Konten dari Pengguna

Pendidikan Berbasis Militer : Sebuah Tanda Ketidakmampuan Pemerintah

Diki Yakub Subagja
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang Kota Tangerang Selatan
7 Mei 2025 14:57 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diki Yakub Subagja tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto istimewa penulis ilustrasi tentang pendidikan berbasis militer
zoom-in-whitePerbesar
foto istimewa penulis ilustrasi tentang pendidikan berbasis militer
ADVERTISEMENT
Gerakan pendidikan berbasis militer dan militer masuk ke ranah sipil sampai saat ini perannya sudah semakin meluas. Hal tersebut sudah ditemukan dari beberapa kegiatan seperti terlibatnya TNI dalam pengelolaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), masuknya TNI aktif ke jabatan lembaga sipil sampai TNI mendatangi kegiatan mahasiswa di kampus-kampus.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, fenomena militer masuk ke ranah sipil sudah terjadi sekian lama. Namun, menjelang bahkan setelah di sahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI baru), fenomena militer masuk ke ranah sipil semakin masif. Salahsatu contohnya adalah kerjasama antara Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) yang akan melibatkan peran militer kedalam berbagai macam sektor sipil.
Pada tanggal 14 maret 2025, Pemprov Jabar yang di pimpin oleh Gubernur Dedi Mulyadi adalah yang pertama melakukan tanda tangan kerjasama secara resmi dengan Kepala Staff TNI AD yaitu Jendral Maruli Simanjuntak. Perjanjian kerjasama tersebut terlampir dalam Perjanjian Kerjasama antara pihak Provinsi Jawa Barat dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Nomor : 23/DG.02.02.01/PEMOTDA dan Nomor : KERMA/11/III/2025 tentang Sinergi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Manunggal Karya Bakti Skala Besar Pembangunan Daerah di Provinsi Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Perjanjian kerjasama tersebut menimbulkan kritik dari berbagai pihak karena dianggap menyalahi UU TNI yang baru karena penempatan TNI dalam kerjasama tersebut berada diluar 14 bidang yang tercantum dalam UU TNI. Sayangnya, bukannya perjanjian kerjasama itu di batalkan atau ditinjau ulang, justru Gubernur Jawa Barat malah secara terang-terangan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 mulai meresmikan keterlibatan TNI baru diluar perjanjian kerjasama tersebut yaitu keterlibatan TNI kedalam institusi pendidikan dalam bentuk siswa kategori nakal akan dikirim ke barak militer.
Atas dasar paradigmanya sendiri yang menilai ketidakmampuan orang tua dan guru dalam membina para siswa yang nakal, Gubernur Jawa Barat memberikan kepercayaannya kepada TNI dengan maksud untuk melakukan rehabilitasi bagi siswa-siswa yang masuk kedalam kategori nakal supaya pola hidupnya bisa berubah menjadi lebih baik. Bukannya meredam kritik, justru langkah tersebut menjadi polemik yang menuai hujan kritik karena kebijakan tersebut dianggap tidak relevan. Bahkan, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat menilai kebijakan tersebut bukanlah sebuah solusi.
ADVERTISEMENT
Pendidikan Berbasis Militer Bukan Solusi
Kebijakan Gubernur Jawa Barat untuk mengirim siswa yang masuk kategori nakal untuk di bina di barak militer meskipun dengan persetujuan orang tua siswa, proses pendidikan yang melibatkan militer bukanlah solusi. Dilansir dari Tempo.co (28/4/2025), Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat menilai usulan siswa nakal masuk barak itu kurang tepat karena kementeriannya sudah memiliki mekanisme yang baku yaitu dengan mengoptimalkan peran guru bimbingan konseling (BK) yang menggunakan pendekatan edukatif kepada para siswa.
Selain daripada pendekatannya yang terkesan militeristik, dengan mengirim siswa nakal untuk di bina di barak militer adalah sebuah langkah yang tidak menyelesaikan akar permasalahan. Apabila seorang tokoh publik sekelas Gubernur mengetahui berbagai macam sebab kenakalan siswa itu terjadi, kenapa hanya mengirim siswa ke barak yang menjadi solusi?
ADVERTISEMENT
Apalagi disertai dengan pendapat dan penilaian dari berbagai hirarki dan jabatan pemerintahan yang saling bertentangan, itu menandakan bahwa orientasi dan pola koordinasi dari lintas instansi pemerintahan saling bertabrakan dan berpotensi melahirkan tumpang tindih kebijakan sehingga tidak mencerminkan pengelolaan pemerintah berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Padahal, jabatan publik seperti Kepala Daerah Provinsi bisa mengoptimalkan penerapan kebijakan yang sudah ada bahkan mengusulkan dan membuat berbagai regulasi serta program kebijakan baru yang berfokus untuk menutup berbagai macam celah peluang lahirnya penyebab kenakalan siswa itu terjadi seperti edukasi pembatasan penggunaan gadget untuk anak dibawah umur, larangan penggunaan sepeda motor bagi anak sekolah dan sebagainya.
