Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Miroslav Klose: Sosok Teladan Dunia Sepak Bola
17 November 2019 16:06 WIB
Tulisan dari Supersoccer tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sepak bola butuh sosok pahlawan. Namun, apakah pahlawan saja cukup?
ADVERTISEMENT
Tiap-tiap klub sepak bola pasti punya pahlawannya masing-masing. Masalahnya, pahlawanku belum tentu pahlawanmu, yang aku cintai belum tentu kamu cintai, kamu pun belum tentu cinta sama aku.
Narasi 'kepahlawanan' dalam sepak bola begitu sempit dan bersifat subjektif. Mau dia itu pemain ataupun pelatih, selama dia membela klub kesayanganmu, maka otomatis kamu bakal menganggapnya sebagai pahlawan.
Dia mencetak gol, maka dia pahlawan. Dia menepis tendangan penalti, maka dia pahlawan. Dia memberi trofi juara, maka dia pahlawan. Berharap 'si dia' jadi milikmu? Ah, itu cuma angan. Eh... Kok, jadi out of topic.
Ehem. balik lagi. Intinya, kamu menganggap seseorang sebagai pahlawan hanya karena dia memberimu kesenangan. Gol yang tercipta hingga trofi juara adalah cara mereka untuk memberikanmu ‘orgasme sepak bola’.
ADVERTISEMENT
Kalau begitu, jika setiap klub sudah punya pahlawannya masing-masing, maka setujukah kamu kalau sepak bola butuh sosok teladan?
Sosok teladan ini tentu berbeda dengan pahlawan. Dia adalah sosok yang berbuat benar dan berkata benar. Bukan sekadar mencari menang atau trofi juara, bahkan berani menaruh kebenaran di atas kejayaan.
Kamu boleh saja tidak mendukung klub yang dibelanya, atau malah membenci klub itu sampai mampus, tapi hati kecilmu bakal sulit mengelak untuk mengakui ketika dia berbuat benar. Teladan.
Dalam hal ini, sosok yang sedang kita bicarakan adalah Miroslav Klose. Eks pesepak bola asal Jerman ini mungkin layak menyandang dua ‘gelar’ yang disebut di atas: Pahlawan dan teladan.
Klose sudah laiknya pahlawan bagi rakyat Jerman. Pria kelahiran Opole, Polandia, ini adalah salah satu sosok penting di balik suksesnya Der Panzer menjuarai Piala Dunia 2014. Dia juga telah dicap sebagai pahlawan bagi klub-klub yang pernah dibelanya.
ADVERTISEMENT
Klose pensiun sebagai pemegang rekor pencetak gol terbanyak Piala Dunia pria: 16 gol. Tak bisa dielak, bisa jadi suatu saat ada yang bakal memecahkan rekornya. Atau bisa jadi, akan ada pahlawan lain yang membawa Jerman menjuarai Piala Dunia edisi selanjutnya.
Kalau kata Banda Neira, “Yang patah tumbuh, yang hilang berganti”. Itulah mengapa, menjadi pahlawan saja tidak cukup.
Beda dengan menjadi teladan. Budi pekertinya terekam. Tingkah lakunya (semestinya) diwariskan.
Setidaknya, ada dua insiden yang menunjukkan bahwa Klose adalah seorang teladan.
Pertama, pada 30 April 2005, Klose yang membela Werder Bremen menolak hadiah penalti dalam laga Bundesliga kontra Arminia Bielefeld. Klose merasa hadiah penalti dari wasit itu adalah kesalahan.
ADVERTISEMENT
Jarang banget, ‘kan ada yang kayak Klose gini? Sering atau kadang, seorang pemain bisa tahulah, mana yang benar dan yang salah saat di lapangan. Pertanyaannya, maukah dia mengakui itu benar atau salah secara objektif dan jujur? Mengenyampingkan urusan menang dan kalah, tentunya.
Yang seringnya terjadi, sih, malah ada pemain yang ngotot minta diberikan penalti. Kalaupun wasitnya yang salah ihwal tendangan penalti itu, ya, diem-diem bae aja. Tetap saja eksekusi ‘gol haram’ itu, anggap sebagai ‘rezeki’. Toh, kalau sudah pensiun nanti, bisa jadi orang sudah pada lupa, kasusnya bakal jarang diungkit-ungkit lagi.
Buat yang punya pikiran kayak gini, hati-hati aja, di luar sana masih banyak manusia yang ‘hobinya’ menolak lupa dan merawat ingatan. Camkan.
ADVERTISEMENT
Atas tindakan fair play-nya itu, Klose diberikan penghargaan dari federasi sepak bola Jerman. Namun, alih-alih memuji diri sendiri, Klose malah bilang begini:
“Merupakan kehormatan besar bagi saya untuk menerima penghargaan ini. Namun saya juga agak jengkel. Bagi saya, (menolak penalti yang bukan hak) itu adalah sesuatu yang harus selalu Anda lakukan. Saya akan melakukannya lagi. Selalu,” katanya dilansir The Guardian.
Berbuat dan berkata benar memang harus dilakukan 'selalu'. Bukan 'sering', apalagi 'kadang-kadang', tetapi 'selalu'. Sesuatu yang kudu dijadikan kebiasaan, bukan cuma bahan pencitraan.
ADVERTISEMENT
Namun, alih-alih pura-pura tidak tahu, Klose malah mengaku kepada wasit bahwa gol itu tidak sah. Lazio dan Klose akhirnya gagal memenangi laga, malah kalah 0-3. Tapi enggak apa-apa, Klose sudah menang di hati pemirsa.
Atas aksinya itu, Klose kembali mendapat penghargaan fair play dari federasi sepak bola Jerman. Kali itu, apa katanya?
"Wasit bertanya kepada saya, apakah saya menyentuh bola dengan tangan, dan tidak masalah bagi saya untuk menjawab 'ya'. Ada banyak anak muda yang menonton sepak bola di TV dan kami adalah panutan bagi mereka,” katanya dilansir International Business Times.
Klose benar. Sepak bola butuh sosok teladan yang bisa jadi panutan. Ketika semua orang berlomba-lomba mencari menang, bahkan dengan cara sikut sini-sikut sana, Klose tetap mencoba elegan.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi, Klose bukan cuma pahlawan, tetapi juga teladan. Andai semua pesepak bola seperti Miroslav Klose, maka kita sudah tak lagi butuh VAR.
---
Mau nonton bola langsung di Inggris? Ayo, ikutan Home of Premier League . Semua biaya ditanggung kumparan dan Supersoccer , gratis! Ayo, buruan daftar di sini . Tersedia juga hadiah bulanan berupa Polytron Smart TV, langganan Mola TV , dan jersey original.