4 Mei 1949: Generasi Emas Grande Torino Lenyap dalam Tragedi Superga
Konten dari Pengguna
4 Mei 2020 19:14 WIB
Tulisan dari Supersoccer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Usai Perang Dunia II berakhir, gairah sepak bola di Italia kembali menggeliat. Kompetisi digulirkan lagi dengan nama Divisione Nazionale. Sejumlah klub ikut berpartisipasi, tetapi cuma ada satu juara: Torino .
ADVERTISEMENT
Tepat sejak musim perdana usai perang, yakni 1945/46, Il Toro langsung mengamankan gelar juara. Lalu, pada musim berikutnya hingga 1948/49, ketika kompetisi liga teratas 'Negeri Pizza' dikembalikan namanya menjadi Serie A, Torino tetap selalu jadi yang terbaik.
Bahkan, Torino juga klub terakhir yang menjuarai Serie A pada satu musim sebelum kompetisi disetop gara-gara Perang Dunia II (1942/43). Itulah bukti bahwa tim dengan jersi khas merah marun tersebut layak menyandang sebutan 'Raksasa Turin'.
Sementara tetangga mereka, Juventus, paling cuma mampu menguntit di peringkat dua. La Vechia Signora hanya bisa gigit jari melihat kedigdayaan Grande Torino --sebutan untuk generasi emas Torino pada masa itu.
Kenapa Grande Torino bisa sehebat itu? Pastinya, ada kerja keras yang mengasah bakat, di mana-mana juga begitu. Namun, faktor pelatih juga berpengaruh.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, ada tiga pelatih yang membesut mereka selama periode yang tadi dibahas: Antoni Janni, Luigi Ferrero, Mario Sperone, dan Leslie Lievesley. Nah, nama yang disebut terakhir itu paling unik.
Pertama, karena Lievesley adalah orang Inggris, berbeda dengan tiga nama pertama yang merupakan orang Italia. Kedua, karena pelatih British pertama Torino itu adalah orang yang tangguh dan juga beruntung.
Asal tahu saja, Lievesley adalah bagian dari angkatan udara Inggris saat Perang Dunia II. Pria kelahiran Derbyshire itu adalah orang yang tangguh bak Terminator sekaligus dinaungi rezeki umur panjang selama di medan pertempuran.
Sekarang begini, manusia mana yang bisa selamat dari tiga kali kecelakaan pesawat? Ya, dialah Leslie Lievesley.
Akan tetapi, Lievesley tetaplah manusia biasa. Pada waktunya, ajal tetap menjemputnya dalam kecelakaan pesawat yang nahas. Ya, dia tak selamat di kecelakaan keempatnya.
Nahasnya lagi, dia tak sendirian, melainkan bersama skuat Grande Torino asuhannya. Generasi emas Torino yang dibangun bertahun-tahun itu lenyap seketika dalam kecelakaan pesawat yang dikenal sebagai Tragedi Superga (Superga Air Disaster).
ADVERTISEMENT
Pesawat yang dinaiki awak Torino kala itu adalah milik maskapai independen Fiat Group, yakni The Avio Linee Italiane, tipe Fiat G.212 CP. Pesawat tersebut melakukan perjalanan dari Lisbon, Portugal; menuju Turin, Italia.
Ada urusan apa Torino 'main' ke Portugal? Ferruccio Novo, Presiden Torino pada masa itu, adalah orang yang mengirim tim Torino ke sana untuk melakoni laga persahabatan kontra Benfica , sebagai bentuk penghormatan kepada Francisco Ferreira.
Ferreira adalah pemain yang dikagumi Novo. Pria Italia itu bahkan ingin memboyong pemain yang berposisi sebagai gelandang tersebut ke timnya.
Namun nahas, tim Torino-nya tak pernah kembali dengan selamat usai laga itu. Pesawat yang membawa mereka mengalami kecelakaan di Bukit Superga, menabrak dinding penahan di belakang bangunan Basilika Superga.
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang selamat. 4 kru pesawat, 3 jurnalis, 3 klub ofisial, 3 staf pelatih (termasuk Lievesley), dan 18 pemain Grande Torino tewas.
Kejadiannya tepat pada tanggal stori ini dinaikkan, 4 Mei, 71 tahun silam. Akhir yang nahas untuk sebuah generasi emas.
Honorable mentions skuat Grande Torino korban Tragedi Superga: Valerio Bacigalupo, Aldo Ballarin, Dino Ballarin, Emile Bongiorni, Eusebio Castigliano, Rubens Fadini, Guglielmo Gabetto, Ruggero Grava, Giuseppe Grezar, Ezio Loik, Virgilio Maroso, Danilo Martelli, Valentino Mazzola, Romeo Menti, Piero Operto, Franco Ossola, Mario Rigamonti, Julius Schubert.
---
Ayo, ikutan Home of Premier League dan menangi 1 unit SmartTV dan 2 Jersi Original klub Liga Inggris. Buruan daftar di sini .
ADVERTISEMENT