Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pemutihan Pajak Kendaran Bermotor Bisa Gagal Wujudkan Masyarakat Taat Pajak
7 Januari 2022 20:12 WIB
Tulisan dari Spin Rinto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) baru-baru ini di Provinsi Sulawesi Tenggara (SULTRA) oleh beberapa kalangan dianggap menuai kesuksesan yang luar biasa. Hal ini terlihat dari sambutan masyarakat setempat yang sangat antusias memanfaatkan momen langka ini. Nampak pula kerumunan antrean yang terjadi di Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) Kendari. Bahkan berdasarkan pantauan saya, sejak jam 3 subuh sudah banyak masyarakat yang berjubel demi untuk mendapatkan nomor antrean yang hanya dibatasi 200 nomor per hari.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur SULTRA Nomor 614 tahun 2021, Program pemutihan PKB ini berakhir pada tanggal 31 Desember 2021. Namun, melihat antusiasme masyarakat yang luar biasa, Pemprov SULTRA akhirnya memperpanjang pemutihan sampai dengan 31 Januari 2022. Tak tanggung-tanggung Pemprov SULTRA memutihkan kewajiban PKB tahun-tahun sebelumnya termasuk pokok dan denda. Sehingga pemilik kendaraan hanya perlu membayar PKB tahun berjalan. Tawaran ini tentu saja menggiurkan. Bahkan jika seseorang tidak pernah membayar PKB selama 10 tahun, maka cukup membayar PKB 1 tahun saja.
Secara umum, langkah pemutihan PKB semacam ini telah acap kali dilakukan oleh beberapa Pemprov di Indonesia meski memiliki skema insentif yang berbeda-beda. Ada yang hanya membebaskan denda saja, ada pula yang membebaskan denda dan pokoknya sekaligus. Tercatat lebih dari 12 Provinsi melakukan program pemutihan PKB selama tahun 2021. Namun pertanyaannya kemudian apakah program pemutihan PKB seperti ini benar-benar sukses mewujudkan masyarakat taat pajak atau hanya sekadar sukses dalam hal jumlah peserta pemutihan saja?
ADVERTISEMENT
Kelemahan Pasca Pemutihan Pajak
Program pemutihan pajak kendaraan bermotor di berbagai daerah di Indonesia masih menyisakan beberapa persoalan. Di sebagian besar daerah, pemutihan pajak tersebut sejatinya belum berhasil mengubah perilaku penunggak pajak menjadi sadar dan taat pajak.
Banyak penunggak pajak yang telah mendapatkan pemutihan PKB kembali “nakal” dan enggan untuk berubah. Padahal refleksi dari pemutihan pajak adalah sebagai bentuk pengampunan pajak dari pemerintah agar mereka yang selama ini menunggak mau bertobat dan memulai lembaran baru menjadi pembayar pajak yang taat. Namun fakta yang terjadi tidak demikian.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut sesungguhnya telah gagal. Seharusnya kebijakan ini mampu mendorong pemilik kendaraan agar mau memperbaiki diri menjadi pembayar pajak yang taat. Tapi kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Antusiasme masyarakat memanfaatkan pemutihan memang luar biasa, namun efeknya terhadap kesadaran dan kepatuhan pajak biasa-biasa saja.
ADVERTISEMENT
Dengan mengadopsi model Von Neumann dan Morgenstern (1944), Saya menganalisis bahwa masyarakat akan patuh membayar pajak tergantung dari 4 faktor utama, yaitu tarif pajak, probabilitas audit (razia kepatuhan Pajak Kendaraan Bermotor), pembangunan/pemeliharaan jalan yang memadai, dan probabilitas kebijakan pemutihan serupa akan berulang lagi di masa depan.
Dari keempat faktor tersebut, probabilitas audit atau razia Pajak Kendaraan Bermotor adalah faktor yang paling menentukan. Namun, tarif dan faktor lainnya juga tak bisa disepelekan. Semakin tinggi tarif pajak maka semakin besar kecenderungan pemilik kendaraan untuk tidak patuh karena merasa sangat terbebani dengan pajak tersebut.
