Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Efektifkah Regulasi Aborsi Akibat Pemerkosaan di Indonesia?
14 Desember 2022 18:09 WIB
Tulisan dari Sundari Nadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Aborsi dikenal dengan istilah abortus provocatus. Abortus provocatus terbagi atas dua jenis, yaitu abortus provocatus therapeuticus dan abortus provocatus criminalis. Abortus provocatus therapeuticus merupakan aborsi yang dilakukan atas dasar pertimbangan medis dan dilakukan oleh profesional, sedangkan abortus provocatus criminalis merupakan aborsi yang terjadi secara nonmedis. Ketidaksiapan akan masa kehamilan dan setelah kehamilan memicu korban pemerkosaan untuk menggugurkan kandungannya dengan unsafe abortion, kondisi inilah yang disebut dengan abortus provocatus criminalis.
ADVERTISEMENT
Lazimnya, kelahiran seorang anak dianggap sebagai anugerah besar dari Tuhan Yang Maha Esa , bukan beban yang kehadirannya sama sekali tidak didambakan. Aborsi menjadi ironis mengingat banyaknya pasangan suami istri yang menantikan anugerah tersebut, tetapi belum bisa mendapatkannya hingga bertahun-tahun . Bahkan, mereka rela mengeluarkan biaya yang besar demi memperoleh keturunan.
Perspektif Masyarakat terhadap Aborsi
Variatifnya kriminalitas turut mempengaruhi pemerkosaan yang berujung pada tindakan aborsi. Pemerkosaan merupakan tindak pidana yang sangat merugikan korban, baik dari segi fisik, psikologi, kedudukan, harkat maupun martabat korban. Keadaan akan memburuk apabila pemerkosaan mengakibatkan kehamilan.
Tindakan aborsi dalam konteks ini menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Pihak pro-aborsi berpendapat bahwa seorang perempuan berhak penuh atas tubuhnya. Untuk itu, perempuan berhak menentukan ingin mengandung, meneruskan atau menghentikan kehamilannya, sedangkan pihak kontra-aborsi menyatakan bahwa janin merupakan makhluk hidup yang memiliki hak hidup sehingga perbuatan aborsi merupakan tindak pidana atas penghilangan nyawa orang lain.
ADVERTISEMENT
Payung Hukum Aborsi di Indonesia
Perlindungan hukum bagi korban aborsi akibat pemerkosaan termuat dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan . UU ini juga menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi korban pemerkosaan agar dapat dilindungi oleh hukum. Menurut Pasal 75 Ayat (2) dan Pasal 76 huruf (a) UU Nomor 36 Tentang Kesehatan, korban dapat melakukan aborsi setelah melakukan konseling kepada konselor yang kompeten dan berwenang, serta dilakukan sebelum janin berusia 6 (enam) minggu sejak hari pertama haid terakhir, kecuali dalam keadaan darurat secara medis. Setelah menjalankan konseling dan informed consent, Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi dapat mengambil tindakan safe abortion terhadap korban.
Keraguan Atas Keefektifan Regulasi Aborsi di Indonesia
ADVERTISEMENT
Ketentuan usia janin yang termuat dalam pasal di atas kerap bertolak belakang dengan fakta di lapangan karena sebagian besar korban menyadari kehamilannya pada saat usia kehamilan mencapai 8 (delapan) hingga 9 (sembilan) minggu. Namun, Pasal 194 Undang Undang Kesehatan Tahun 2009 telah menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.”
Artinya, korban yang baru menyadari kehamilannya setelah 6 minggu berisiko diancam pidana penjara dan denda. Melalui analisis singkat ini dapat dinilai bahwa kepemilikan perempuan atas tubuhnya sendiri masih terancam pidana di Indonesia. Selain itu, besarnya biaya untuk melakukan safe abortion juga masih menjadi dilema tersendiri bagi korban.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, produk perlindungan hukum bagi pelaku aborsi akibat pemerkosaan dinilai belum efektif dan responsif sehingga pemerintah harus melakukan rekonstruksi terhadap regulasi aborsi akibat pemerkosaan dan pemberian fasilitas safe abortion kepada korban demi mewujudkan kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan hukum.