Konten dari Pengguna

Dinamika Politik Hukum Dalam Proses Pembahasan RUU Perampasan Aset

Surya Aidil
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2 Oktober 2024 9:48 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Surya Aidil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dolar dirantai sebagai ilustrasi perampasan aset. Source: https://media.istockphoto.com/id/1445135874/id/foto/uang-kertas-seratus-dolar-dibungkus-dalam-rantai.jpg?s=1024x1024&w=is&k=20&c=_BExFukJCKgN4NfuFc9Q_lzCFRJ0fzE0oUuS657zg4w=
zoom-in-whitePerbesar
Dolar dirantai sebagai ilustrasi perampasan aset. Source: https://media.istockphoto.com/id/1445135874/id/foto/uang-kertas-seratus-dolar-dibungkus-dalam-rantai.jpg?s=1024x1024&w=is&k=20&c=_BExFukJCKgN4NfuFc9Q_lzCFRJ0fzE0oUuS657zg4w=
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini, RUU Perampasan Aset sangat mendapat perhatian dan dorongan untuk segera dilakukan pembahasan. Apalagi ditengah semakin banyaknya kasus Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menghebohkan linimasa dengan mengekspos harta kekayaan mereka yang tergolong tidak wajar melalui akun sosial media mereka. Ditambah lagi, pengesahan RUU ini menjadi sangat penting karena kerugian negara yang diperoleh akibat dari tindak pidana korupsi ini, jika kita tilik pada tahun 2022 mencapai Rp 48,786 triliun, dengan upaya pengembalian kerugiannya yang hanya sebesar Rp 3,821 triliun atau sekitar 7,83 persen dari total kerugian tersebut. Selain itu, laporan dari Badan Transparency International Indonesia (TI Indonesia) menunjukkan bahwa Indonesia berada di posisi sepertiga negara terkorup di dunia. Pada tahun 2022, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat adanya 579 kasus korupsi yang ditindak di Indonesia, dimana hal ini menunjukkan peningkatan sebesar 8,63% dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 533 kasus. ICW melaporkan bahwa kerugian negara akibat kasus korupsi mencapai Rp238,14 triliun selama 10 tahun terakhir. Data tersebut didasarkan oleh putusan-putusan kasus korupsi dari pengadilan tingkat pertama hingga kasasi, hal ini menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dalam tindak pidana korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, aturan mengenai perampasan aset pelaku tindak pidana korupsi diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Meskipun demikian, aturan-aturan tersebut belum sempurna untuk menumpas tindak pidana korupsi di Indonesia sebab masih terdapat kekosongan hukum dalam hal perampasan aset yang belum diatur oleh undang-undang tersebut, kekosongan yang dimaksud seperti perampasan aset dalam kasus di mana tersangka meninggal dunia, melarikan diri, menjadi gila selama proses pembuktian, atau tidak ditemukan ahli waris sebagai penanggung jawab dalam gugatan perdata. Pentingnya Undang-Undang Perampasan Aset ini untuk segera disahkan sebenarnya telah diperintahkan di dalam UNCAC 2003 yang telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, pada Pasal 54 ayat (1) huruf c, yang pada pokonya mendesak semua negara untuk mempertimbangkan regulasi yang komprehensif (dalam hal ini UU Perampasan Aset) guna memungkinkan perampasan aset hasil korupsi tanpa melewati proses pidana terutama dalam kasus-kasus di mana tersangka tidak bisa dituntut karena kematian, pelarian, atau tidak dapat ditemukan. Hal inilah yang menjadi urgensi dan fokus dalam pembahasan RUU Perampasan Aset, mengingat kerugian yang dialami negara akibat korupsi yang masih marak di Indonesia tidaklah sedikit.
