Kenapa Sinetron Indonesia Masih Kalah dengan Drama Korea?

Sukma Gayatri
Mahasiswi jurusan Mass Communication lulusan Universitas Bina Nusantara. Aktif sebagai announcer, mc/vo talent, dan sekarang tengah belajar menekuni dunia jurnalisme.
Konten dari Pengguna
20 Mei 2021 14:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sukma Gayatri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktor Kim Woo Bin dan Aktris Bae Suzy. Sumber foto: Wikimedia.
zoom-in-whitePerbesar
Aktor Kim Woo Bin dan Aktris Bae Suzy. Sumber foto: Wikimedia.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dulu, seperti minum obat, aku harus nonton drama korea tiga kali sehari. Bagai kecanduan, menonton drama korea seperti short escape dalam hidupku.
ADVERTISEMENT
Walaupun sekarang aku hanya punya waktu luang yang sedikit tapi aku tetap menyisihkan waktu untuk nonton drakor.
Bagi orang yang tidak pernah nonton drakor atau punya “alergi” terhadap hal-hal berbau Korea, pasti akan berpikir: Korean wave adalah racun. Bisa membuat rasa nasionalitas kita sebagai warga Indonesia memudar karena terlalu mengagung-agungkan produk dari negeri ginseng tersebut.
Sebelum berpikir lebih jauh lagi soal betapa “durhaka” kami—warga Indonesia yang menyukai produk-produk Korea Selatan—semua ada alasannya.

Sinetron Indonesia Jelek?

Jawabannya: Tidak semua. Banyak sinetron yang menurutku punya story line bagus—sayangnya, dibuat terlalu bertele-tele.
Salah satu sinetron yang kini sedang hits, “Ikatan Cinta”, menurutku memiliki permulaan jalan cerita yang oke ditambah kualitas akting dan visual aktor serta aktris yang menawan, membuat penonton merasa "betah" untuk nonton sinetron ini.
Arya Saloka dan Amanda Manopo pemeran utama sinetron "Ikatan Cinta". Foto: Instagram/@arya.saloka dan Ronny
Kata sinetron lekat dengan sosok "ibu-ibu" sebagai penikmatnya. Namun, aku sempat kaget saat mengetahui sinetron "Ikatan Cinta" berhasil menarik perhatian kaum milenial, seperti salah satu temanku, Amel (20 tahun), mahasiswi Universitas Negeri Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Awalnya aku tuh gak tertarik nonton sinetron Indonesia, tapi pas ada ‘Ikatan Cinta’ aku merasa ceritanya tuh beda banget, karena mengungkap soal pembunuhan gitu,” ujar Amel saat diwawancarai melalui WhatsApp, Sabtu (15/05/2021).
Diawali dengan permulaan yang bagus, sinetron “Ikatan Cinta” aku kira akan menjadi pendobrak kualitas sinetron Indonesia ke arah yang lebih baik. Tapi ternyata rating tetap akan mengalahkan kualitas yang berusaha dipertahankan.
Terlalu banyaknya episode yang tak berujung, membuat alur cerita sinetron “Ikatan Cinta” menjadi terlalu “maksa”. Bahkan, Amel, yang notabenenya adalah penggemar berat dari sinetron itu saja menjadi malas untuk lanjut menonton.
“Makin ke sini, ceritanya semakin muter-muter. Udah gitu, cukup menyita waktu. Durasi sinetronnya kan sekitar satu sampai satu setengah jam, tapi jalan ceritanya masih terus di situ saja. Padahal sudah jelas siapa pembunuh Roy (karakter di sinetron ‘Ikatan Cinta’) tapi selalu dibuat muter-muter lagi, jadi malas nontonnya,” Lanjut Amel.
ADVERTISEMENT

Rating Lebih Penting dari Kualitas Cerita

Selama bertahun-tahun menjadi penggemar drama korea, aku jarang menemukan drama yang ceritanya terputus di tengah jalan karena rating yang menurun. Bahkan, drama yang rating-nya di bawah 1% pun tetap tayang hingga episode terakhirnya.
Aktris Korea Selatan, Seo Ye Ji, dalam drama "It's Okay to Not be Okay". Foto: dok. tvN drama
Coba kita bandingkan dengan sinetron Indonesia, jika rating-nya tinggi maka tidak akan ada akhir ceritanya, bisa diteruskan bahkan sampai beribu-ribu episode. Tapi, jika rating dan minat penonton mulai turun, sinetron tersebut bisa “hilang” begitu saja dengan jalan cerita yang tidak diselesaikan.
Andai saja Indonesia bisa mengesampingkan urusan rating dan mengutamakan perkembangan jalan cerita dari sinetron atau series yang digarap, pasti suatu saat nanti kita bisa menyaingi Korea Selatan dengan menciptakan “Indonesian wave”. Toh, visual aktor dan aktris kita juga tak kalah dengan para selebritis dari negeri ginseng tersebut, kok.
ADVERTISEMENT
Tapi, sebenarnya, Indonesia bukan tidak pernah menciptakan serial dengan episode singkat—sudah banyak. Beberapa serial yang aku nonton seperti: Kisah untuk Geri, My Lecturer My Husband, Mengakhiri Cinta dalam 3 Episode, Sore, Turn On, dan masih banyak lagi—rata-rata durasi serial tersebut hanya 10-16 episode.
Reza Rahadian dan Prilly Latuconsina (My Lecturer My Husband). Foto: Instagram/@prillylatuconsina96
Tapi, rata-rata, serial tersebut ditayangkan di platform online streaming maupun YouTube. Menurutku, ini yang membuat series tersebut tidak terlalu menjangkau seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Bayangkan saja, jika serial-serial tersebut tayang di saluran televisi Indonesia, mungkin potensi untuk viral dan mendapatkan rekognisi lebih luas dari masyarakat Indonesia akan semakin besar.
Aku masih tidak mengerti kenapa saluran televisi di Indonesia banyak yang belum “tertarik” untuk membuat lebih banyak serial dengan episode singkat seperti beberapa series yang aku sebutkan sebelumnya. Kembali lagi, mungkin industri televisi di negeri kita ini masih memikirkan segi rating untuk mendapatkan revenue yang lebih besar.
ADVERTISEMENT
Sebagai penonton, aku masih menaruh harapan besar pada kualitas sinetron/serial drama Indonesia. Karena, secara tidak langsung, jika sinetron/serial drama Indonesia bisa terkenal dan bersaing dengan serial-serial luar negeri, budaya Indonesia pun akan semakin dikenal oleh dunia.
Semoga beberapa tahun lagi, "Indonesian wave" benar-benar bisa menjadi kenyataan.
(untuk thumbnail) Arya Saloka, Amanda Manopo, Kim Woo Bin, Bae Suzy