Aku Kabur ke Bandung

Sukma Gayatri
Mahasiswi jurusan Mass Communication lulusan Universitas Bina Nusantara. Aktif sebagai announcer, mc/vo talent, dan sekarang tengah belajar menekuni dunia jurnalisme.
Konten dari Pengguna
31 Maret 2021 18:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sukma Gayatri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan dari Bukit Cimenyan.
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan dari Bukit Cimenyan.
ADVERTISEMENT
Bayangkan ini: Kamu bekerja dengan selalu memperlihatkan layar laptopmu—istilahnya, presenting your screen. Apapun yang kamu lakukan harus terlaksana dengan benar, sesepele mengetik pesan di WhatsApp. Bila salah (bahkan ketika kamu belum menyadari kesalahan itu), bosmu yang galak itu langsung berteriak: "Salah itu!"
ADVERTISEMENT
Kamu merasakan tekanan seperti itu sejak pagi hingga malam hari. Senin terlewati, masih ada Selasa, Rabu, Kamis. Semuanya terulang. Dan Jumat pun tiba: Bekerja—termasuk dimarahi—hingga selesai, tutup laptop, lalu aku "kabur" ke Bandung.
Sudah sejak lama aku ingin ke Bandung. Bagi anak Jakarta, ini short escape terbaik karena Bali terlalu jauh. Untung saja tiga temanku juga bisa ikut. Sudah terbayangkan kenikmatan liburan: Segar, indah, seru!
Tapi hidup tak seindah yang dibayangkan. Jumat jam 11 malam itu teman-temanku malah ingin jalan-jalan, padahal badanku rasanya sudah remuk. Alih-alih tidur nyenyak di daerah Padalarang, kami malah berwisata di Cimenyan—jaraknya satu jam perjalanan.
Yang dituju adalah Bukit Moko, lahan di kaki bukit yang sering didatangi wargi Bandung karena pemandangannya:
Pemandangan dari Bukit Moko.
Yang menyebalkan: Warung-warung di sana sudah tutup!
ADVERTISEMENT

Liburan Dimulai

Sabtu sudah tiba! Setelah sarapan, kami berburu diskon di Rumah Mode Factory Outlet yang ternyata harga baju-bajunya sudah tidak semurah itu—termasuk harga kaus bergaris yang aku beli.
Usai shopping, kami makan siang di Sudut Pandang, sebuah kafe di kaki bukit Lembang. Namanya sesuai dengan pemandangannya: Kita bisa menikmati pemandangan bukit sambil bersantap ria.
Spot terbaik adalah meja di luar ruangan, tanpa atap. Sayangnya, waktu itu lagi gerimis.
Aku di Kafe Sudut Pandang.
Sudut Pandang bukan kafe satu-satunya. Ada banyak tempat makan serupa yang menawarkan spot foto instagramable, misalnya ini:
Arin dan aku di bawah jalan berlampion.
Minggu pun datang dan kami bangun siang. Aku dan teman-teman kembali bergerilya kafe, dan berlabuh di "Ngopi di Kebon" yang terletak di daerah Cimenyan.
ADVERTISEMENT
Pemandangan bukit kehijauan memang amat memikat. Itulah kenapa kami menjelajahi kafe-kafe di dataran tinggi Bandung.
Menuju "Ngopi di Kebon" tak mudah. Jalannya terjal dan sempit, perlu injak gas lebih dalam agar mobil kuat menanjak sekaligus hati-hati agar tidak terperosok ke jurang. Tapi jerih payah itu akan terbayarkan dengan pemandangan yang ditawarkan:
Tobi dan aku di Kafe Ngopi di Kebon.
Dari atas bukit kami turun ke kota, menyambangi toko cereal nge-hits, yakni "Sunday Bowl Cereal Club" yang terletak di daerah Sumur Bandung. Yang bikin toko beraura vintage ini unik adalah cereal-cereal impor:
Penampakan Sunday Bowl Cereal Club.
Lidah lokalku cukup bergelora ketika bersentuhan dengan Honey-comb dan Cinnamon Toast Crunch. Setelah puas, kami pun bergeser ke Makuta, toko kue Laudya Cynthia Bella. Pokoknya kue artis-artisan paling enak menurutku ya Makuta ini. Nomor satu.
ADVERTISEMENT
Sore datang dan waktunya pulang. Di kilometer 97 tol menuju Jakarta tak lupa kami singgah beli keripik tempe, pisang sale (salé cau), dan molen.
Ini dua hari yang menyenangkan di Bandung yang mengagumkan. Rasanya tidak mau pulang ke Jakarta, tapi apa daya. Dear Bandung, sampai bertemu lagi di lain waktu!