting dengan cara menyindir korban secara sarkasme. Fenomena tersebut acap kali dilakukan pada remaja dan berlangsung secara terus menerus sehingga menimbulkan perilaku labelling terhadap korban.
ADVERTISEMENT
Toxic masculinity ini akan berdampak dan mengalami supresi emosi dimana seorang pria tidak boleh menunjukan emosi, sehingga acapkali mengalami kesulitan dalam mengelola emosi dan menghadapai stres dan lebih jauhnya dapat menyebabkan depresi, anxiety dan gangguan mental lainnya. Kemudian toxic masculinity seringkali dikaitkan dengan kekerasan dan agresivitas, seseorang yang dipengaruhi oleh toxic masculinity akan cenderung menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalahnya sehingga akan berdampak buruk pada dirinya maupun pihak lain. Seorang toxic masculinity akan merasa kehilangan harga dirinya jika mereka tidak dapat memenuhi ekspektasi maskulinitas idealnya.