Konten dari Pengguna

Konflik India-Pakistan 2025: Ancaman Asia dari Ketegangan Nuklir

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
8 Mei 2025 11:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Luluh lantak dampak perang (Sumber: Museums Victoria. Under the Unsplash License)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Luluh lantak dampak perang (Sumber: Museums Victoria. Under the Unsplash License)
ADVERTISEMENT
Ketegangan terbaru antara India dan Pakistan yang memanas pada awal Mei 2025 kembali membangkitkan kekhawatiran akan pecahnya konflik berskala luas antara dua negara bersenjata nuklir di Asia Selatan. Bentrokan militer ringan di wilayah perbatasan Kashmir, disertai dengan retorika keras dari kedua belah pihak, menandai babak baru dari siklus konflik yang belum pernah benar-benar terselesaikan sejak 1947. Situasi ini menempatkan Asia di ambang risiko geopolitik yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Ketegangan ini tidak hanya mengancam stabilitas dua negara yang terlibat langsung, tetapi juga membawa implikasi bagi kawasan yang lebih luas, termasuk Afghanistan, Cina, dan kawasan Teluk. Gangguan terhadap jalur perdagangan darat dan udara, serta proyek multilateral seperti China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) dan rute dagang alternatif dalam inisiatif Belt and Road, menjadi kemungkinan nyata jika konflik berkembang lebih jauh. India dan Pakistan bukan sekadar aktor regional; mereka adalah titik temu kepentingan global.
Seperti dilaporkan dalam artikel berjudul "India and Pakistan May Have an Off-Ramp After Their Clash. Will They Take It?" dari The New York Times, 7 Mei 2025, ditulis oleh Mujib Mashal dan Salman Masood, para diplomat dan pengamat menilai bahwa meski terjadi eskalasi, kedua pihak masih memiliki peluang untuk meredam konflik. Artikel itu menekankan bahwa yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk mengambil langkah deeskalasi sebelum tekanan publik dan nasionalisme mendorong kedua pihak pada jalur konfrontatif.
ADVERTISEMENT
Dinamika global ikut memperkeruh atau meredam situasi. Amerika Serikat, meski kini lebih fokus pada kawasan Pasifik, tetap menunjukkan perhatian serius karena memiliki hubungan strategis dengan India dan peran terbatas dengan Pakistan dalam isu keamanan kawasan. Cina secara diam-diam tetap mendukung Pakistan sebagai mitra ekonomi dan strategis, tetapi tak menghendaki ketidakstabilan yang dapat mengganggu proyek OBOR. Rusia, sementara itu, berusaha menjaga keseimbangan relasi dan bisa menjadi mediator alternatif karena kedekatannya dengan kedua negara.
Namun konflik ini tidak sepenuhnya bisa dipahami hanya dari perspektif antarnegara. Politik domestik di kedua negara memainkan peran besar. Pemerintahan Narendra Modi di India tengah menghadapi tekanan politik menjelang pemilu negara bagian, sementara militer Pakistan masih mempertahankan posisi dominan dalam politik dalam negeri, kerap menggunakan konflik eksternal sebagai sarana pengalihan isu. Dalam konteks ini, perang bisa menjadi alat propaganda, bukan sekadar persoalan pertahanan.
ADVERTISEMENT
Meningkatnya nasionalisme dan sentimen anti-musuh lama di kedua negara juga menjadi bahan bakar yang mudah disulut. Di India, narasi nasionalisme Hindu sering dijadikan alat konsolidasi politik. Di Pakistan, narasi pembelaan atas Kashmir dan "ancaman India" menjadi perekat nasional dalam kondisi ekonomi yang menurun. Polarisasi ini mempersempit ruang kompromi dan menjadikan diplomasi sebagai pilihan yang tidak populer secara politik.
Kekhawatiran terbesar tentu saja muncul dari fakta bahwa kedua negara memiliki senjata nuklir. Meski India secara resmi masih menganut kebijakan "no first use", dinamika krisis bisa saja mendorong keputusan-keputusan ekstrem. Pakistan, yang memiliki postur pertahanan asimetris, bahkan dalam doktrinnya tidak menutup kemungkinan penggunaan nuklir taktis lebih awal dalam konflik terbatas. Risiko kesalahan kalkulasi atau provokasi oleh aktor non-negara juga semakin meningkatkan bahaya.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya jalur rasional yang tersisa adalah diplomasi aktif dan tekanan dari komunitas internasional. Negara-negara seperti Arab Saudi, Turki, dan Indonesia dapat memainkan peran sebagai jembatan diplomatik dengan pendekatan yang lebih bisa diterima oleh Islamabad dan New Delhi. Keterlibatan organisasi internasional seperti PBB, OKI, atau SCO dapat membantu menciptakan ruang negosiasi yang netral.
Situasi ini menjadi ujian besar bagi sistem keamanan kolektif global. Dunia harus belajar dari sejarah: saat retorika mendahului rasionalitas, krisis kecil bisa menjelma menjadi bencana besar. Diplomasi tidak boleh kalah oleh emosi nasionalisme atau tekanan politik domestik. Dunia tidak bisa membiarkan Asia Selatan menjadi medan pertaruhan geopolitik dengan risiko nuklir.
Publik global menyerukan pada para pemimpin kedua negara agar mengutamakan kepentingan jangka panjang rakyat mereka ketimbang keuntungan politik jangka pendek. Sejarah telah menunjukkan bahwa meski perang bisa memompa popularitas sesaat, yang tersisa hanyalah luka, kehancuran, dan ketidakstabilan. Dunia kini menunggu: akankah India dan Pakistan mengambil jalan keluar damai, atau justru kembali mengulangi babak gelap sejarah?
ADVERTISEMENT