Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bagi Inzaghi Bersaudara, Hidup Itu Bagai Roda yang Berputar
7 November 2019 9:00 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Supersoccer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Orang bilang, hidup itu bagai roda yang berputar, kadang di atas dan kadang di bawah. Dan tampaknya, ini berlaku untuk Inzaghi bersaudara.
ADVERTISEMENT
Waktu masih jadi pemain, Simone Inzaghi kalah pamor dari abangnya, Filippo Inzaghi , yang pernah berjaya bersama AC Milan dan Juventus .
Total, Filippo memenangkan tiga kali scudetto Serie A , satu gelar Coppa Italia, hingga dua gelar Liga Champions . Bahkan Filippo pernah jadi top skor Serie A musim 1996/97 dan jadi pemain muda terbaik Serie A 1997.
Kebayang enggak, sih, perasaan Simone pada masa-masa itu? Bayangin, jangan-jangan, pas lagi ada acara kumpul keluarga Inzaghi di Hari Raya, Simone sering disinggung-singgung, “tuh, abangmu sekarang sudah sukses, kamu masih gini-gini aja?”
Sebenarnya, sih, karier Simone sebagai pemain enggak suram-suram amat. Dia pernah berjaya bareng SS Lazio ; merengkuh satu scudetto Serie A, dua Coppa Italia, satu Supercoppa Italiana, dan satu Piala Super Eropa. Bahkan, Simone juga pernah juara Serie B bareng Piacenza.
ADVERTISEMENT
Namun pastinya, Simone enggak beranilah menyombongkan segala pencapaiannya itu. Sebab, prestasinya kalah 'ngeri' kalau dibandingkan dengan Filippo.
Ibaratnya kamu waktu SMA pengin ngomong ke keluarga besarmu, “Aku kemarin ulangan matematika dapat nilai 90, lho! Ini sudah yang ketiga kali!”
Sementara kamu punya abang yang semasa SMA-nya langganan juara kelas, hobinya dapat nilai 90-100, bahkan pernah ikut olimpiade matematika tingkat nasional, dan pas lulus SMA diterima di perguruan tinggi negeri.
Lha, kamu? Masih gitu-gitu aja? Kalau iya, niscaya, kamu enggak bakal jadi trending topic di momen kumpul keluarga pada Hari Raya.
Yang ada, pas keluarga besar sedang sibuk membangga-banggakan abangmu, kamu malah sibuk sendiri ngabisin makanan yang telah tersaji. Dalam sunyi.
ADVERTISEMENT
Namun, balik lagi. Hidup kayak roda, kadang di atas, kadang di bawah.
Usai pensiun sebagai pemain, keduanya menempuh karier kepelatihan. Filippo dan Simone sama-sama melatih klub yang terakhir mereka bela.
Simone di Lazio, Filippo di AC Milan. Keduanya pun enggak langsung ujug-ujug jadi pelatih tim senior, melainkan memulai karier sebagai pelatih tim junior.
Filippo lebih dulu naik jabatan jadi manajer tim utama pada musim 2014/2015, sementara Simone pada waktu itu masih melatih di tim junior. Lagi-lagi, Filippo mencuri perhatian di Hari Raya.
“Lihat, tuh, Filippo yang jenius dulu itu sekarang sudah jadi manajer! Kalau si Simone mah baru jadi supervisor, lambat dia kariernya.”
Sekadar gambaran, saat Filippo dipercaya menangani tim utama, kondisi AC Milan sedang terpuruk --meski sampai sekarang masih terpuruk, sih. Musim sebelumnya, 2013/14, Milan asuhan Clarence Seedorf finis di posisi delapan klasemen Serie A.
ADVERTISEMENT
Artinya, siapa pun yang duduk di kursi manajer, haruslah membawa Milan berprestasi lagi seperti dulu. Atau setidaknya bisa memperbaiki posisi di klasemen. Begitu juga yang diharapkan seluruh elemen klub kepada Filippo.
Tapi nyatanya?
Baru satu musim mengasuh skuad utama Milan, Filippo dipecat. Ya, bayangkan aja, masa Milan finis di peringkat 10 klasemen akhir. Sebelumnya, terakhir kali Milan pernah finis di peringkat yang sama adalah musim 1997/98.
Bukannya makin benar, malah makin ambyar! Jadi sudah semestinya Filippo dipecat.
Ini ibaratnya, kamu jadi manajer perusahaan besar level multinasional yang bisnisnya lagi jatuh. Di bawah kepemimpinanmu, bukannya bangkit, perusahaan malah jadi semakin sakit. Pantas saja kalau dipecat.
Kemudian, pada musim 2016/17, giliran Simone yang naik jabatan jadi manajer tim utama Lazio. Bahkan sebelumnya, Simone sudah dipercaya jadi pelatih sementar sejak April 2016, menggantikan Stefano Pioli yang dipecat.
ADVERTISEMENT
Selama dua musim pertama menjabat, Simone selalu membawa Lazio finis di urutan enam klasemen. Konsisten.
Meski musim 2018/19 sempat jeblok ke urutan delapan, tetapi setidaknya ada prestasi: Coppa Italia. Sebelumnya pada tahun 2017, Simone juga memberikan gelar Supercoppa Italiana.
Beda dengan Milan, Lazio ini ibaratnya perusahaan yang biasa-biasa aja. Meski dulu sempat berjaya, tetapi bisnisnya diwarnai jatuh-bangun. Di tangan Simone, performa perusahaan jadi konsisten, bahkan mampu menghasilkan laba (diibaratkan oleh gelar juara).
Sementara itu, apa kabar Filippo hari ini?
Setelah dipecat Milan, Filippo tetap melanjutkan karier kepelatihan. Pada periode 2016-2018, ia melatih Venezia FC dan sukses membawa klub yang berkutat di Lega Pro itu ke Serie B.
ADVERTISEMENT
Filippo lalu mencoba peruntungan kembali ke Serie A, bersama Bologna, tetapi baru semusim dipecat lagi. Kini, ia melatih klub Serie B, Benevento.
Jadi sekarang, nasib baik ada di tangan Simone. Pelajaran hidup yang dapat diambil: Kamu boleh aja berprestasi di lapangan (buat anak SMA, ganti kata “lapangan” dengan “kelas”), tetapi kamu belum tentu sukses di dunia kepelatihan (dunia kerja yang penuh intrik).
Tapi apakah tidak ada kesempatan bagi Filippo? Ya, kita lihat nanti. Ingat, hidup itu bak roda yang berputar.
---
Mau nonton bola langsung di Inggris? Ayo, ikutan Home of Premier League. Semua biaya ditanggung kumparan dan Supersoccer , gratis! Baca syarat dan ketentuannya di sini . Tersedia juga hadiah bulanan berupa Polytron Smart TV, langganan Mola TV , dan jersey original.
ADVERTISEMENT