Korupsi dalam Pandemi

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
9 Desember 2020 7:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Peristiwa hukum yang menimpa pejabat Kementerian Sosial, terkait dana bantuan sosial (bansos), tentu saja menambah daftar panjang pejabat publik yang terkena kasus hukum, baik dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dalam kerangka gerakan pemberantasan korupsi, langkah KPK dalam beberapa minggu terakhir (menjelang peringatan Hari Antikorupsi), tentu terasa seperti obat penawar pesimisme yang sempat berkembang luas, pasca-revisi UU KPK. Pesimisme warga, tentu bukan merupakan ekspresi dari keputusasaan, melainkan wakil dari kehendak kuat mengakhiri segala bentuk korupsi, karena hanya dengan itu, negeri ini, akan punya keleluasaan untuk melangkah, terutama untuk dapat keluar secara gemilang dalam menghadapi Pandemi Global COVID-19 (selanjutnya Pandemi). Pertanyaan publik yang terus menggedor adalah mengapa di tengah Pandemi, masih terjadi peristiwa korupsi? Bagaimana memutus mata rantai korupsi? Bagaimana publik sebaiknya memahami peristiwa ini?
ADVERTISEMENT

Pandemi

Kendati belum berumur satu tahun, namun kejadian pandemi telah membawa dampak yang sangat besar. Bagi pribadi, pandemi telah mengubah perilaku, sebagai konsekuensi dari keharusan menerapkan 4M secara konsisten, yakni: mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak fisik, dan menghindari kerumunan. Kebiasaan untuk bekerja di rumah, dan berbagai akibat dari pola hidup baru tersebut, pada gilirannya membawa dampak pula pada perilaku komunitas. Apa yang semula tidak dibayangkan akan berlangsung, kini telah berlangsung sebagai hal yang biasa, yaitu pertemuan yang dilakukan secara daring. Pertemuan keluarga, rapat kantor, hingga perkuliahan berjalan dengan lancar, dan cenderung menjadi hal yang biasa. Malah, bagi sebagian orang, jadwal di masa pandemi justru lebih padat, karena pertemuan daring dapat dilangsungkan dari rumah.
ADVERTISEMENT
Kita ketahui bahwa akibat kebiasaan baru, telah membawa dampak yang besar bagi gerak ekonomi. Kegiatan ekonomi kecil, pada sebagian dapat cepat bertransformasi, karena sebagian transaksi berjalan secara online. Hal yang mengejutkan adalah bahwa dalam peristiwa ini, solidaritas antar warga relatif terbentuk. Artinya, peristiwa Pandemi, pada sisi yang lain, membawa dampak pada kemunculan ekonomi tolong-menolong. Namun dalam skala yang lebih besar, keadaan ekonomi mengalami tekanan berat. Tidak terhindarkan ekonomi Indonesia telah masuk jurang resesi. Angka PHK meningkat, dan diperkirakan berjumlah tidak kurang dari 2,67 juta, sementara itu angka pengangguran per Agustus 2020, diperkirakan mencapai 9,77 juta orang. Keadaan akan semakin parah, manakala tidak segera ada gerak ekonomi. Oleh sebab itulah, dibutuhkan bantuan sosial, khususnya bagi mereka yang sangat terpukul dan tidak punya jalan ke luar. Meskipun dari segi jumlah tidak terlalu besar, namun bagi yang membutuhkan, bantuan tersebut sangat berarti.
ADVERTISEMENT
Kenyataan inilah yang membuat rasa jiwa publik terkejut, manakala ada berita bahwa bansos menjadi objek korupsi. Ketua KPK, Firli Bahuri, menyebut ada empat titik rawan korupsi dalam pelaksanaan anggaran Rp 405,1 triliun penanganan virus corona. Keempatnya yakni pengadaan barang jasa, sumbangan pihak ketiga, alokasi anggaran, dan pendistribusian bantuan sosial (kumparan.com, 29 April 2020). Jika dilihat dari empat celah tersebut, dapat dikatakan bahwa kesemuanya telah ada dalam pengawasan KPK, dan penegak hukum lainnya. Lebih dari itu, para pelaku, tentu mengetahui bahwa bantuan dipersiapkan bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Karena itulah, muncul pertanyaan reflektif, mengapa hal itu masih terjadi? Benarkah masalah ini semata-mata sebagai persoalan moral atau integritas pejabat publik? Apakah ada faktor lain juga perlu mendapatkan perhatian publik?
ADVERTISEMENT
Korupsi
