Pandemi dan Kolaborasi Masyarakat Sipil

Sudirman Said
Warga negara biasa.
Konten dari Pengguna
13 Juli 2021 15:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sudirman Said tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Warga yang menggunakan masker melintasi mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Tebet, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Warga yang menggunakan masker melintasi mural yang berisi pesan waspada penyebaran virus Corona di kawasan Tebet, Jakarta. Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagaimana telah diduga sebelumnya, bahwa ketika mobilitas warga kembali meninggi, maka jumlah kasus COVID-19 akan naik—ketika tulisan ini disusun, jumlah kasus sudah melewati angka 2,5 juta. Mengapa kesadaran setiap warga tidak kunjung tumbuh, sehingga setiap peristiwa kultural yang membuka peluang bagi kegiatan liburan, menjadi momen ledakan kasus? Mengapa kampanye panjang sejak tahun lalu, seperti kurang berbuah optimal? Apakah ada cara lain yang layak dikembangkan untuk agar Pandemi benar-benar dapat dikendalikan penyebarannya? Siapa agen utama dari langkah baru tersebut? Masalah-masalah ini, sangat menjadi bahan dialog nasional.
ADVERTISEMENT

Kebijakan dan Kesadaran

Tentu publik menyimpan ingatan ketika terjadi debat terkait dengan langkah pembatasan sosial. Ada pro dan kontra. Yang pro menyadari bahwa pembatasan sosial merupakan cara saintifik yang terbaik, agar virus tidak menular secara cepat. Yang kontra, meskipun memahami duduk masalah, namun hal-hal yang tersambung dengan kebutuhan hidup, membuat pembatasan menjadi issue ekonomi. Oleh sebab itulah, pembatasan diiringi dengan penyediaan bahan kebutuhan dasar.
Memang harus diakui bahwa pro dan kontra tidak segera tuntas. Akibatnya, situasi "dalam keraguan" ikut menyebar. Dalam situasi yang demikian, dapat segera dibayangkan, apa yang akan terjadi. Program pembatasan dan pelonggaran, berjalan beriringan. Pada satu sisi protokol di-push, namun pada sisi yang lain, dorongan bagi langkah pemulihan ekonomi juga menguat. Kegiatan ekonomi kembali menggeliat, dan dengan sendirinya muncul kembali kerumunan di sana-sini.
ADVERTISEMENT
Idealnya kebijakan penanganan Pandemi, diterima publik sebagai pedoman untuk menata ulang tata hidup, sedemikian sehingga mata rantai penyebaran terputus. Artinya, kebijakan bukan pertama-tama tentang apa yang hendak dilakukan oleh pembuat kebijakan, akan tetapi tentang perubahan perilaku di kalangan publik. Secara demikian, kebijakan seharusnya punya dimensi edukasi, dengan arah mengubah perilaku publik. Untuk sampai pada jenis kebijakan tersebut tentu tidak mudah.
Selain kebijakan harus didasarkan pada pengetahuan yang baik atas kenyataan, namun juga dibutuhkan suatu ekosistem yang juga baik, sehingga proses pembentukan kebijakan memenuhi syarat dasar tata kelola pemerintahan yang baik. Meskipun tidak mengikuti secara ketat, namun publik dapat merasakan, apa yang sebenarnya terjadi. Tatkala kebijakan menimbulkan pro dan kontra, muncul pertanyaan mengapa masih muncul perdebatan, pasca keputusan. Atau mengapa penolakan publik terhadap rencana kebijakan yang dipandang tidak sejalan, tidak mendapatkan tempat atau kurang didengar?
ADVERTISEMENT
Masalah makin kompleks, manakala muncul kasus hukum atas pejabat negara yang punya tugas mengurus keperluan publik. Soalnya, tentu bukan pertama-tama diambilnya uang negara, melainkan dibatalkan pelayanan yang baik, padahal di masa Pandemi, pelayanan merupakan bahasa paling jelas dari komitmen kebijakan. Pelayanan yang baik, sebagaimana konstitusi mengaturnya, akan merupakan alas bagi kepercayaan publik. Pembatalan pelayanan yang baik dalam bentuk kasus korupsi, tentu merupakan pintu bagi distrust.
Dalam batas tertentu, dapat dikatakan bahwa lingkungan yang dicemari dengan distrust, membuat segala sesuatu tidak bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan. Peristiwa harian memperlihatkan dengan sangat jelas bagaimana dialektika terjadi. Ada kalanya dari atas muncul kebijakan pembatasan, namun yang berlangsung justru kerumunan di sana-sini, sehingga dihadirkan law enforcement. Sebaliknya, ada kalanya muncul kebijakan pelonggaran, tetapi bawah merespons sebaliknya, meminta ada pembatasan. Soal yang demikian ini, perlu menjadi perhatian publik. Maksudnya agar ada jalan keluar yang baik. Arahnya jelas: Pandemi segera berakhir.
ADVERTISEMENT