ADVERTISEMENT
Eksistensi Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di suatu negara menunjukkan bahwa hukum merupakan produk politik yang dipengaruhi oleh kekuatan politik serta faktor-faktor lain yang menentukan politik hukum itu sendiri. Mahfud MD berpendapat bahwa politik determinan atas hukum sehingga hukum merupakan produk politik. Sejalan dengan pendapat Mahfud, Ann Seidman juga berpendapat "Suatu hukum tidak akan ada tanpa adanya suatu keputusan politik". Berkaca dari pendapat tersebut, kebertidakkunjungan dibahasnya RUU Perampasan Aset serta alasan RUU ini tidak pernah masuk Prolegnas prioritas tahunan bisa saja disebabkan oleh faktor politik hukum di Parlemen dalam membentuk suatu Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Terdapat tiga langkah utama yang dapat dilakukan untuk mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Salah satunya adalah melakukan komunikasi intensif dengan fraksi-fraksi partai di DPR dan para pimpinan partai politik. Menurutnya, jika partai politik benar-benar berkomitmen memberantas tindak pidana korupsi, mereka seharusnya mendukung RUU ini untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas tahunan. Dari Pendapat tersebut, dapat kita ketahui peran daripada Partai Politik yang sangat besar dalam menentukan nasib RUU Perampasan Aset ini baik dari 1 dekade terakhir hingga masa kini. Partai Politik sangat berperan dalam mempengaruhi dinamika politik hukum dalam proses pembahasan RUU Perampasan Aset, sebab jika kita berpikir menggunakan logika akal sehat, pada faktanya pelaku tindak pidana korupsi mayoritas merupakan Pemangku Jabatan dan/atau sekaligus anggota Partai Politik. Pelaku tindak pidana korupsi inilah yang kemudian menjadi target sasaran dari RUU Perampasan Aset yang tak kunjung dibahas ini. Jadi bukan merupakan hal yang mustahil jika RUU yang tak kunjung dilakukan pembahasan di parlemen ini salah satu penyebabnya ialah karena faktor kepentingan daripada Partai Politik, sebab akan seperti peribahasa "senjata makan tuan" apabila DPR segera melakukan pengesahan terhadap RUU ini. Bukan tidak mungkin hal ini merupakan salah satu faktor yang menghambat tahapan proses pembahasan RUU Perampasan Aset, mengingat Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk merupakan produk hasil dari politik determinan para Pembentuk Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana seperti yang dikatakan Mahfud MD bahwasanya, Proses pembuatan suatu Peraturan Perundang-Undangan melewati serangkaian perdebatan parlemen yang berasal dari berbagai latar belakang partai politik yang berbeda, sehingga produk hukum yang dihasilkan sangat dipengaruhi dan diintervensi oleh kekuatan politik di parlemen.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi, Apabila kita melihat perkembangan pembahasan RUU ini beberapa tahun terakhir, pemerintah telah melayangkan suatu desakan kepada DPR agar segera memprioritaskan pembahasan RUU ini melalui Surat Presiden (Surpres) mengenai usulan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana, yang diterbitkan pada 4 Mei 2023. Namun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sama sekali tidak mengamini desakan pemerintah tersebut, tidak ada pembahasan terkait Surpres tersebut dalam serangkaian sidang paripurna meskipun Presiden Joko Widodo sendiri yang meminta DPR untuk memberikan prioritas utama pada pembahasan RUU ini pada saat itu. Sudah beberapa kali selama satu dekade DPR enggan memasukkan RUU tersebut ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Terakhir, dari 41 RUU yang masuk Prolegnas Prioritas 2023 yang diumumkan pada 23 November 2022, RUU Perampasan Aset tidak tercantum. Ini menunjukkan DPR dan Beberapa Partai Politik tidak memiliki komitmen untuk membahas RUU tersebut sebagai upaya pemberantasan korupsi.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Bachtiar. Politik Hukum: Konstitusi Pertanggungjawaban Konstitusional Presiden. Jakarta: Suluh Media, 2018.
Bachtiar, "Pertanggungjawaban Penggunaan Hak Prerogatif Presiden di Bidang Yudikatif Dalam Menjamin Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman", Jurnal Cita Hukum, Vol. 1 No. 1, Juni 2014, hlm. 26-29
Tim Redaksi, CNBC Indonesia, “Jangan Jadi PNS Kalau Punya Cita-cita Jadi Orang Kaya!” https://www.cnbcindonesia.com/news/20230622084310-4-448202/jangan-jadi-pns-kalau-punya-cita-cita-jadi-orang-kaya. Diakses pada 26 September 2024.
Aviva Khalila, “Rejuvenasi KPK : Urgensi Pemberlakuan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dengan Pendekatan In Rem dan Tinjauan Pendekatan Serupa pada Regulasi Unexplained Wealth di Australia” https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/rejuvenasi-kpk-urgensi-pemberlakuan-rancangan-undang-undang-perampasan-aset-dengan-pendekatan-in-rem-dan-tinjauan-pendekatan-serupa-pada-regulasi-unexplained-wealth-di-australia/. Diakses pada 26 September 2024.
Ira, L., Sitorus, Y. L., Erdawati, L., Nababan, V. L. Y. B., & Haryanti, D. (2024). ANALISIS KEBIJAKAN POLITIK HUKUM DALAM PENEGAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERAMPASAN ASET. Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum, 4(2), 458-469.
ADVERTISEMENT
Rofiq Hidayat, “Strategi Agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Masuk Pembahasan” https://www.hukumonline.com/berita/a/strategi-agar-ruu-perampasan-aset-tindak-pidana-masuk-pembahasan-lt61a4984edae3e/?page=all. Diakses pada 26 September 2024.
A Margana Wiratma, “Siapa Menghalangi RUU Perampasan Aset?” https://news.detik.com/kolom/d-6918332/siapa-menghalangi-ruu-perampasan-aset. Diakses pada 26 September 2024.