Konten dari Pengguna
Di balik Tren Gym dan Maraton : Apakah Kita Benar-Benar Sehat?
11 Juni 2025 15:58 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Superdi Hasan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, dunia termasuk Indonesia mengalami lonjakan tren olahraga. Gym menjamur di kota-kota besar, komunitas lari tumbuh di mana-mana, dan media sosial dipenuhi unggahan tentang gaya hidup sehat. Tapi pertanyaan pentingnya apakah semua ini benar-benar mencerminkan peningkatan kesehatan secara menyeluruh?
Gaya Hidup Sehat atau Sekadar Gaya?
Tak bisa dipungkiri, tren gaya hidup aktif punya dampak positif. Orang-orang lebih sadar akan pentingnya olahraga dan nutrisi. Namun, dalam banyak kasus, olahraga juga dijadikan komoditas visual hanya demi konten, bukan konsistensi. Fitness menjadi simbol status. Lari bukan lagi soal stamina, tapi soal tampil keren di garis start dan finish.
ADVERTISEMENT
Fenomena “Joki Strava” pada tahun 2024 menjadi salah satu contoh mencolok. Joki ini melayani orang-orang yang ingin terlihat berolahraga di media sosial, padahal kenyataannya tidak. Survei Populix pada Juli 2024 terhadap 1.912 responden di Indonesia menunjukkan bahwa 19% pernah menggunakan jasa joki untuk menyelesaikan tugas tertentu, termasuk aktivitas olahraga.
Kesehatan Tak Hanya Soal Fisik
Padahal, memiliki tubuh ideal bukanlah satu-satunya tolak ukur kesehatan. Kesehatan sejati adalah harmoni antara tubuh, pikiran, dan emosi. Sayangnya, aspek psikologis dan emosional seringkali luput dari perhatian. Di balik senyum di selfie setelah lari 10 kilometer, bisa saja tersembunyi stres, tekanan sosial, atau gangguan pola makan yang tidak terlihat.
Menurut Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018, gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia mencapai 9,8%. Di kalangan remaja dan dewasa, tekanan media sosial berkontribusi terhadap ketidakpuasan tubuh dan kecemasan sosial sebuah ironi dalam dunia yang memuja “kesehatan” fisik.
ADVERTISEMENT
Tantangan Akses dan Edukasi
Tren olahraga juga masih terpusat di kalangan menengah atas di kota besar. Akses terhadap fasilitas kebugaran, makanan sehat, atau pelatih profesional bukan hal yang mudah dijangkau semua orang. Berdasarkan laporan BPS (2022), hanya sekitar 23% penduduk Indonesia yang rutin melakukan aktivitas fisik sesuai anjuran WHO (150 menit/minggu), dan kesenjangan akses antara desa dan kota masih tinggi.
Edukasi pun menjadi persoalan serius. Banyak yang meniru gaya hidup influencer tanpa pemahaman dasar tentang tubuhnya sendiri. Menurut studi Kementerian Kesehatan, hanya 12,7% masyarakat Indonesia yang memahami prinsip gizi seimbang dan kebutuhan kalori harian.
Solusi sehat yang lebih inklusif
Untuk memperbaiki situasi ini, pendekatan kesehatan harus lebih membumi dan inklusif. Pemerintah bisa mendorong olahraga komunitas gratis di ruang publik, seperti senam pagi di taman kota, lomba jalan sehat, atau pelatihan kebugaran berbasis RW/RT. Sekolah juga bisa menjadi pusat edukasi gizi dan olahraga sejak dini, dengan kurikulum yang tak hanya menekankan hasil fisik, tapi juga kesehatan mental dan pola pikir positif terhadap tubuh.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kampanye publik perlu diarahkan untuk merayakan proses, bukan penampilan. Menghargai orang yang rutin berjalan kaki ke pasar atau bersepeda ke tempat kerja harus sama pentingnya dengan memberi sorotan pada pelari maraton. Karena pada akhirnya, kebugaran adalah perjalanan jangka panjang bukan pencitraan sesaat.
Menuju Makna Sehat yang Lebih Utuh
Mari mulai dari hal-hal kecil misalnya berjalan kaki 15 menit sehari tanpa harus dipotret, memilih air putih ketimbang minuman manis, atau sekadar menyalakan alarm tidur lebih awal. Karena sehat adalah keputusan yang kita ambil setiap hari untuk diri kita, bukan untuk validasi orang lain
Tren gym dan maraton bisa jadi awal yang baik, asal kita tidak kehilangan arah. Sehat itu bukan tentang siapa yang paling cepat finish, tapi siapa yang bisa konsisten dan bahagia dalam menjalankan nya. .
ADVERTISEMENT