Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Makna Konotatif Industrialisasi pada Tumbuhnya Kanonisasi Budaya
8 Maret 2024 11:44 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Shubuha Pilar Naredia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Modernitas menghadirkan industrialisasi sebagai konsekuensinya, atas nama kesejahteraan kemudian menjadikan industrialiasi kian populis daya ekspansinya. Sebagai sebuah tren, industrialisasi mulai mewabah di berbagai kawasan mulai dari kota hingga ke desa. Industrialisasi menggerakan semua sendi kehidupan karena menawarkan lowongan pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Dunia industri tak lagi terbatas pada cerobong asap ataupun alat-alat mesin saja, wajahnya berubah semakin liar sampai pada berbagai komputasi dan kalkulasi algoritma pasar. Sebut saja misalnya industri digital di ruang-ruang maya. Ruang maya semakin kabur karena dewasa ini realitas dunia maya seakan beriringan dengan dunia nyata. Individu begitu menjaga privasinya di dunia maya karena ketakutannya akan berdampak pada realitas nyata di kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari laman ekon.go.id, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menerangkan bahwa prinsip industri yang maju dan berdaya saing diwujudkan melalui Program Making Indonesia 4.0 dalam tujuh sektor industri yakni industri makanan dan minuman, industri kimia, industri tekstil dan busana, industri otomotif, industri elektronika, industri farmasi, dan industri alat kesehatan. Ketujuh sektor ini memberikan kontribusi sebesar 70% dari total PDB manufaktur, 65% ekspor manufaktur, dan 60% pekerja industri. Dari kutipan itu nampaknya jelas bahwa industri memiliki kedudukan penting dalam perekonomian negara khususnya Indonesia.
Melihat keberfungsiannya, di sisi lain industrialisasi dapat menimbulkan berbagai macam permasalahan seperti; berkurangnya lahan pertanian, berubahnya pola perilaku, bergesernya nilai dan norma, meningkatnya tingkat kriminalitas, dan berubahnya gaya hidup pada masyarakat agraris menjadi modern. Berbagai hal itulah yang kemudian menjadikan industri yang awalnya diyakini sebagai janji manis modernitas perlu kembali dipertanyakan. Menggugat industri sama halnya menggugat negara, hal ini dikarenakan negara nampaknya masih memandang industri sebagai salah satu pilar pembangunan. Dilansir dari cnbcindonesia.com, Menteri Perindustrian (Menperin) Republik Indonesia yaitu Agus Gumiwang menerangkan bahwa industri merupakan sektor strategis karena memiliki kontribusi besar terhadap PDB. Kontribusi PDB industri pengolahan nonmigas terhadap total PDB pada tahun 2019 diperkirakan 17,58 - 17,70%. Pada tahun 2020, kontribusi tersebut bakal menanjak menjadi 17,80 - 17,95%. Kontribusi ini memang masih rendah dari yang pernah tercapai sebelumnya yang sempat mencapai 21% pada 2014. Lantas bagaimana memposisikan masalah sosial yang hadir bersamaan dengan masifnya industri di berbagai kawasan Indonesia? Sebelum menjawabnya maka perlu adanya sajian mengenai kondisi yang menyerupainya. Sebut saja misalnya peristiwa kanonisasi budaya yang terjadi di Surakarta.
ADVERTISEMENT
Melansir dari kampungnesia.org, Susanto menerangkan bahwa kanonisasi budaya di Surakarta berlangsung pada 1904-1920 dengan ciri perkembangan tahap ini adalah besarnya arus kedatangan para imigran Belanda ke Surakarta dengan prosentase tinggi dari kaum wanita. Sejak itu kultur Surakarta berkembang dalam bentuk hubungan yang berat sebelah berupa nuansa kolonial Belanda. Praktik itu terjadi melalui proses totokisasi dalam bentuk standar bahasa Belanda, bahasa Melayu, hukum, serta lembaga pengadilan. Proses itu kemudian menciptakan politik identitas yang sifatnya diskriminatif terutama bagi kalangan elite pribumi Jawa. Saat itulah sifat masyarakat dan budaya Surakarta yang sebelumnya heterogen berubah menjadi semakin bersifat homogen dan tampak semakin kaku.
Melalui narasi tersebut nampaknya menjadi kontradiksi yang signifikan karena dalam catatan sejarah (meskipun dengan mengambil contoh peristiwa di Surakarta), bangsa ini pernah mengalami arus kanonisasi budaya pada tahap perubahan sosial kemasyarakatan akibat kedatangan Bangsa Asing. Sementara hari ini, bangsa-bangsa asing nampaknya tidak hadir langsung di negara ini, namun representasinya melalui alat-alat serta tawaran industrialisasi modernya yang kini memainkan letupan kanonisasi budaya baru di tengah modernitas yang melanda negeri ini.
ADVERTISEMENT
Industrialisasi menyempurnakan praktik perubahan sosial di masyarakat. Masyarakat dengan mayoritasnya yang berada di sektor industri mau tidak mau ataupun suka tidak suka mulai berubah pemaknaannya pada industri. Tak hanya dipandang sebagai peluang lowongan pekerjaan, namun industri telah berkonotatif dimaknai sebagai ruang modern yang menghadirkan prestisius tersendiri. Pada akhirnya meledaklah apa yang disebut sebagai kanonisasi budaya. Sebuah ledakan arus yang membuat tatanan sosial masyarakat tergantikan dengan arus-arus baru atas nama keadilan serta kesejahteraan. Para wanita mulai bekerja bahkan diposisikan sebagai tulang punggung keluarga. Para wanita berpakaian layaknya pria atas dasar mobilitas dan fleksibilitas. Para ibu-ibu meninggalkan keluarganya dan fungsi pendidikan keluarga dimainkan oleh pria atau ayah. Bahasa-bahasa di dunia industri mulai terbawa ke dalam dunia keluarga, cara bergaul bahkan paradoks lain mulai seperti cara bercanda hingga penalaran logika pasar dimainkan pada cara mendidik anak. Bahkan yang lebih miris lagi jika sampai hal tersebut menjadi orientasi baru dari para generasi muda, mereka lebih meyakini bekerja daripada berkarya. Inilah peristiwa besar yang melanda masyarakat hari ini, maka menjadi bijak nampaknya lebih baik dari sekadar terbuai janji kebajikan atas nama modernitas yang ditopang industrialisasi.
ADVERTISEMENT