Konten dari Pengguna

Dari Takbiran ke Ketupat: Idulfitri Kita yang Ceria

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
30 Maret 2025 9:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Idulfiri: Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir & batin (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Idulfiri: Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir & batin (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
ADVERTISEMENT
Ramadan 1446 Hijriah akhirnya menutup tirainya hari ini. Setelah tiga puluh hari menahan lapar dan dahaga, menundukkan amarah dan syahwat, umat Islam di Indonesia bersiap menyambut hari kemenangan dengan wajah cerah dan hati bersih. Ada rasa lega yang dalam, seperti selesai menunaikan sebuah janji suci kepada diri sendiri dan kepada Allah SWT. Hari ini adalah hari terakhir berpuasa, dan langit malam nanti akan menjadi saksi gema takbir yang memecah keheningan: sebuah tanda bahwa Lebaran telah datang.
ADVERTISEMENT
Lebaran, atau Idulfitri, bukan sekadar momentum religius. Ia adalah peristiwa kultural yang mendalam. Di Indonesia, Lebaran menjelma menjadi pelukan panjang dari sebuah bangsa yang besar dan majemuk. Ia adalah saat ketika keluarga yang tersebar di banyak penjuru pulang ke titik awal—kampung halaman—demi satu hal: kebersamaan. Jalan-jalan macet, stasiun penuh sesak, bandara dipadati wajah-wajah rindu. Tapi semua lelah itu seperti terbayar lunas saat tangan-tangan saling berjabat dan air mata tumpah tanpa banyak kata.
Malam takbiran adalah gerbang menuju fitri. Takbir yang bergema dari masjid ke masjid, dari rumah ke jalan, dari hati ke langit, bukan sekadar lantunan lisan. Ia adalah perayaan spiritual—sebuah pengakuan bahwa segala puji hanya milik Allah SWT, bahwa kemenangan setelah perjuangan adalah milik mereka yang bersabar. Di tengah iring-iringan beduk dan lampu kelap-kelip, ada suasana magis yang menyatukan suasana haru dan bahagia, lirih dan riuh dalam satu nafas: takbir yang tak pernah sama dari tahun ke tahun, tapi selalu menggetarkan jiwa.
ADVERTISEMENT
Suasana Lebaran sulit diceritakan dengan logika semata. Ia lebih cocok dipahami dengan rasa. Ada aroma khas dari opor ayam dan ketupat yang mengepul dari dapur-dapur, ada gelak tawa bocah-bocah yang mengenakan baju baru, dan ada suara khas dari beduk dan takbir yang menggema dari masjid kecil hingga masjid agung. Setiap rumah seperti membuka pintunya bukan hanya untuk tamu, tapi untuk silaturahmi, untuk maaf yang ditata dalam cangkir teh manis dan sepiring nastar.
Ada nilai kemanusiaan yang sangat luhur dalam Lebaran. Dalam tradisi saling meminta dan memberi maaf, umat Islam Indonesia menunjukkan bahwa agama ini tidak hanya mengajarkan ibadah, tetapi juga peradaban. Maaf bukan hanya ucapan ringan di bibir, tapi ia adalah bentuk paling jernih dari kerendahan hati dan keberanian untuk mengakui kekhilafan. Tak ada yang lebih indah dari dua insan yang sebelumnya mungkin berselisih, lalu saling menatap sambil mengucap: Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.
ADVERTISEMENT
Lebaran juga menyatukan yang jauh, menyamakan yang berbeda. Ia memeluk si miskin dan si kaya dalam satu kesetaraan. Zakat fitrah yang ditunaikan sebelum salat Id bukan hanya kewajiban, melainkan penegasan bahwa dalam kegembiraan pun, Islam tetap mewajibkan kepedulian. Dalam satu hari, masyarakat seolah menanggalkan sekat-sekat kelas sosialnya. Semua bertakbir dengan suara yang sama, semua bersujud dalam barisan yang sejajar.
Bagi banyak orang tua, Lebaran adalah saat yang mengharukan. Anak-anak yang pulang membawa cucu, suara gaduh dan canda tawa yang sudah lama hilang dari rumah, kembali memekakkan telinga—dan menghangatkan hati. Sementara bagi anak-anak, Lebaran adalah kegembiraan yang tak tertandingi: dari amplop berisi uang, hingga rasa cinta yang tak terucap dari setiap pelukan nenek dan kakek.
ADVERTISEMENT
Namun ada juga yang merayakan Lebaran dalam keheningan. Mereka yang kehilangan orang terkasih, mereka yang tak sempat mudik, mereka yang lebarannya tak semeriah yang lain. Tapi justru di situlah letak kekuatan Lebaran: ia datang untuk semua. Ia menyapa yang ramai, tapi juga menguatkan yang sepi. Karena sejatinya, kemenangan bukan hanya bagi yang bersorak, tapi juga bagi yang mampu bersabar.
Lebaran 1446 H bukan hanya momen untuk dirayakan, tetapi juga untuk dikenang. Karena di dalamnya, terselip pelajaran tentang ketulusan, keikhlasan, dan kerinduan yang tak selalu bisa dibayar dengan kata. Dan saat malam ini gema takbir mulai menggema, kita tahu bahwa esok bukan hanya hari yang baru, tapi juga hati yang baru. Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.
ADVERTISEMENT