Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 Ā© PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Toxic Boundaries atau Self-Love? Inilah Perbedaannya
11 Desember 2024 11:38 WIB
Ā·
waktu baca 4 menitTulisan dari Sholihat Az-zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernah dengar istilah toxic boundaries atau weaponized boundaries belum? Nah, jadi maksud dari toxic boundaries itu batasan yang digunakan untuk mengontrol, menghukum, atau melukai orang lain. Lalu, hubungannya dengan self-love itu apa? Boundaries merupakan bagian dari self-love itu sendiri agar kita bisa menghargai diri sendiri, tahu apa yang dibutuhkan dan berani mengungkapkan apa yang kita rasakan. Hal ini sangat penting untuk melindungi kesehatan mental dan emosional kita. Dalam artikel ini, kita akan membahas 6 tanda toxic boundaries yang sering disalahpahami sebagai self-love. Yuk, simak bersama!
ADVERTISEMENT
1. Toxic Boundaries, Batasan yang ditetapkan Secara Sepihak
Dalam hubungan, ketika membuat sebuah batasan, penting sekali untuk berkomunikasi satu sama lain. Lalu, memastikan bahwa kedua belah pihak dapat memahaminya serta menghormatinya. Bukan malah membuat aturan sendiri tanpa adanya diskusi.
Contohnya ketika sedang berselisih lalu dia mengatakan, āAku tidak mau membicarakan ini lagi, tolong hargai batasanku.ā Padahal dalam permasalahan ini juga menyangkut dirimu, tetapi dia malah menutup obrolannya begitu saja. Kesannya, dia seperti ingin menang sendiri, membuat kamu bingung harus melakukan apa.
2. Batasan Berubah Sesuai Suasana Hati
Batasan yang sehat itu konsisten dari waktu ke waktu yang membuat kedua belah pihak dapat memahaminya. Jika memang diperlukan perubahan maka harus didiskusikan kembali. Namun jika batasan itu berubah-ubah maka itulah yang disebut dengan toxic boundaries yang akan menciptakan kebingungan dan ketidaknyamanan dalam hubungan.
ADVERTISEMENT
Contohnya, temanmu suka memberimu hadiah, tetapi ketika kalian berselisih, ia malah menuduhmu bahwa kamu memanfaatkan kebaikan dia karena kamu menerima hadiahnya. Ini memberi kesan bahwa hadiah itu seperti ada udang dibalik batu. Ia juga bisa menggunakan ini untuk membuat kamu merasa bersalah.
3. Batasan Digunakan Untuk āHukumanā
Batasan itu untuk saling menghormati. Namun, jika digunakan untuk menghukum, baik secara sengaja maupun tidak, hal itu adalah tindakan yang salah. Ini mengubah konsep batasan menjadi alat kontrol.
Contohnya, ketika kamu bertengkar dengan pasanganmu dan ia mengatakan, āAku butuh ruang, aku tidak akan bicara denganmu selama seminggu.ā Padahal, yang sebenarnya terjadi dia hanya memberi kamu silent treatment agar kamu merasa bersalah. Akibatnya, hubungan jadi semakin dingin dan tidak nyaman.
ADVERTISEMENT
4. Batasan Mengabaikan Perasaan Orang Lain
Dalam hubungan apapun, perasaan kedua belah pihak itu sama pentingnya. Batasan yang sehat itu harus memikirkan perasaan antar satu sama lain. Jika hanya memprioritaskan salah satu pihak, hal itu dapat menciptakan toxic boundaries.
Contohnya, Ketika kamu sedang curhat pada teman karena ada merasa sedih, lalu dia merespons dengan mengatakan, āPerasaanmu terlalu berat buatku, aku perlu batasan untuk ini.ā Ini terkesan bahwa seolah-olah perasaan kamu diabaikan. Padahal, yang kamu butuhkan saat itu hanyalah didengarkan.
5. Batasan Tidak Realistis dan Tidak Bisa Ditantang
Batasan yang tidak realistis adalah standar yang tidak mungkin dipenuhi, namun kamu tetap diharapkan untuk mengikutinya tanpa pertanyaan. Ini seperti membuat aturan yang mustahil, tetapi kamu diminta untuk tetap mengikutinya. Jika kamu protes, justru kamu yang akan dianggap bersalah.
ADVERTISEMENT
Contohnya, pasanganmu meminta kamu untuk tidak berteman dengan orang lain, atau temanmu melarangmu memiliki teman lain selain dia. Hal ini jelas tidak adil untukmu. Namun, jika kamu menolak, dia akan mengatakan bahwa kamu tidak menghargai batasannya.
6. Batasan Tidak Dikomunikasikan dengan Baik tetapi Harus Dipatuhi
Komunikasi adalah kunci dalam batasan apa pun. Batasan yang sehat adalah batasan yang dijelaskan agar semua pihak paham. Namun, jika toxic boundaries sering kali tidak disampaikan dengan jelas, tetapi kamu harus tetap mengikutinya.
Contohnya, teman sekamarmu marah karena kamu memakai gelas favoritnya, padahal dia tidak pernah mengatakan bahwa gelas itu spesial untuknya. Hal ini membuat kamu kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa. Akibatnya, kamu jadi selalu merasa takut melakukan hal yang tidak sengaja membuat dia marah.
ADVERTISEMENT
Menetapkan batasan sangat penting untuk menjaga hubungan yang sehat, tetapi penting untuk memperhatikan penggunaan batasan tersebut. Batasan digunakan untuk menjaga hubungan agar saling menghormati dan saling peduli, bukannya malah menjadi alat untuk menang sendiri. Jadi, jika kamu mengalami hal seperti ini, penting untuk bicara jujur dan mendiskusikannya. Jangan takut untuk berdiskusi jika batasan itu terasa tidak adil dan membuat kamu tidak nyaman.
Referensi
Psych2Go. (2024, November 07). 6 Signs Itās Weaponized Boundaries, Not āSelf-Loveā. YouTube. https://youtu.be/jtkJoapTA4Y?si=-9F4V7oR1rZsLGUp
Gene, Combs., Jill, Freedman. (2002). 4. Relationships, Not Boundaries. Theoretical Medicine and Bioethics, doi: 10.1023/A:1020847408829
Gordon, D., Schiff. (2013). 3. Crossing BoundariesāViolation or Obligation?. JAMA, doi: 10.1001/JAMA.2020.2853