Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Toys Photographer, Profesi Langka Seno Haryo
6 Juli 2017 10:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
Tertarik dunia fotografi sejak remaja membawa Seno Haryo kepada profesinya saat ini. Alumni Teknik Industri Universitas Trisakti ini sekarang menekuni profesi toys photographer, fotografer mainan, sejak 2011.
ADVERTISEMENT
Seno mengenang, saat itu belum banyak orang yang menekuni profesi tersebut. Namun, ia sudah berani membuat pameran toys photography pertama kali dan mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI), sebagai orang pertama di Indonesia yang membuat pameran toys photography di negeri ini. “Kebanyakan yang saya foto itu fitur-fitur Star Wars, ada juga yang lain seperti Indiana Jones, DC Universe dan Marvel,” ujarnya.
Sebelumnya, masih di 2011, Sideshow Collectibles, pemegang lisensi Star Wars dari Amerika Serikat, mengontak Seno. Mungkin karena waktu itu ia cukup aktif memublikasikan hasil karyanya di media sosial, seperti forum mainan di Facebook dan forum fotografi, pihak Sideshow Collectibles menghubunginya, mengajak kerja sama sebagai toys photographer independen yang berlisensi dan ada kontraknya juga. “Saya dikontak Sideshow Collectibles sebelum saya membuat pameran,” katanya mengenang.
ADVERTISEMENT
Memang, Seno cukup rajin mengadakan pameran toys photogtaphy di Jakarta, antara lain di Epicentrum, Pacific Place dan Plaza Indonesia. “Itu inisiatif sendiri membuat pameran tunggal. Kalau untuk ramai-ramai, lebih sering lagi,” ungkapnya. Di Singapura, ia juga pernah menggelar pameran toys photogtaphy pada 2012. Lalu, di Singapura juga ada manajemen artis untuk toys photographer, bernama Wonderfactory, yang mengajak Seno bergabung pada 2015. Wonderfactory memang mencari orang-orang yang berbakat di bidang toys photogtaphy.
“Nah, saat ini sudah ada 10 orang yang bergabung. Dari Indonesia ada dua orang termasuk saya. Ada juga yang dari Spanyol, Singapura, Australia, Amerika, India, Malaysia, Inggris,” ujarnya. Wonderfactory sering membantunya menggelar pameran di luar negeri. Terakhir, ia berpameran di Shanghai. Wonderfactory-lah yang mengurus promosi, jualan, dan pamerannya sehingga ia tinggal mengirim file saja. “Ada kontraknya juga dan pembagian hasil penjualannya,” katanya.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau dihitung, sampai saat ini Seno sudah menggelar beberapa kali pameran di Singapura, Jepang dan Shanghai. Ke depan, diperkirakan akan banyak lagi. Ia hanya menunggu dihubungi oleh mereka. Biasanya dalam setahun selalu ada beberapa jadwal pameran, tetapi saat ini belum ada jadwal lagi. Dilihat dari hasilnya, biasanya kalau Seno menjual karya dibantu mereka, hasilnya bisa lebih bagus dibandingkan kalau ia menjual sendiri. Pasalnya, orang luar negeri lebih mengapresiasi karya-karya toys photogtaphy. “Satu foto bisa dijual US$ 200. Sejauh ini bisa menjual 24 foto di tiga pameran dengan kisaran harga tersebut. Yang paling mahal mencapai US$ 350,” ungkapnya.
Untuk mempertahankan idealisme seorang toys photographer, Seno saat ini membuat buku tentang toys photography yang dilengkapi dengan foto-foto sebagai pendukung cerita. Targetnya, sebelum Desember 2016 buku sudah terbit. Bukunya tersebut disponsori Sideshow Collectibles untuk memotret, yang isinya foto-foto Star Wars. Mereka memang sering meng-hire fotografer untuk membuat buku yang isinya foto-foto mainan mereka. Harganya bisa US$ 100 per buku dan minimal dijual 5.000 eksemplar. Nanti ada pembagian profit minimal 10%. “Untuk saya sebagai toys photographer, penghasilannya dari jualan karya lewat pameran, buku, dan terlibat dalam perusahaan yang memiliki lisensi mainan tersebut. Buat penghasilan, ini lumayan oke,” ujar Seno. Buku tersebut rencananya akan dijual ke luar negeri, juga dijual online lewat Amazon dan Ebay.
ADVERTISEMENT
Rencananya, tahun ini Seno akan menggelar pameran toys photogtaphy khusus mainan lokal, bekerja sama dengan seniman lokal. Pokoknya, semua serba lokal. Setiap mainan menggunakan baju daerah dari 34 provinsi di Indonesia. Pameran ini akan digelar di Jakarta. Ia mengakui cukup sulit membuat mainannya. Baju, boneka dan aksesorinya dibuat oleh orang lokal. “Saya banyak bekerja sama dengan teman-teman toys artist. Diorama untuk toys photography juga mereka buatkan. Termasuk, mengajak desainer dan makeup artist khusus untuk mainan,” katanya.
Menurutnya, kalau fotografi secara umum, memang sudah banyak pemainnya. Adapun toys photographer memang masih jarang. Ia melihat di Indonesia yang bisa menjadi penghasilan bagi fotografer adalah foto untuk pernikahan (wedding) atau foto iklan.” Dapur saya ngepul juga dari foto wedding,” kata pemilik studio Photomotion ini. Untuk tarif memotret di pernikahan, ia mematok harga paket dari Rp 19 juta hingga Rp 38 juta, dengan paket favorit yang harga Rp 25 juta.
ADVERTISEMENT
Seno membesut studio Photomotion di bawah PT Photomotion Art Imaging pada 2005. Waktu itu, ia menyewa tempat di daerah Tebet, Jakarta Selatan, selama dua tahun. Kemudia, ia membeli tempat sendiri di Kemang, Jak-Sel. Namun, pada 2014 kantor plus studionya di Kemang itu ia jual karena mendapatkan penawaran dari pembeli dengan harga enam kali lipat dari harga saat ia beli. Saat ini, ia pun tengah membangun ruko dan studionya yang baru.
Seno mengakui dirinya tidak mau hanya berbisnis fotografi. Ia merasa harus memiliki bisnis atau investasi lainnya. Itu sebabnya, ia juga memiliki investasi di properti dan berbinis food court di almamaternya. “Nah, kan enak, saya bisa mengembangkan yang lain juga. Namun, fotografi tetap saya jalani karena ini kan memang berangkat dari hobi,” ujarnya .
ADVERTISEMENT
Darwis Triadi, fotografer profesional, mengatakan, kalau berbicara fotografi, jangan terlalu dikotak-kotakkan walaupun spesialisasi itu penting. Dasar semua fotografi itu sama, harus bisa memotret semua. Kalau mau ada spesialisasi, seperti toys photography, itu tidak menjadi masalah, meskipun menurutnya, toys photography tidak terlalu populer di Indonesia.
“Saya rasa dia sudah bagus. Soalnya, kan sudah dapat apresiasi dan kerja sama dari luar negeri. Itu tentunya sudah bagus sekali. Asal, jangan lupa untuk berkomitmen dengan pekerjaan ini. Jangan lupa drive sebagai fotografer juga harus tinggi sehingga bisa menghasilkan karya terbaik,” ujar pemilik Darwis Triadi School Photography itu memberi masukan.
Dede Suryadi dan Aulia Dhetira
Riset: Armiadi Murdiansah