Konten dari Pengguna

Optimalisasi Surplus Suplai Listrik melalui Pengarusutamaan Kendaraan Listrik

Sri Harjanto Adi Pamungkas
Dosen (CPNS) di FISIP Universitas Indonesia (mulai 2024). Peneliti di UGM (2021-2023). Menempuh pendidikan sarjana dan magister di bidang Manajemen dan Kebijakan Publik.
23 Oktober 2022 14:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sri Harjanto Adi Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Mchael Marais dari Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Mchael Marais dari Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mazzucato (2018) menyebut bahwa dunia sedang menghadapi The Grand Challenges yaitu krisis iklim dan ketimpangan ekonomi. Krisis iklim telah menjadi tantangan besar karena mengancam keberlanjutan kehidupan di bumi. Sementara itu, United Nations (2020) dalam The World Social Report menemukan bahwa ketimpangan di berbagai negara maju dan berkembang mengalami peningkatan. Pada 92 negara yang menjadi lokasi studi ditemukan bahwa 40 persen penduduk berpendapatan terbawah (bottom 40 percent) hanya menikmati 25 persen dari total pendapatan yang tersirkulasi di perekonomian.
ADVERTISEMENT
Hal ini semakin diperparah dengan dampak dari pandemi COVID-19. Pada tahun 2020, pandemi COVID-19 membuat ekonomi global mengalami kontraksi 3,9 persen yang mendorong 255 juta pekerjaan penuh waktu hilang dan memunculkan 119 hingga 124 juta warga miskin baru yang utamanya hidup di negara berkembang (UNCTAD, 2022).
Bagi Indonesia, krisis iklim dan ketimpangan ekonomi turut menjadi tantangan. Sebagai negara kepulauan, bila krisis iklim terus terjadi maka tinggi permukaan air laut yang terus meningkat dapat menenggelamkan banyak wilayah penting di Indonesia. Apalagi kota-kota dengan kontribusi besar ke perekonomian nasional seperti Jakarta, Surabaya, Semarang dan Makassar terdapat di pesisir.
Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2021 memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) senilai Rp2.914 trliun sementara Provinsi Jawa Timur pada tahun 2021 memiliki PDRB senilai Rp2.454 triliun (Katadata, 2022). Surabaya tentu menjadi penyumbang PDRB terbesar bagi Jawa Timur dengan angka Rp554 triliun (BPS, 2021). Hal ini membuat adanya kebutuhan untuk agenda-agenda yang pro-sustainability.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan ketimpangan multidimensional. Pertama, ketimpangan pendapatan yang tercermin dari Indeks Gini mencapai 0,384 pada Maret 2022 (BPS, 2022). Kedua adalah ketimpangan kekayaan yang tercermin dari distribusi kepemilikan dana di perbankan. Data dari Lembaga Penjamin Simpanan (2019) menunjukkan bahwa lebih dari 56 persen dana yang disimpan di perbankan Indonesia dikuasai oleh hanya 277.010 akun rekening. Padahal total jumlah akun rekening di Indonesia mencapai lebih dari 295 juta. Hal ini membuat adanya kebutuhan untuk agenda-agenda kebijakan yang pro-growth.
Ironisnya, adanya dua tantangan yang menghadirkan dua kebutuhan agenda kebijakan ini justru melahirkan dilema antara pertumbuhan dengan keberlanjutan atau growth-sustainability dilemma. Indonesia perlu untuk mengambil langkah-langkah strategis yang dapat menyelesaikan tantangan krisis iklim sekaligus ketimpangan ekonomi. Pada satu sisi, agenda kebijakan yang bersifat pro-sustainability perlu dijalankan.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, agenda kebijakan yang bersifat pro-growth juga perlu dijalankan. Dua kebutuhan ini membutuhkan solusi yang dapat secara integratif mendorong keberlanjutan lingkungan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi. Terdapat dua potensi yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Potensi pertama adalah adanya surplus atau kelebihan pasokan listrik dalam jumlah besar di Indonesia. Kedua adalah adanya potensi pengembangan manufaktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Potensi pertama yaitu kelebihan suplai listrik menjadi modal dasar penting dalam mendorong energi hijau. Pada tahun 2020 saja telah terjadi surplus pasokan listrik hingga mencapai 40 persen (IESR, 2021). Hal ini terjadi karena adanya penambahan pembangkit listrik sebesar 35 Gigawatt. Proyek pembangkit sebesar 35 Gigawatt ini sebenarnya ditujukan untuk proyeksi pertumbuhan ekonomi 7 persen. Bila pertumbuhan ekonomi 7 persen maka peningkatan kebutuhan listrik mencapai 8 persen per tahun. Namun, ternyata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir hanya berada di angka 5 persen dan pertumbuhan permintaan listrik hanya 4 persen (IESR, 2021).
ADVERTISEMENT
Situasi mismatch antara proyeksi dan realita ini yang kemudian membuat terjadinya surplus pasokan listrik. Spesifik untuk sektor transportasi, baik transportasi pribadi maupun umum penggunaan kendaraan berbasis listrik dapat menjadi solusi energi yang lebih ramah lingkungan. Utamanya bila dibandingkan dengan kendaraan konvensional yang berbahan bakar fosil.
Walaupun demikian, pembangkit listrik di Indonesia juga sebagian dihidupkan melalui bahan bakar fosil seperti batu bara. Oleh karena itu, dua agenda transisi perlu dilakukan. Pertama adalah transisi sumber penghidup pembangkit listrik dari batu bara ke energi lain seperti tenaga surya, bayu (angin) dan biomasa. Kedua, adalah distribusi surplus pasokan listrik untuk mendukung pengarusutamaan kendaraan berbasis listrik.