Kolaborasi

Telah disadari dari awal bahwa Pandemi tidak bisa diatasi oleh satu atau dua pihak, dibutuhkan kerja sama yang luas dari seluruh elemen masyarakat. Jika kesadaran akan Pandemi merupakan pokok soal, bagaimana masalah ini dapat diatasi? Atau, bagaimana agar di kalangan masyarakat tumbuh kesadaran dan disiplin yang kuat, sehingga laku bawah sadar dari publik merupakan tindakan yang mencerminkan kesadaran menjalankan protokol kesehatan? Dengan kesadaran tersebut, setiap kebijakan yang berbasis sains akan didukung publik dan dikawal pelaksanaannya. Dan sebaliknya, setiap kebijakan penanganan pandemi bersifat yang anti sains, atau tidak sesuai dengan protokol, akan mendapatkan kritik dan dengan itu pembuat kebijakan tanpa ragu mengubahnya. Pandemi membutuhkan kerja sama yang luas, atau kolaborasi seluruh elemen masyarakat. Pada titik inilah dibutuhkan kesadaran kebangsaan, yaitu suatu sikap yang meyakini bahwa tidak ada warga bangsa yang ingin keadaan menjadi bertambah buruk. Kita yakin semua elemen ingin agar masalah Pandemi segera dapat dikendalikan.
ADVERTISEMENT
Dengan kesadaran itulah, kolaborasi masyarakat sipil, seharusnya dibangun dan digerakkan menjadi lokomotif dalam mengatasi masalah Pandemi. Kolaborasi yang dibutuhkan meliputi: (1) saling bantu, dan menghimpun bantuan untuk menolong yang ada dalam kesulitan – langkah saling bantu membutuhkan sikap saling percaya yang kuat; (2) saling mengedukasi, dalam rangka membangun ruang publik yang lebih sehat, yang tidak dibanjiri oleh hoaks, melainkan oleh pengetahuan yang membantu mengendalikan penyebaran virus; dan (3) saling bekerja sama, untuk melahirkan tata hidup baru, terutama pasca Pandemi, agar hidup bersama kita sebagai bangsa lebih mampu dalam menghadapi situasi sulit seperti Pandemi.
Sangat diharapkan kaum terpelajar, organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan dan sosial keagamaan, dapat tampil mengambil inisiatif, dalam membangun kolaborasi tersebut. Kaum terpelajar sangat dinantikan kemampuannya dalam membentuk jalan pikiran yang sehat bagi publik dalam berinteraksi. Selain itu, kaum terpelajar perlu merumuskan kurikulum edukasi, yang dalam prosesnya melibatkan publik. Organisasi atau kelompok sosial kemasyarakatan dan keagamaan, punya peran strategis dalam membangun komunikasi publik yang dilambari semangat kebersamaan dan keberagaman.
ADVERTISEMENT
Suatu ruang dialog publik, layaknya dewan kota, mungkin baik untuk dipikirkan format kehadirannya. Tentu yang dimaksud bukan jenis tandingan pada institusi formal yang ada, melainkan lebih sebagai pelengkap, terutama agar terbangun ruang dialog yang sehat, dan mampu menjadi jembatan dalam mengatasi hal yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan konvensional. Ruang tersebut akan lebih dimungkinkan dengan teknologi. Dan hal ini bisa jadi merupakan tantangan bagi generasi milenial yang melek teknologi, untuk menciptakan teknologi yang mampu menghadirkan ruang (virtual) bersama yang dimaksud. Jika dimungkinkan, kolaborasi masyarakat akan menemukan format dan cara yang baru, serta mampu menjadi kekuatan baru dalam mengatasi Pandemi.
Sudirman Said, Sekretaris Jenderal Palang Merah Indonesia