Maka sebaiknya para pemangku kebijakan di berbagai provinsi khususnya yang melakukan pemutihan PKB untuk mempertimbangkan tarif pajak yang optimal agar tidak membebani para pemilik kendaraan bermotor. Bukan hanya mengejar penerimaan daerah dengan memberlakukan tarif yang tinggi karena justru akan meningkatkan angka ketidakpatuhan. Dengan tarif PKB yang lebih rendah diharapkan setelah mengikuti pemutihan PKB, pemilik kendaraan menjadi patuh karena merasa tidak terbebani.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya besaran tarif PKB ini sudah di tentukan dalam UU No 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD). Di mana untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% dan paling tinggi sebesar 2%. Untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% dan paling tinggi sebesar 10%. Tapi dengan ketentuan tersebut, Pemda masih memiliki diskresi untuk menerapkan tarif yang lebih rendah.
Bayangkan jika seorang pemilik mobil pribadi, dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) sebesar 150 juta dan asumsi bobot kerusakan sama dengan 1, maka dengan tarif PKB sebesar 2% jumlah pajak yang dibayarkan adalah sebesar 3 juta setahun. Bagi sebagian masyarakat kecil seperti sopir taksi online yang membeli mobil untuk mencari sesuap nasi, beban pajak kendaraan sebesar itu sangatlah memberatkan. Dan perlu diingat bahwa sebagian besar kendaraan bermotor adalah barang konsumtif yang sudah dikenakan PPN, maka tarif PKB yang dibayarkan per tahun itu harusnya tidak makin “mencekik” pemilik kendaraan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, selama ini masyarakat merasa enggan untuk membayar pajak kendaraan bisa jadi karena tidak mendapatkan benefit secara langsung. Pajak masih dianggap beban tanpa manfaat nyata bagi pemilik kendaraan. Apalagi jika dihadapkan dengan fakta jalan yang rusak parah di beberapa daerah akan makin menciutkan niat masyarakat untuk membayar PKB.
Padahal dalam pasal 8 UU PDRD diamanatkan minimal 10% dari dana Pajak Kendaraan Bermotor tersebut harus dialokasikan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan. Dana earmarking PKB ini seharusnya cukup untuk pembangunan/pemeliharaan sarana dan prasarana transportasi di daerah. Tapi lihatlah kondisi jalan di daerah, masih banyak yang rusak parah, sungguh ironis.
Dengan tarif pajak yang rendah dan tidak bersifat membebani serta diiringi dengan komitmen pemerintah membangun sarana transportasi yang memadai, maka akan memberikan insentif bagi pemilik kendaraan untuk taat pajak. Pemilik kendaraan akan merasa memiliki hak dan kewajiban yang berimbang karena merasakan benefit yang nyata dari hasil membayar pajak tersebut. Sehingga tidak ada lagi ujaran "buat apa membayar pajak tapi jalan masih rusak parah?".
ADVERTISEMENT
Jika tarif pajak sudah bersahabat dan manfaat pembangunan jalan sudah nampak di depan mata maka saatnya Pemda merutinkan razia untuk menguji kepatuhan pajak. Tentunya dengan cara-cara yang kreatif, profesional dan tidak mengganggu kenyamanan masyarakat.
Selain itu, perlu adanya afirmasi bahwa kebijakan pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor tidak akan dilakukan lagi pada tahun-tahun berikutnya. Jika masyarakat menilai bahwa kebijakan pemutihan akan ada lagi di masa yang akan datang, maka mereka akan memiliki alasan untuk menunggak pajak. Mereka akan memutuskan tetap menunggak pajak dengan harapan akan memanfaatkan lagi pemutihan di masa yang akan datang.
Program Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor adalah pilihan bijak bagi Pemda untuk mengubah perilaku masyarakat menjadi taat pajak. Tapi kebijakan tersebut akan gagal manakala belum mempertimbangkan aspek-aspek di atas. Kebijakan Pemutihan PKB seyogyanya diikuti dengan Tarif pajak yang tidak memberatkan, razia kepatuhan yang rutin, serta komitmen Pemda terkait pembangunan/pemeliharaan jalan yang memadai. Selain itu, perlu adanya penegasan bahwa program pemutihan serupa sangat kecil kemungkinan untuk diadakan lagi.
ADVERTISEMENT