Potensi kedua yaitu manufaktur juga penting untuk dimanfaatkan. Manufaktur merupakan sektor yang memiliki kapasitas serapan tenaga kerja tinggi. Selain itu, adanya rantai pasok dan rantai nilai yang luas membuat daya ungkit manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi juga tinggi. Ekonomi Indonesia sebelum krismon didukung oleh gairah pertumbuhan industri manufaktur yang luas (ADB, 2018). Hal ini membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada dekade 1980-1990an memiliki rata-rata lebih dari 7 persen. Setelah krismon, sektor manufaktur mengalami kelesuan (Ash Center, 2013). Hal ini berdampak pada menurunnya juga rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia paska krismon menjadi di sekitar angka 5 persen.
ADVERTISEMENT
Saat ini potensi untuk membangkitkan lagi sektor manufaktur relatif terbuka. Alasan pertama karena reformasi tata kelola investasi dan kemudahan bisnis telah banyak dilakukan. Alasan kedua karena Indonesia mengalami kenaikan produktivitas tenaga kerja yang berkesinambungan. Data dari Statista (2019) menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja secara berturut-turut terus naik dari US$9/jam (2006), US$12/jam (2013), dan US$14/jam (2018).
Dua agenda transisi kemudian perlu untuk dilakukan. Agenda transisi pertama adalah dengan mengubah fokus sektor manufaktur dari otomotif konvensional menjadi kendaraan berbasis listrik. Agenda ini adalah agenda pada sisi produksi atau penawaran kendaraan berbasis listrik. Agenda transisi kedua adalah dengan memberikan berbagai insentif untuk transisi dari penggunaan kendaraan konvensional ke kendaraan berbasis listrik. Agenda ini adalah agenda pada sisi konsumsi atau permintaan.
ADVERTISEMENT
Agenda-agenda strategis yang telah dijabarkan pada paragraf-paragraf sebelumnya membutuhkan pendekatan kebijakan yang bersifat multidimensional. Hal ini karena penggunaan hanya satu instrumen kebijakan tidak akan efektif. Berbagai instrumen kebijakan perlu digunakan secara sinergis dan integratif. Setidaknya ada 3 agenda prioritas yang perlu dilakukan. Pertama adalah penyaluran kelebihan suplai listrik dari PLN untuk kebutuhan SPBBL (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Listrik). Kedua adalah transisi sumber pembangkit listrik dari batu bara ke tenaga surya, angin dan biomasa. Ketiga adalah mendorong transisi penggunaan kendaraan bermotor dari kendaraan konvensional ke kendaraan berbasis listrik. Oleh karena itu, pendekatan yang perlu digunakan bukan one-size-fits-all policy namun policy-mix atau bauran kebijakan. Secara spesifik, bauran kebijakan adalah penggunaan berbagai instrumen kebijakan untuk mencapai sebuah tujuan yang sama.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Asian Development Bank. (2018). Enhancing Productivity Through Quality Jobs. Diunduh pada 22 September 2020 dari <http://dx.doi.org/10.22617/TCS189213-2>
BPS. (2022). Gini ratio maret 2022 tercatat sebesar 0,384. Diakses pada 12 Oktober 2022 melalui
<https://www.bps.go.id/pressrelease/2022/07/15/1933/gini-ratio-maret-2022-terc atat-sebesar-0-384.html#:~:text=Abstraksi,Gini%20Ratio%20adalah%20sebesar %200%2C384.>
BPS. (2021). Pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya 2020. Diakses pada 17 Oktober 2021 melalui
<https://surabayakota.bps.go.id/pressrelease/2021/03/18/236/pertumbuhan-ekonomi--kota-surabaya-2020.html#:~:text=Perekonomian%20Kota%20Surabaya%202 020%20yang,85%20persen%20dibandingkan%20tahun%202019.>
Lembaga Penjamin Simpanan. (2019). Distribusi Simpanan Bank Umum Periode September 2019. Diunduh pada 22 September 2020 dari <http://www.lps.go.id>
IESR. (2021). Indonesia kelebihan pasokan listrik, bisakah di ekspor. Diakses pada 12 Oktober 2022 melalui
<https://iesr.or.id/indonesia-kelebihan-pasokan-listrik-bisakah-di-ekspor>
Katadata. (2022). 10 provinsi dengan PDRB atas dasar harga berlaku terbesar. Diakses pada 17 Oktober 2021 melalui
<databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/09/pdrb-dki-jakarta-terbesar-se-ind onesia-pada-2021#:~:text=Berikut%20ini%2010%20provinsi%20dengan,Jakarta %20Rp%202.914%2C58%20triliun>
Mazzucato, Mariana. (2018). Mission-oriented innovation policies: Challenges and opportunities. Oxford: Industrial and Corporate Change
ADVERTISEMENT
PBB. (2020). World Social Report 2020: Inequality In A Rapidly Changing World. Department of Economic and Social Affairs diunduh pada 22 September 2020 dari
<https://www.un.org/development/desa/dspd/wp-content/uploads/sites/22/2020/0 1/World-Social-Report-2020-FullReport.pdf>
Statista. (2019). Labor Productivity Per Hour In Indonesia 2000-2018. [online] Diakses pada 22 September 2020 melalui
<https://www.statista.com/statistics/878170/indonesia-labor-productivity-per-hou r/>
UNCTAD. (2022). China’s structural transformation: what can developing countries learn? UNCTAD. Diakses pada 10 Mei 2022 melalui
<https://unctad.org/webflyer/chinas-structural-transformation-what-can-developn g-countries-learn>