Jika kita menggunakan pengertian umum dari korupsi, yakni penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan “private”, maka dapat dikatakan bahwa suatu kejadian korupsi selalu merupakan kejadian di mana hal yang publik “diinvasi” oleh hal yang private. Korupsi dengan demikian, memuat persoalan yang sangat terkait dengan relasi kuasa. Atau dengan kata lain, hanya yang berkuasa, atau yang memegang mandat kekuasaan yang akan dapat melakukan korupsi. Apabila pemahaman yang akan digunakan untuk mengerti apa yang terjadi, maka dapat dikatakan bahwa suatu korupsi dimungkinkan manakala: (1) ada akumulasi kekuasaan, atau tersedianya kekuasaan yang memungkinkan tindak korupsi; (2) lemahnya kontrol, atau sistem yang ada kurang memungkinkan berlangsungnya kontrol publik; dan (3) lemahnya integritas para penyelenggara, sedemikian sehingga kesempatan tidak diminimalisasi melalui penciptaan tata kelola yang baik, sebaliknya dibangun mekanisme yang lebih tertutup. Pada titik ini, kita hendak mengatakan integritas ikut memberikan sumbangan yang besar.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan refleksi yang layak untuk diajukan untuk menjadi bahan diskusi publik adalah apa itu kekuasaan publik? Apabila kekuasaan yang dimaksud adalah suatu kapasitas legal untuk melahirkan kebijakan publik, maka tentu kekuasaan yang dimaksud adalah otoritas yang datang dari publik. Artinya, kekuasaan tersebut merupakan mandat dari publik. Jika demikian halnya, maka perlu dipersoalkan, apakah ada batas dari mandat publik? Maksudnya, apakah publik memberikan mandat kepada para penyelenggara kekuasaan, suatu mandat tidak tak terbatas, yang sedemikian rupa sehingga pembawa mandat dapat menciptakan ketentuan yang memberikan dirinya keleluasaan untuk melakukan apa pun, termasuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Tentu saja tidak. Kekuasaan tersebut tentu hanya punya relevansi ketika digunakan untuk keperluan yang bersangkut paut dengan kepentingan publik. Setiap tindakan yang telah menyimpang atau tidak mengekspresikan upaya untuk mengurus kepentingan publik, pada dasarnya adalah tindakan koruptif.
ADVERTISEMENT
Apabila terdapat limitasi mandat, lantas bagaimana mengupayakan agar hal tersebut operasional? Dalam hal inilah pentingnya kontrol publik. Kita perlu menjernihkan pandangan tentang apa yang dimaksud dengan kontrol publik, agar tidak mudah digelincirkan sebagai suatu langkah politik praktis. Yang dimaksud dengan kontrol publik, tentu bukan bagian dari kompetisi politik, atau bukan bagian dari pertarungan politik dalam kerangka perebutan kekuasaan. Kontrol publik yang dimaksudkan di sini adalah langkah sosial atau langkah publik yang diarahkan untuk memastikan bahwa: (a) suatu kebijakan disusun dari bahan yang merupakan aspirasi publik; (b) suatu kebijakan diputuskan melalui proses yang berpegang kuat pada prinsip-prinsip demokrasi; dan (c) suatu kebijakan yang hadir sebagai jawaban nyata atas masalah-masalah yang dihadapi rakyat. Oleh karena itu, kontrol publik tidak lain merupakan langkah partisipasi publik, yang diinvestasikan untuk menggaransi kinerja demokrasi benar-benar berjalan sebagaimana maksud diadakannya.
ADVERTISEMENT
Ketiga hal tersebut hanya mungkin jika sistem yang dibangun: (1) terbuka dan membuka diri, baik dalam memberikan akses informasi pada publik, maupun menerima kritik dan masukan dari publik, yang umumnya disuarakan oleh media publik; (2) partisipatif, dalam arti senantiasa melibatkan publik dalam setiap tahapan. Dalam hal pengadaan bantuan selama masa pandemi misalnya, sedari awal publik terlibat, sehingga kemungkinan salah sasaran, atau terjadinya penurunan kualitas bantuan, akan mendapatkan pengawasan publik. Dengan partisipasi tersebut, tidak saja para penyelenggara terhindar dari godaan korupsi, namun juga bagi masyarakat penerima, akan dapat dipastikan bahwa mereka menerima seperti apa yang diprogramkan. Siklus control publik, dari waktu ke waktu, jika dijalankan, akan membawa mekanisme kontrol di kalangan masyarakat sendiri. Dengan kesemuanya ini, integritas penyelenggara akan dengan sendirinya terbentuk, karena sejak awal rekrutmen telah mensyaratkan integritas yang tinggi.
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan

Partisipasi Luas

Dengan keterangan di atas, dapat dikatakan: Pertama, segala bentuk langkah yang berujung pada akumulasi kekuasaan, di semua tingkatan, harus dapat dihindari. Akumulasi kekuasaan, terlebih dengan dalih keadaan darurat pandemi, akan membuka peluang bagi terbentuknya sistem yang lebih tertutup, yang tidak memungkinkan partisipasi publik. Jika pada masa normal pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan menggunakan mekanisme lelang, maka dalam keadaan tidak normal, darurat, akan dimungkinkan suatu mekanisme penunjukkan. Soalnya, apakah tersedia akses publik untuk mengetahui proses yang berlangsung, sehingga keputusan yang diambil, walaupun dengan menggunakan mekanisme tertutup, akan tetap dapat diakses publik, terutama untuk menjamin proses yang berjalan jauh dengan motif penyalahgunaan kewenangan.
ADVERTISEMENT
Kedua, segala bentuk kontrol publik, hendaknya dapat diupayakan untuk berkembang dan hidup secara dinamis. Kita perlu mengembangkan suatu pengertian yang disebut di sini sebagai “iklim integritas”, yakni suatu suasana di mana setiap orang menjadi tidak nyaman jika tidak bekerja dengan integritas. Suasana ini perlu ditumbuhkan oleh suatu gerakan masyarakat, yakni suatu bentuk kesadaran masyarakat, untuk menghadirkan “iklim integritas” di beberapa tempat, seperti di keluarga, kelas (sekolah, dunia Pendidikan), komunitas, korporasi (tempat kerja), dan lain-lain. Jika tempat tersebut dapat tumbuh menjadi lingkungan integritas, maka dengan sendirinya perilaku integritas tidak saja menjadi perilaku individual, melainkan menjadi perilaku publik, dan pada gilirannya menjadi perilaku bangsa.
Hal kedua tersebut, hanya mungkin terwujud jika ada partisipasi masyarakat. Oleh karena itulah, amat perlu dipikirkan dengan seksama, agar masalah korupsi dapat menjadi problem warga. Yang dimaksudkan adalah agar masalah korupsi, benar-benar menjadi perhatian masyarakat, dan tidak sekadar menjadi objek dari tindakan penegak hukum. Partisipasi publik terdekat adalah memastikan agar politik uang tidak berjalan dalam pemilihan kepala daerah. Kita mengetahui bahwa politik uang merupakan titik pangkal penting tumbuh suburnya korupsi. Dengan sikap menolak warga, maka yang terpilih adalah mereka yang benar-benar mengandalkan kapasitas dan integritas. Masalah ini sudah saatnya menjadi perhatian seluruh elemen bangsa yang punya concern dalam pemberantasan korupsi. Kita percaya tidak ada satupun warga yang senang dengan praktik korupsi, karena itu, kita optimis akan segera tumbuh partisipasi yang besar dan luas dari masyarakat untuk bersama-sama bekerja menghentikan segala jenis praktik korupsi, terlebih di masa Pandemi ini.***
ADVERTISEMENT
*Oleh Sudirman Said [Ketua Institut Harkat Negeri]