Selain itu, Pemerintah Daerah Provinsi juga bisa membuat program-program yang dapat menstimulus perkembangan produktivitas, inovasi, kerjasama dan kreativitas anak muda baik itu di dalam lembaga formal maupun non-formal untuk mengisi waktu luang generasi muda khususnya di jawa barat yang tentunya dengan mengedepankan partisipasi dan koordinasi dengan berbagai pihak supaya program yang akan dibuat bisa sesuai dengan kebutuhan daerah yang beragam.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, dengan harmonisasi kebijakan yang dapat menutup berbagai celah peluang lahirnya penyebab kenakalan siswa dan kebijakan yang dapat menstimulus perkembangan siswa secara partisipatif dan koordinatif, kebijakan yang akan diambil bisa lebih demokratis, humanis dan bermakna.
Sebuah Tanda Ketidakmampuan Pemerintah
Dengan mengambil kebijakan seperti mengirim siswa nakal ke barak militer atau membiarkan pendidikan militer masuk ke sekolah-sekolah, itu berarti bukan orang tua dan guru yang tidak mampu membina para siswanya, melainkan itu merupakan tanda ketidakmampuan pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Dalam hal ini, Pemprov Jabar telah menjadi contoh pertama bentuk pemerintahan yang tidak mampu melahirkan solusi mendasar untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di lingkungan masyarakat.
Dalam sebuah pepatah populer, kita sama-sama mengetahui bahwa 'Mecegah lebih baik daripada mengobati'. Jika kebijakan Pemprov Jabar yang mengirim siswa nakal ke barak kita analogikan kedalam konteks kesehatan, maka langkah kebijakannya lebih terlihat seperti pemberian obat. Namun dalam rencana terbarunya, selain daripada siswa nakal, warga nakal di jawa barat juga akan dikirim ke barak.
ADVERTISEMENT
Sepertinya, ini sudah bukan terlihat seperti obat yang sesuai dengan resep dari dokter, melainkan seperti obat yang sesuai dengan permintaan perusahaan obat supaya obat tersebut laku terjual di masyarakat luas dan zat dalam obat tersebut bersenyawa kedalam tubuh masyarakat sehingga menimbulkan efek ketergantungan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, masyarakat kita masih mempunyai trauma terhadap keterlibatan militer dalam sektor sipil sejak lama. Diantaranya, tindakan represif yang dilakukan militer kepada masyarakat sipil dalam setiap kegiatan aksi demonstrasi dan keterlibatan militer dalam tindakan represif terhadap masyarakat adat dalam proyek yang mengakibatkan perampasan tanah adat.
Dengan metode mengemas peran militer sebagai obat dari beberapa penyakit sosial masyarakat seperti siswa dan warga nakal, peran Pemprov Jabar terkesan seperti sales obat untuk meyakinkan masyarakat bahwa dengan peran militer adalah satu-satunya obat yang paling mujarab untuk mengobati penyakit sosial masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain daripada itu, langkah tersebut bisa menjadi misi terselubung dalam rangka memulihkan citra buruk masyarakat terhadap militer. Mungkin dari kebijakan ini kita bisa menduga bahwa kebijakan yang di lakukan oleh Pemprov Jabar adalah salahsatu proyek untuk menyerap alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 yang paling tinggi diberikan kepada sektor pertahanan dan keamanan.
Sebagaimana pepatah populer diatas menyebutkan, bahwa upaya pencegahan itu lebih baik daripada mengobati. Namun jika kita lihat manuver politik kebijakan Pemprov Jabar yang terkesan sudah menjadi seperti sales obat tersebut, akhirnya Pemprov Jabar melakukan upaya playing victim yang menyalahkan pihak lain seperti ketidakmampuan orang tua dan guru untuk pembenaran diri dan menutupi manuver politiknya dalam menjalankan proyek pemulihan citra buruk militer.
ADVERTISEMENT
Padahal, yang sebenarnya tidak mampu dan tidak mau memberikan solusi terhadap penyakit sosial masyarakat itu adalah Pemprov Jabar itu sendiri. Jadi, alasan kebijakan mengirim siswa dan warga nakal itu tidak relevan jika mengambil alasan atas dasar ketidakmampuan orang tua dan guru.
Seharusnya, Pemprov Jabar dengan kewenangannya bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang berbentuk upaya pencegahan seperti menutup berbagai macam peluang penyebab terjadinya kenakalan di lingkungan siswa maupun warga dan memberikan program-program edukasi kepada orang tua atau warga supaya bisa menciptakan ekosistem lingkungan keluarga yang positif mulai dari tingkat rumah tangganya.
Jadi, kebijakan seperti pendidikan berbasis militer adalah salahsatu produk instant yang lahir dari ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan solusi yang mendasar terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat.
ADVERTISEMENT