Sigaraning Nyawa

Suhari Ete
Sekretaris Umum Perhimpunan Jurnalis Rakyat Tinggal di Batam - Kepulauan Riau
Konten dari Pengguna
16 April 2021 16:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Suhari Ete tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sigaraning Nyawa
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dalam istilah jawa, istri biasanya mendapatkan sebutan Garwa (pakai "O"), yaitu kependekan dari sigaraning nyawa atau belahan jiwa. Dalam beberapa ilmu baik agama maupun kehidupan, garwa memiliki makna filosofi cukup dalam di ikatan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Sigaraning nyawa atau belahan jiwa berarti, istri adalah belahan jiwa suaminya, dan suami tak akan bisa hidup tanpa istrinya. Oleh sebab itu, begitu dalamnya arti seorang istri dalam kehidupan suami dan rumah tangga, maka wajiblah bagi suami untuk membahagiakan istrinya sebaik mungkin.
Kendati suami mendapatkan peran kepemimpinan, akan tetapi hal itu tidak boleh membuatnya memposisikan diri menjadi atasan, yang bisa menindas bawahan dengan semaunya. Kepemimpinan suami adalah peran pengarahan, keteladanan, perlindungan, pengayoman, dalam bingkai cinta serta kasih sayang. Suami adalah pemimpin, bukan penguasa maka tidak boleh memimpin dengan otoriter dan sewenang-wenang yang membuat istri berada dalam posisi yang tertindas atau terzalimi.
Jika dicermati dari berbagai aspek dan dihayati lebih mendalam, penyebutan seorang istri sebagai “garwa” ini memiliki beberapa konsekuensi logis dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Pertama, ketika laki-laki dan perempuan melaksanakan akad nikah, mereka diikat sangat kuat dalam sebuah “mitsaqan ghalizha” (perjanjian yang agung). Pernikahan ini menandakan seorang lelaki dan perempuan telah saling menemukan “sigaraning nyawa”nya. Oleh karena itu, suami harus menerima dengan segenap rasa syukur bagaimanapun sosok dan kondisi istrinya. Begitu pula istri harus menerima dengan penuh kerelaan bagaimanapun sosok dan kondisi suaminya. Mereka adalah belahan jiwa bagi yang lain.
Sikap syukur dan kerelaan ini harus selalu di tumbuh suburkan dan dipelihara hingga akhir usia. Tidak layak bagi mereka untuk saling mencela dan mencari-cari kesalahan serta kelemahan pasangan. Mereka adalah belahan jiwa, tidak akan lengkap jika terpisah. Ketika bersatu dalam pernikahan, maka belahan jiwa telah tersatukan, sehingga hidup mereka utuh.
ADVERTISEMENT
Kedua, karena telah menjadi “sigaraning nyawa”, maka antara suami dan istri harus senantiasa berada dalam “satu pihak” dalam menyikapi berbagai permasalahan yang datang silih berganti dalam kehidupan. Oleh karena itu, dalam kehidupan pasangan suami istri, tidak boleh lagi ada sekat yang menghambat kebersamaan dan penyatuan hati serta pemikiran antara keduanya. Setiap menghadapi masalah, suami dan istri harus selalu berada dalam pihak yang sama, bukan berseberangan.
Jika terpaksa muncul konflik, pasangan suami istri harus segera mampu menyelesaikan dengan baik dan semakin mendekat satu dengan yang lain, sehingga hari demi hari mereka selalu diliputi oleh rasa sakinah, mawwadah dan rahmah. Konflik tidak untuk memisahkan mereka, sehingga masing-masing mengambil sikap dan pihak yang berseberangan. Namun justru harus menyadarkan untuk semakin mendekat dan menyatu, sehingga sikap setiap muncul masalah adalah “kita hadapi bersama”.
ADVERTISEMENT
Ketiga, “sigaran” atau belahan jiwa itu menyiratkan adanya keseimbangan antara satu dengan yang lain. Suami dan istri harus berada dalam suasana yang saling melengkapi, saling menguatkan, saling memberi hingga ada konsekuensi keduanya berlaku aktif untuk memulai kebaikan bagi yang lain. Bukan saling menunggu, namun saling mendahului untuk memberikan yang terbaik bagi pasangan.
