Kemunculan Varian Baru Virus SARS-Cov2, Berbahayakah?

Sri Surati
Microbiology and Molecular Biology Division, National Quality Control Laboratory of Drug and Food, Indonesian Food and Drug Authority. ASNation. The University of Indonesia. Osaka University.
Konten dari Pengguna
27 Desember 2020 6:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sri Surati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi COVID-19. Foto: Dado Ruvic/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi COVID-19. Foto: Dado Ruvic/Reuters
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika berhubungan dengan varian baru pada makanan dan minuman, hal ini merupakan kabar baik. Namun jika varian baru tersebut ditemukan pada virus yang sedang menjadi pusat perhatian dunia saat ini, tentu kabar buruk namanya.
ADVERTISEMENT
Kemunculan varian baru virus penyebab COVID-19 ini ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan, dan terkini dilaporkan telah menyebar ke beberapa negara termasuk negara tetangga Indonesia, Singapura dan Australia.
Terdengar sangat menyeramkan hingga berhasil membuat kepanikan masyarakat dunia. Jepang contohnya, dengan meningkatnya kasus tambahan selama musim dingin dan kasus varian baru dari Inggris dan Afrika Selatan, per tanggal 28 Desember 2020 hingga akhir Januari 2021, maka pemerintah Jepang menolak kembali masuknya orang asing ke negaranya.
Salahkah Virus Bermutasi?
Virus dapat dikatakan bermutasi jika terdapat perubahan pada sandi-sandi pengkode kehidupannya. Perubahan sandi-sandi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan sehingga mutasi ini dapat memberikan manfaat atau kerugian.
Mutasi merupakan hal yang sangat wajar. Virus harus bermutasi untuk beradaptasi dengan inangnya. Faktor genetik inang menjadi penyebab utama munculnya varian SARS-Cov-2. Mikroorganisme atau penyakit yang terdapat dalam tubuh inang juga mempengaruhi hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya mutasi, virus mampu bertahan hidup dengan kondisi inangnya atau sebaliknya. Bukan salah virus bermutasi. Virus hanya ingin hidup tanpa mempedulikan kondisi inangnya. Virus dikatakan berhasil bermutasi jika mampu menyebar dengan cepat.
Laju Mutasi Virus SARS-Cov-2
Semenjak kemunculannya pertama kali di Wuhan, data sekuensing hingga saat ini menunjukkan bahwa laju mutasi pada SARS-Cov-2 cenderung lebih lambat dibandingkan dengan virus RNA lainnya.
Berdasarkan Ewen Callaway (2020), rata-rata laju mutasinya hanya setengah kalinya dari virus influenza dan seperempat kalinya dari HIV. Jika dihitung rata-ratanya, SARS-CoV-2 hanya mengakumulasi dua mutasi huruf tunggal per bulan dalam genomnya. Hal ini dikarenakan SARS-Cov-2 memiliki enzim yang mampu mengoreksi kesalahan penyalinan yang berpotensi fatal.
ADVERTISEMENT
Perlukah Khawatir?
Hasil penelitian menunjukkan bahwa varian baru virus yang muncul di Inggris dan Afrika Selatan telah mengalami mutasi yang menyebabkan virus ini mampu menyebar dengan lebih cepat dari sebelumnya. Namun hingga saat ini, tidak terbukti bahwa mutasi tersebut meningkatkan virulensinya.
The Guardian (2020) melaporkan bahwa kasus varian baru di Afrika Selatan lebih banyak menyerang kelompok usia muda antara 15-25 tahun, namun penelitian masih tetap dilakukan untuk membuktikan apakah hal tersebut disebabkan oleh mutasi pada varian baru.
Kengerian lainnya, mutasi yang terjadi pada varian baru Afrika Selatan tersebut ditengarai mampu membuat orang yang telah terinfeksi sebelumnya menjadi mudah terinfeksi kembali.
Dalam hal ini, lokasi mutasi pada virus yang perlu lebih diperhatikan. Berdasarkan sudut pandang kemampuannya menginfeksi manusia, jika mutasi terjadi pada daerah yang tidak penting (non-essensial), maka tidak perlu dikhawatirkan. Namun, jika mutasi terjadi pada daerah protein spike, yaitu daerah yang bertanggung jawab sebagai alat masuknya virus ke dalam tubuh manusia, maka harus diwaspadai.
ADVERTISEMENT
Pengembangan vaksin saat ini banyak memanfaatkan daerah protein spike sebagai daerah yang dapat dikenali oleh antibodi manusia. Jika terjadi perubahan yang signifikan pada daerah tersebut, hingga antibodi tidak mampu mengenali sang virus, maka vaksin yang dikembangkan tidak akan efektif untuk kasus ini.
