Konten dari Pengguna

Demokrasi Retak: Ketika Loyalitas Buta Mengalahkan Akal Sehat

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
7 April 2025 8:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Pilihan demokrasi (Sumber: Parker Johnson. Under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Pilihan demokrasi (Sumber: Parker Johnson. Under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Demokrasi ideal mengandaikan keterlibatan rasional warga negara dalam menentukan arah kebijakan negara, bukan sekadar ikut serta dalam pemilihan umum secara prosedural. Namun, dalam praktiknya, pemilu di Indonesia justru kerap menciptakan fragmentasi sosial yang tajam. Loyalitas masyarakat kepada partai politik, tokoh, atau faksi tertentu berkembang menjadi semacam “agama politik”, di mana pembelaan terhadap figur atau kelompok dilakukan secara membabi buta, terlepas dari benar atau salahnya posisi mereka. Fenomena ini mengingatkan kita pada kritik klasik dari Plato, yang menyebut bahwa demokrasi yang tidak dibarengi dengan kebijaksanaan justru akan menghasilkan kekacauan karena rakyat menyerahkan kendali kepada para demagog.
ADVERTISEMENT
Realitas ini tampak dalam dinamika pemilu belakangan ini, di mana pendukung suatu partai atau tokoh sering kali rela mengorbankan prinsip keadilan, kepentingan publik, bahkan akal sehat demi mempertahankan posisi politik jagoannya. Politik identitas, disinformasi, dan ujaran kebencian kerap dijadikan alat untuk mempertahankan narasi kelompok. Seperti yang ditulis Alexis de Tocqueville, demokrasi bisa berbalik menjadi tirani mayoritas ketika warga kehilangan otonomi berpikir dan tunduk pada tekanan kolektif demi kesetiaan semu.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih belum sepenuhnya memaknai demokrasi sebagai sistem yang menjamin ruang deliberatif dan rasional. Yang terjadi justru pengerdilan aspirasi publik menjadi semata-mata alat untuk memenangkan kompetisi antar-elite. Demokrasi prosedural yang seharusnya melahirkan kebijakan publik berbasis kepentingan rakyat, justru berubah menjadi panggung pertarungan oligarki dengan massa sebagai alat. Maka wajar bila publik kerap merasa terpinggirkan pasca pemilu, karena suara mereka hanya dihitung, bukan diperjuangkan.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif dari loyalitas politik yang berlebihan ini tidak bisa dianggap remeh. Fragmentasi sosial yang dihasilkan dari polarisasi politik memecah kepercayaan sosial (social trust) dan memperlemah kohesi nasional. Solidaritas kebangsaan yang seharusnya menjadi fondasi negara Pancasila tergerus oleh fanatisme kelompok. Bahkan, dalam beberapa kasus, relasi antarwarga rusak karena perbedaan pilihan politik. Demokrasi yang seharusnya menyatukan dalam perbedaan, justru melahirkan segregasi emosional yang memperdalam jurang sosial.
Situasi ini menunjukkan perlunya revitalisasi pemahaman publik terhadap esensi demokrasi. John Stuart Mill mengingatkan bahwa demokrasi hanya akan berkembang jika warga negara memiliki kapasitas intelektual dan moral untuk berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini, pendidikan politik kritis menjadi kebutuhan mendesak. Rakyat perlu dibekali dengan kemampuan berpikir analitis agar tidak mudah terjebak dalam narasi manipulatif elite yang hanya mementingkan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Pembelajaran penting dari kondisi ini adalah bahwa demokrasi tidak cukup hanya diselenggarakan lima tahun sekali lewat pemilu. Demokrasi memerlukan ekosistem sosial yang sehat, yakni publik yang sadar, elite yang bermoral, serta institusi yang bekerja. Kecintaan terhadap tokoh atau partai harus dibatasi oleh kesadaran bahwa loyalitas utama adalah pada prinsip keadilan, konstitusi, dan kesejahteraan rakyat. Jika tidak, maka demokrasi hanya akan menjadi legitimasi bagi praktek otoritarianisme yang dibungkus oleh suara mayoritas.
Meski tantangan besar, Indonesia tetap memiliki peluang untuk memperbaiki arah demokrasi. Munculnya generasi muda yang lebih melek digital dan mulai kritis terhadap narasi elite menjadi titik terang. Kemunculan gerakan masyarakat sipil yang menolak politik transaksional dan memperjuangkan integritas publik menunjukkan bahwa kesadaran kolektif mulai terbentuk. Asalkan ruang-ruang dialog terbuka dan pendidikan politik terus digalakkan, maka potensi reformasi sosial-politik tetap terbuka.
ADVERTISEMENT
Optimisme terhadap masa depan demokrasi Indonesia harus tetap dijaga. Bangsa ini memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan kebebasan dan keadilan. Asalkan rakyat tidak berhenti belajar dan elite tidak terus-menerus mempermainkan institusi, demokrasi kita akan tumbuh dewasa. Seperti kata Hannah Arendt, kekuatan politik yang sesungguhnya lahir dari tindakan bersama dan kebersamaan warga negara. Jika kita mampu melampaui fanatisme dan kembali pada akal sehat, maka Indonesia tidak hanya akan menjadi negara demokrasi prosedural, tetapi juga substansial.