Kalau hanya satu pihak yang aktif, sementara pihak lainnya pasif, ini menandakan tidak ada keseimbangan. Suami dan istri harus sama-sama aktif untuk menciptakan kebaikan, keharmonisan, kebahagiaan, keindahan dalam keluarga. Keduanya tidak saling menunggu pasangan dalam menciptakan kebahagiaan keluarga. Keseimbangan dalam melakukan berbagai kebaikan dalam keluarga akan semakin menguatkan keharmonisan dan kebahagiaan mereka.
Keempat, sebagai belahan jiwa, suami dan istri harus berusaha untuk saling mengenali, memahami, mengerti lebih dalam satu dengan yang lain. Mereka tidak berhenti untuk mengenali setiap perubahan yang ada pasa pasangannya. Dengan demikian, dari waktu ke waktu, mereka akan semakin mampu menyatu dalam segala aspek. Menyatu dalam visi, menyatu dalam langkah, menyatu dalam sikap, menyatu dalam menghadapi tantangan serta persoalan kehidupan.
ADVERTISEMENT
Tidak layak suami dan istri saling berjauhan secara visi, sikap dan langkah, karena mereka adalah belahan jiwa satu dengan yang lain. Justru mereka harus semakin mendekat sehingga tidak ada sekat dan jarak yang membuat mereka terpisahkan. Menjadi kewajiban suami dan istri untuk selalu berusaha lebih memahami dan mengerti satu dengan yang lain.
Kelima, makna “sigaraning nyawa” menandakan adanya kesatuan dalam kehidupan, atau ada kesejiwaan dan kesenyawaan. Seakan suami ‘tidak bisa hidup’ tanpa istri, dan istri ‘tidak bisa hidup’ tanpa suami. Nyawa kita hanya satu, maka jika hilang sebagiannya, menyebabkan tidak bisa membentuk kehidupan yang utuh dan normal. Kita tidak bisa hidup dengan separuh nyawa saja. Penyatuan suami dan istri menyebabkan kita memiliki nyawa yang utuh untuk bisa hidup normal.
ADVERTISEMENT
Ungkapan “jangan menikahi seseorang yang bisa engkau ajak menjalani hidup bersamanya, namun nikahilah seseorang yang engkau tidak bisa hidup tanpanya”, menjadi relevan dengan makna “sigaraning nyawa” ini.
Pecahing Dhadha, Wutahing Ludira
Bahkan karena suami dan istri itu saling menjadi belahan jiwa bagi yang lain, maka sikap pembelaan di antara keduanya sampai ke tingkat “pecahing dhadha, wutahing ludira”. Pecahnya dada dan tertumpahkannya darah. Artinya, sampai mati akan tetap dibela dan dilindungi. Hal ini menandakan, suami dan istri sudah berada dalam ikatan chemistry yang kokoh dan tak terpisahkan.
Ungkapan ini tidak dimaksudkan untuk pemberian pembelaan secara membabi buta terhadap pasangan. Namun lebih dimaksudkan sebagai kekompakan sikap, atau kesejiwaan yang kokoh, antara suami dan istri. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Sehingga apabila ada pihak ketiga yang bermaksud jahat untuk memisahkan mereka, maka keduanya bersikap saling memberikan pembelaan sampai titik darah penghabisan.
ADVERTISEMENT
Pembelaan yang muncul akibat kesejiwaan, menjadi soulmate, belahan jiwa, yang apabila mereka dipisahkan, membuat tidak bisa mendapatkan kehidupan yang utuh. Belahan jiwa harus dibela, dilindungi, diayomi, dan dipertahankan keutuhan ikatannya. Tidak rela apabila ada pihak lain yang mencoba mencerai beraikan ikatan cinta dan kasih sayang di antara keduanya.
Jika ada yang mencoba-coba mengganggu, akan dibela hingga "pecahing dhadha wutahing ludira”, karena jika kehilangan pasangan, nyawa kita tinggal separuhnya.
Referensi:
M. Ilyas Sunnah, Menghayati Makna Garwa “Sigaraning Nyawa”, Makalah, Yogyakarta, 2013