Stereotip Maskulinitas di Tengah Sexual Harassment pada Laki-laki

Yudi Sudiana
Yudi Sudiana adalah Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Amikom Purwokerto.
Konten dari Pengguna
8 Mei 2021 13:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yudi Sudiana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelecehan seksual seringkali dialami oleh laki-laki. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelecehan seksual seringkali dialami oleh laki-laki. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini kita kembali dikejutkan dengan kasus pelecehan seksual. Sebut saja kasus FU, remaja laki-laki asal Probolinggo berusia 16 tahun yang mengaku diperkosa oleh seorang perempuan penyanyi dangdut. Masih teringat di benak kita kasus Reynhard Sinaga pada awal tahun 2020 yang didakwa penjara seumur hidup atas kasus pemerkosaan terhadap 206 pria di Inggris. Tentu saja kedua kasus tersebut berhubungan dengan tindakan pelecehan seksual.
ADVERTISEMENT
Pelecehan seksual (sexual harassement) merupakan segala tindakan seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisan atau fisik atau isyarat yang bersifat seksual, atau perilaku lain apa pun yang bersifat seksual, yang membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi, sehingga menciptakan lingkungan yang mengintimidasi, bermusuhan atau tidak sopan. Kunci dari definisi pelecehan seksual adalah kata "tidak diinginkan".
Berbicara tentang pelecehan seksual, sering kali yang menjadi korban adalah perempuan. Kekerasan/pelecehan seksual yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki; perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki dan juga karena perempuan masih dipandang sebagai second class citizens.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kasus-kasus di atas, pelecehan seksual juga kerap terjadi dan dialami laki-laki. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2018, menyatakan bahwa korban pelecehan seksual lebih banyak dialami oleh laki-laki. Di mana 122 anak laki-laki dan 32 anak perempuan.
Pelecehan seksual yang dialami oleh laki-laki tidak lepas dari stereotype masyarakat terhadap maskulinitas. Menurut Beynon (2007), maskulinitas merupakan laki-laki yang terlihat sangat “kebapakan”, sebagai penguasa dalam keluarga, dan sosok yang mampu memimpin perempuan serta membuat keputusan yang utama.
ilustrasi pixabay.com
Stereotype maskulinitas (laki-laki) dan feminimitas (perempuan) mencakup berbagai aspek karakteristik individu, seperti karakter atau kepribadian, perilaku peranan, okupasi, penampakan fisik, ataupun orientasi seksual. Jadi misalnya laki-laki diciri oleh watak yang terbuka, kasar, agresif, dan rasional, sementara perempuan bercirikan tertutup, halus, afektif, dan emosional. Dalam hubungan individu laki-laki diakui maskulinitasnya jika terlayani oleh perempuan, sementara perempuan terpuaskan feminitasnya jika dapat melayani laki-laki. Dalam hal okupasi pekerjaan yang mengandalkan kekuatan dan keberanian seperti tentara, sopir, petinju, dan sebagainya disebut sebagai pekerjaan maskulin, sementara pekerjaan yang memerlukan kehalusan, ketelitian, dan perasaan seperti salon kecantikan, juru masak, menjahit, dan sebagainya, dinamakan pekerjaan feminim. Muhadjir Darwin (1999).
ADVERTISEMENT
Stereotype inilah yang pada gilirannya menciptakan hubungan yang bias antara laki-laki dan perempuan, di mana hegemoni laki-laki atas perempuan dianggap sesuatu yang kodrati. Menjadi jelas pula di sini bahwa tanpa melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap konsep maskulinitas, di samping sudah barang tentu dekonstruksi konsep feminimitas, hubungan laki-laki dan perempuan yang egalitarian sulit terwujud.
Masih sempitnya sudut pandang masyarakat dan respons negatif kasus pelecehan seksual terhadap laki-laki mengakibatkan korban enggan untuk speak up. Meskipun sudah jelas menjadi korban, konteks maskulinitas mereka dipertanyakan. Masyarakat sering kali menyudutkan korban terkait bagaimana seharusnya bisa membela diri dan bagaimana mereka berpenampilan. Ketika seorang laki-laki menjadi korban perlecehan seksual, identitas personal mereka mulai terganggu dan mulai mempertanyakan orientasi seksual mereka. "Apakah akan menjadi gay?"
ADVERTISEMENT
Sering kali masyarakat mempertanyakan maskulinitas laki-laki dengan tudingan-tudingan, “kenapa tidak melawan?” “kok kamu tidak kabur? Apa jangan-jangan kamu menikmati perilaku itu ya?” Jelas-jelas ketika menjadi korban, “maskulinitas” itu ternodai.
Peran LSM atau organisasi yang menangani kasus kekerasan atau pelecehan seksual pada laki-laki sangat dibutuhkan. Banyak dari mereka yang merasakan depresi akibat perlakuan ini dan memilih untuk bunuh diri. Padahal, laki-laki juga merasakan emosional psikologi yang sama seperti perempuan setelah mengalami pelecehan seksual. Alangkah baiknya, pandangan masyarakat terhadap isu ini lebih terbuka. Media konseling sangat dibutuhkan untuk recovery korban kekerasan atau pelecehan seksual. Dengan dukungan kepada korban dan hukuman yang setimpal untuk pelaku, diharapkan kasus pelecehan seksual pada laki-laki dapat dihentikan.
ADVERTISEMENT