Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Cebong-Kampret Bersatu Di Kabinet, Polarisasi Kadrun-Togog Kapan Reda?
23 Desember 2020 8:56 WIB
Tulisan dari Suhari Ete tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Reshuffle Kabinet Indonesia Maju besutan Jokowi-Maaruf kali ini cukup menarik dicermati, masuknya mantan Cawapres Sandiaga Salahudin Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ke dalam kabinet Jokowi, melengkapi masuknya mantan "Pasangan 02" ke dalam kabinet mantan rivalnya.
ADVERTISEMENT
Mungkin baru di Indonesia terjadi mantan rival dalam pemilihan presiden kedua capres dan cawapres-nya menjadi anggota kabinet pemenang pilpres.
Setelah mantan Capres dalam Pilpres 2019 lalu Prabowo Subianto pada kesempatan pertama menduduki jabatan dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan.
Kondisi ini membuat Politisi Nasdem Irma Suryani Chaniago yang pada Pilpres 2019 lalu berada di kubu "01" dengan sinis berpendapat
"Ada nama Sandiaga Uno ikut masuk, artinya percuma kemarin saya dan teman-teman koalisi berdarah-darah di Pilpres," ujar Irma seperti dilansir Tribunnews.com Selasa (22/12/20).
Bisa dipahami sih kesinisan Irma ini, tentunya kita masih ingat benar bagaimana sengitnya Pilpres 2019 lalu, masyarakat Indonesia benar-benar terbelah saat itu , antar saudara dan tetangga tak saling sapa lantaran berbeda pilihan politik dan residunya hingga kini masih sangat terasa.
ADVERTISEMENT
Sementara di akar rumput sebutan cebong dan kampret yang kini telah bersalin nama menjadi togog dan kadrun masih beredar luas terutama di media sosial, yang artinya sisa-sisa polarisasi masih ada, padahal pada level elite sudah berpelukan
Seperti kita ketahui Jokowi memenangkan pilpres 2014 dengan margin tipis. Perbedaan perolehan suara antara Jokowi dan Prabowo pada 2014 merupakan yang paling tipis di antara pilpres sejak 1998, menandai ketatnya persaingan antara kedua kubu.
Keengganan Prabowo mengakui kekalahannya pada pilpres 2014 diduga menjadi pemicu keberlangsungan segregasi politik sepanjang masa pemerintahan Jokowi 2014-2019.
Tidak lama kemudian pendukung masing-masing kubu menemukan istilah untuk memanggil kubu lawannya. Muncullah panggilan cebong dan kampret.
Sebagian pendukung fanatik Prabowo menggunakan kata cebong untuk merujuk pada pendukung fanatik Jokowi. Istilah cebong muncul dari kata kecebong yang merupakan anak katak. Istilah ini berasal dari kegemaran Jokowi memelihara kodok ketika menjadi Walikota Solo.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pendukung fanatik Jokowi membalas dengan menggunakan kata kampret untuk merujuk pada pendukung fanatik Prabowo. Awalnya, kata itu muncul sebagai ekspresi umpatan kekesalan yang digunakan pendukung Prabowo untuk mengomentari kebijakan Jokowi.
Pertarungan yang belum selesai ini berlanjut pada pilpres 2019 dan semakin diperparah dengan beberapa faktor: Perselisihan antara kedua kelompok ini berlanjut pada tataran legislatif dan eksekutif. Partai-partai oposisi di parlemen yang dimotori oleh Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang didirikan oleh Prabowo selalu mengkritik Kebijakan pemerintahan Jokowi .
Berbagai isu sosial, ekonomi dan politik yang muncul dalam ranah publik atau media sosial selalu terbagi menjadi dua kubu tanpa adanya dialog publik.
Misalnya isu pembangunan jalan tol di Jawa menjadi isu partisan antara kedua kelompok. Perdebatan antara “tol milik Jokowi” dan “rakyat tidak makan infrastruktur” tidak bisa dihindari tanpa ada diskusi substantif terkait isu yang lain seperti tarif dan penggunaan fasilitas jalan tersebut.
ADVERTISEMENT
Politik partisan juga merembet ke pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti di DKI Jakarta. Kemenangan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta pada tahun 2017 diidentikkan dengan kemenangan kubu Prabowo.
Para ahli berpendapat kemenangan Anies disebabkan penggunaan politik populis yang juga dipakai Prabowo. Pendekatan menggunakan isu agama sebagai senjata terbukti ampuh untuk meraih kemenangan.
Belajar dari kemenangan Anies, Jokowi tampaknya mengadopsi pendekatan kelompok Prabowo yang menggunakan isu agama. Ini alasannya kenapa Jokowi kemudian memilih tokoh Islam konservatif Ma'ruf Amin sebagai wakil presidennya.
Dan kini masuknya Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Sandiaga Uno ke kabinet Jokowi-Ma'ruf setidaknya telah mencerminkan rekonsiliasi politik.
Kita berharap berharap rivalitas pilpres 2019 yang mengakar hingga kini di masyarakat Indonesia segera reda usai Sandi bergabung di kabinet Jokowi. Istilah cebong dan kampret yang menjadi sinisme dua kubu Prabowo-Jokowi pun diharapkan segera hilang.
ADVERTISEMENT
Meski harapan itu tampaknya masih jauh dari kata “terwujud”. Polarisasi politik masih berlanjut hingga kini. Jika sebelumnya polarisasi berkutat pada sebutan “cebong” dan “kampret”, kini permusuhan diwarnai oleh istilah “Togog” dan “kadrun”.
Togog sendiri merupakan nama dari tokoh perwayangan yang identik dengan sifat jahat. Secara kebetulan, gambaran tokoh ini berada di belakang Jokowi ketika santap siang bersama Prabowo pasca-pertemuan MRT. Sementara itu, Kadrun merupakan singkatan dari kadal gurun – sejenis hewan yang hidup di hamparan gurun Timur Tengah dan Afrika Utara.
Jika sebelumnya polarisasi sebelumnya berpusar di antara Jokowi-Prabowo, kini persaingan Togog-kadrun lebih sering diidentikkan dengan Jokowi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, atau Pemerintah VS FPI dan PA 212
ADVERTISEMENT
Terlepas dari adanya kecenderungan dukungan politik tersebut, polarisasi ini bisa saja berdampak pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Kira-kira, bagaimana dampaknya terhadap dinamika politik ke depannya? Lalu, kebijakan-kebijakan pemerintah yang seperti apa yang dapat terpengaruh?
Semoga rakyat tidak menjadi korban