Dari varian-varian baru tersebut, perubahan signifikan tidak ditemukan pada protein spike yang menjadi target sebagian besar pengembangan vaksin di dunia. Oleh karena itu, vaksin yang dikembangkan saat ini dirasa masih potensial untuk menstimulasi antibodi untuk melawan virus SARS-Cov2.
Pentingnya Monitoring
Selain gejala umum seperti demam dan batuk, infeksi varian baru virus ini dilaporkan mampu menyebabkan hilangnya selera makan, kelelahan, diare, nyeri otot hingga ruam kulit. Oleh karena itu, walaupun pada akhirnya vaksinasi telah dilaksanakan, masyarakat harus tetap waspada dan menerapkan protokol kesehatan dengan disiplin.
ADVERTISEMENT
Beberapa sumber melaporkan bahwa tampaknya mutasi pada varian baru tersebut memang tidak memengaruhi kemanjuran vaksin, tetapi mutasi-mutasi yang terdapat pada varian baru tersebut perlu sepenuhnya dikarakterisasi.
Jika vaksin mulai diberikan dan terbukti efektif, perubahan pada virus untuk beradaptasi pada vaksin perlu diobservasi walaupun lagi-lagi tingkat mutasi yang rendah membuat kecilnya kemungkinan tersebut terjadi.
Beberapa varian dapat memberikan dampak besar terhadap vaksin atau proses pengobatan. Oleh sebab itu, sangat penting sekali untuk melakukan monitoring terhadap varian yang beredar untuk mendeteksi kemungkinan mutasi yang dapat membuat vaksinasi atau proses pengobatan menjadi kurang efektif.
Perlu Peduli untuk Saling Melindungi
Melakukan pelacakan terhadap orang yang memiliki kontak dengan orang yang terinfeksi maupun orang tanpa gejala juga memegang peranan penting dalam memutus rantai penyebaran virus, apalagi varian baru ini dikenal lebih cepat menyebar. Orang yang melakukan kontak harus melakukan karantina selama 14 hari untuk memutus rantai penyebaran.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan WHO, seseorang dikatakan memiliki “kontak” apabila orang tersebut berada dalam jarak 1-meter selama minimal 15 menit dengan orang yang terinfeksi COVID-19 atau orang tanpa gejala.
Menurut WHO, pelacakan kontak yang diterapkan secara sistematis, akan efektif dalam memutus rantai penularan.
Kemudian bagaimana agar sistem pelacakan menjadi mudah? Hidup di era digitalisasi, cara konvensional dengan melakukan pendataan manual dirasa masih kurang efektif.
Jika Jepang memiliki Cocoa (Covid-19 Contact App), sejak pertengahan tahun 2020 kemarin, pemerintah Indonesia juga telah mengembangkan sebuah aplikasi bernama PeduliLindungi yang dapat diunduh melalui Google Play Store maupun App Store.
Seperti halnya Cocoa, PeduliLindungi bertujuan untuk membantu pemerintah melakukan pelacakan sehingga penyebaran Covid-19 dapat dihentikan.
ADVERTISEMENT
Aplikasi ini memerlukan akses ke layanan GPS dan perangkat bluetooth yang harus selalu menyala sehingga masyarakat berpartisipasi membagikan data lokasinya saat bepergian sehingga pelacakan riwayat kontak menjadi mudah untuk dilakukan.
Masyarakat tidak perlu risau karena kerahasiaan data pribadi dijamin keamanannya oleh pemerintah. Data hanya akan diakses dan akan dihubungi oleh petugas kesehatan jika seseorang melakukan kontak dan berisiko tertular COVID-19. Pengguna aplikasi akan menerima notifikasi jika mereka berada di wilayah zona merah.
Aplikasi ini sebenarnya sangat bermanfaat dalam membantu tugas pelacakan yang dilakukan pemerintah. Namun, sayangnya belum semua masyarakat terpapar informasi mengenai aplikasi ini.
Kondisi ekonomi yang belum merata menyebabkan belum memungkinkannya semua masyarakat menginstal aplikasi ini, sehingga kolaborasi dengan sistem pendataan manual masih harus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Pemerintah seyogyanya menggalakkan kembali penyebaran informasi mengenai keberadaan PeduliLindungi sehingga akan semakin banyak masyarakat memanfaatkan aplikasi ini dan pelacakan akan menjadi lebih efektif.
Seperti namanya, masyarakat diharapkan ikut peduli untuk melindungi orang-orang di sekitarnya dan memutus rantai penyebaran dari COVID-19.