Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
Menepi untuk Menguat: Itikaf dan Perjalanan Menyucikan Hati
26 Maret 2025 21:53 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ramadan bukan hanya bulan menahan lapar dan dahaga. Lebih dari itu, ia adalah ruang suci yang disediakan Allah untuk memperbaiki hubungan antara manusia dan Tuhannya, serta manusia dengan dirinya sendiri. Di antara anugerah spiritual Ramadan, iktikaf menjadi ibadah yang menawarkan dimensi reflektif yang dalam. Ia bukan sekadar berdiam diri di masjid, tetapi adalah perjalanan ke dalam hati untuk mendengarkan suara yang sering tertimbun hiruk-pikuk dunia.
ADVERTISEMENT
Iktikaf menjadi cara untuk memutus sejenak tali keterikatan dengan dunia luar dan memulihkan keintiman kita dengan Allah. Dalam kesunyian masjid, dalam heningnya malam-malam terakhir Ramadan, jiwa kembali dipertemukan dengan fitrahnya: rindu kepada Sang Pencipta. Iktikaf adalah semacam detoksifikasi rohani yang menyingkirkan racun kesibukan, kelalaian, dan kekosongan makna yang menumpuk sepanjang tahun.
Nabi Muhammad SAW, sosok yang hidupnya dipenuhi aktivitas dakwah dan tanggung jawab kenegaraan, tidak pernah meninggalkan iktikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan. Bahkan ketika beliau sedang bepergian, iktikaf tetap beliau lakukan setelah kembali. Ini menunjukkan betapa iktikaf bukanlah jeda dari aktivitas, melainkan bagian penting dari menjaga keseimbangan hidup dan menajamkan visi spiritual.
Suatu saat dalam iktikafnya, Rasulullah SAW rela membenahi tenda kecil Sayidah Aisyah RA yang sempat berdempetan dengan tenda istri-istrinya yang lain. Beliau ingin memastikan bahwa iktikaf bukanlah ajang berkumpul atau berbincang yang mengalihkan fokus dari tujuan utamanya: khalwat bersama Allah. Dari sini, kita belajar bahwa iktikaf membutuhkan keikhlasan dan pengendalian diri agar menjadi sarana menyelam ke dalam kesadaran ilahiah.
ADVERTISEMENT
Bagi kita hari ini, iktikaf bisa menjadi sarana meninjau ulang arah hidup. Apakah kita masih melangkah menuju tujuan akhir yang benar? Apakah hati kita masih lapang untuk menerima kebenaran dan membersihkan luka-luka batin yang lama kita pendam? Dalam diamnya iktikaf, kita menemukan ruang untuk bertanya kepada diri sendiri tanpa tekanan penilaian dunia.
Di zaman yang serba cepat dan bising ini, kita butuh ruang sunyi. Sunyi bukan dalam arti kesepian, melainkan dalam makna kehadiran. Saat iktikaf, kita hadir sepenuhnya di hadapan Allah, menghadirkan seluruh kelemahan dan harapan kita, dan membiarkan cahaya-Nya masuk ke celah-celah terdalam jiwa. Inilah momen saat manusia kembali menjadi hamba, bukan sekadar pengisi peran-peran duniawi.
Iktikaf adalah undangan untuk memperbaiki diri, bukan dengan mencaci kelemahan kita, tetapi dengan menerima bahwa kita masih bisa tumbuh dan berubah. Ia bukanlah ibadah eksklusif bagi yang sudah suci, melainkan justru jembatan bagi yang merasa jauh untuk mendekat kembali. Tidak ada kata terlambat, tidak ada jiwa yang terlalu rusak untuk disentuh cahaya Ramadan.
ADVERTISEMENT
Mari kita hidupkan malam-malam terakhir Ramadan dengan iktikaf, meski hanya satu atau dua malam. Jadikan ia waktu yang kita persembahkan khusus untuk merenung, berzikir, dan memohon ampun. Karena bisa jadi, di satu malam yang sunyi dan sepi itu, Allah membukakan pintu perubahan yang akan mengubah sisa hidup kita selamanya.