Konten dari Pengguna

Jejak Orasi Joshua Kimmich: COVID-19 hingga George Floyd

Supersoccer
Situs web sepak bola terlengkap menampilkan berita sepak bola internasional, preview highlights pertandingan ligaEropa, klub dan pemain, statistik pertandingan.
4 Juni 2020 19:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Supersoccer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Joshua Kimmich. Foto: AFP/Christof STACHE
zoom-in-whitePerbesar
Joshua Kimmich. Foto: AFP/Christof STACHE
ADVERTISEMENT
Pada Februari 2020, Mehmet Scholl menyebut Joshua Kimmich adalah 'Greta Thunberg'-nya sepak bola Jerman. Alasannya, sederhana: Kimmich terlalu cerewet, banyak bicara seperti aktivis.
ADVERTISEMENT
Kalau Thunberg, sih, jelas bicaranya ada manfaatnya. Aktivitis lingkungan asal Swedia itu bahkan sudah lantang bersuara terkait perubahan iklim sebelum usianya genap 17 tahun.
Tak heran, jika si gadis kelahiran Stockholm dipilih oleh TIME sebagai 'Person of the Year' pada 2019. Saat itu, usianya masih 16 tahun, sehingga dia tercatat sebagai orang termuda dan tokoh kelahiran abad ke-21 pertama yang menerima penghargaan tersebut.
Sebenarnya, Scholl menggunakan nama 'Greta Thunberg' untuk mengejek Kimmich. Habisnya, pemain kelahiran Rottwell itu kerap berkomentar, bahkan mengeluh, tentang berbagai hal di usianya yang bahkan belum melebihi angka 25.
Kimmich sudah dipagari Bayern. Foto: Reuters/Michael Dalder
Contohnya, pada 2017, saat Carlo Ancelotti masih melatih Bayern Muenchen, Kimmich pernah mengeluh ke media, merasa dirinya kurang menit bermain. Menurutnya, Don Carletto harusnya selalu memprioritaskannya dalam starting line-up Bayern.
ADVERTISEMENT
"Bagiku, ini bukan tentang membuktikan apa pun kepadanya. Aku sudah bermain satu musim di bawah asuhannya, dia tahu kapasitasku, dan dia paham aku bisa bermain di beberapa posisi," kata pemain yang kala itu masih 22 tahun, dilansir ESPN.
"Aku tidak puas dengan musim sebelumnya (2016/17). Aku memang banyak bermain, tapi aku berharap lebih sering jadi starter. Itu adalah tujuanku untuk mengembangkan diri di Bayern Muenchen," lanjutnya.
Carlo Ancelotti melatih Bayern dari 1 Juli 2016 hingga 28 September 2017 (dipecat). Foto: REUTERS/John Sibley
Itu satu. Lalu masih terkait pelatih Bayern, usai Niko Kovac dipecat, Kimmich memberi komentar tentang kesannya terhadap Mauricio Pochettino dan Pep Guardiola--dua pelatih yang dirumorkan jadi kandidat pelatih Die Roten--pada November 2019.
"Aku tak tahu apakah Pochettino adalah kandidat pelatih kami. Namun, menurutku, dia adalah pelatih top," ungkap Kimmich, dilansir Goal International.
Mauricio Pochettino. Foto: Reuters/Marko Djurica
"Aku kenal [Pep Guardiola] dan sangat berterima kasih kepadanya. Dia memboyongku dari liga level kedua ke Bundesliga. Kami memenangi gelar ganda [musim 2015/16], lalu setelahnya aku dipanggil Timnas Jerman. Jadi, aku tak akan menentangnya kembali," kata Kimmich.
ADVERTISEMENT
Ya, Kimmich bukanlah produk asli akademi Bayern. Dia binaan VfB Stuttgart yang kemudian bermain untuk RB Leipzig--saat itu mereka masih main di Bundesliga 2. Bayern, yang masih dilatih Guardiola, membelinya pada 2015.
Pep Guardiola kini melatih Manchester City. Foto: Action Images via Reuters/Andrew Boyers
Namun sekarang, Kimmich telah semakin dewasa dan bertransformasi menjadi aktivis sesungguhnya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tak lagi soal keluhan maupun komentar-komentar 'kurang penting' belaka.
Pada Maret lalu, ketika COVID-19 sedang gila-gilanya mewabah di Eropa, Kimmich dan Leon Goretzka membuat kampanye 'We Kick Corona' dan menyumbangkan 1 juta euro untuk lembaga sosial. Kimmich meyakini bahwa semua orang bisa ikut berkontribusi.
"Semua orang dapat membantu, dalam skala kecil maupun besar. Jika kita sebagai masyarakat berdiri bersama sekarang, menunjukkan tanggung jawab dan ada tetap peduli satu sama lain, niscaya kita akan berhasil keluar dari krisis ini," terang Joshua Kimmich.
ADVERTISEMENT
Sekarang, ketika seluruh dunia sedang ramai-ramai mengutuk aksi rasialisme polisi di Minneapolis bernama Derek Chauvin yang menyebabkan tewasnya seorang African-American bernama George Floyd, Kimmich pun tak mau ketinggalan bersuara.
Bukan sekadar ikut-ikutan, pemegang 48 caps Timnas Jerman itu tahu betapa pentingnya tuntutan penegakan keadilan dalam kasus Floyd. Maka dari itu, dia mendorong semua pesepak bola untuk menyerukan hal yang sama.
Jadon Sancho dan Marcus Thuram pro-keadilan untuk George Floyd. Foto: Lars Baron & Martin Meissner/POOL/AFP
"Kita semua berada di satu dunia, satu klub, satu tim. Tak peduli apakah Anda berkulit hitam atau putih. Kami, sebagai pesepak bola, layaknya Sancho, punya kapasitas memberikan pesan dan menjadi panutan,” kata Kimmich, dilansir The Guardian.
"Aku senang melihat banyak pemain bersuara terkait hal itu. Namun, mungkin, sebuah tim juga bisa melakukannya. Sepak bola adalah contoh bagaimana sesuatu seperti rasialisme hidup,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tampaknya, jika ada masalah global lain lagi muncul, Kimmich juga akan kembali ikut bersuara. Sebagian orang mungkin berpikir Kimmich tak perlu repot-repot berorasi. Namun ketahuilah, dunia butuh olahragawan seperti Kimmich.
Sebab, laku para atlet bisa jadi lebih jujur ketimbang mulut para politisi. Terlebih, mereka biasanya punya basis fan yang besar, sehingga lebih mudah untuk menyuarakan isu-isu macam ini. Mereka kadang dianggap laiknya tetua dalam sebuah kelompok adat.
Contoh sejarahnya sudah ada: Muhammad Ali hingga Colin Kaepernick. Silakan baca tautan di bawah ini.
----
Ayo, ikutan Home of Premier League dan menangi 1 unit SmartTV dan 2 Jersi Original klub Liga Inggris. Buruan daftar di sini.
ADVERTISEMENT