Konten dari Pengguna

Polisi Kita, Tugas Berat di Negeri Luas

Syaefunnur Maszah
Sedang riset IM Doktoral, Sekretaris Jenderal Parsindo, & Wakil Ketua DPC Peradi.
26 Maret 2025 10:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syaefunnur Maszah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Polisi Indonesia Presisi (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Polisi Indonesia Presisi (Foto: Dok. Syaefunnur Maszah)
ADVERTISEMENT
Menjadi polisi di Indonesia bukanlah pekerjaan ringan. Tugas mereka menegakkan hukum, menjaga ketertiban umum, melindungi masyarakat, dan memberikan rasa aman dijalankan dalam cakupan wilayah yang luar biasa luas: lebih dari 17.000 pulau dengan bentang wilayah dari Sabang sampai Merauke, serta populasi lebih dari 270 juta jiwa yang multietnis, multikultural, dan majemuk secara agama. Tak semua negara menghadapi kompleksitas semacam ini. Maka tak heran bila beban tugas kepolisian di Indonesia sering kali melampaui batas kewajaran, dan menyisakan ruang potensi penyimpangan di tengah tekanan yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Di negara-negara maju seperti Jepang, keberhasilan polisi diukur melalui indikator kepercayaan publik, tingkat penyelesaian kasus, dan rendahnya angka kejahatan. Polisi Jepang dikenal sigap, beretika, dan transparan. Menurut data pemerintah Jepang, lebih dari 80% masyarakat percaya pada kepolisian. Model pelayanan yang humanis, keterlibatan masyarakat dalam sistem pengawasan, serta pendidikan yang kuat menjadi tulang punggung profesionalisme mereka. Polisi hadir tidak hanya sebagai penegak hukum, tapi sebagai mitra masyarakat.
Sebaliknya, di negara-negara yang sistem hukumnya lemah dan korupsinya tinggi, seperti Venezuela, kepolisian justru menjadi sumber ketakutan. Laporan dari Transparency International menunjukkan bahwa banyak warga lebih takut pada polisi daripada pada pelaku kejahatan. Kekerasan, pemerasan, dan keterlibatan dalam aktivitas kriminal menjadi wajah buruk lembaga yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Ini memberi pelajaran penting bahwa tanpa integritas, lembaga penegak hukum justru dapat membahayakan rakyat.
ADVERTISEMENT
Bagi Indonesia, tantangan kepolisian memang kompleks, namun bukan berarti tak bisa diatasi. Dalam beberapa tahun terakhir, Polri terus berbenah. Pendekatan berbasis teknologi, peningkatan kapasitas personel, reformasi kelembagaan, dan penerapan sistem merit dalam penempatan jabatan mulai diperkuat. Program transformasi menuju Polri yang presisi menjadi langkah awal menuju institusi yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel.
Peran Polri sangat vital dalam menjaga stabilitas negara. Ketika kepercayaan publik tinggi, masyarakat lebih kooperatif dalam penegakan hukum. Ketika polisi bertindak adil dan bersih, rakyat lebih merasa aman. Sebaliknya, penyalahgunaan kewenangan seperti pemerasan atau intimidasi tidak hanya merusak citra Polri, tapi juga menimbulkan trauma psikologis yang bisa berujung pada tragedi, seperti kasus yang terjadi di Lombok Utara.
ADVERTISEMENT
Rakyat memiliki implikasi langsung dari kualitas kerja polisi. Ketika aparat dapat dipercaya, masyarakat hidup dengan tenang, aktivitas ekonomi tumbuh, dan negara menjadi lebih kokoh. Namun saat polisi menyimpang, rakyat menjadi korban pertama. Maka, pendidikan integritas, pengawasan yang kuat, serta kesejahteraan aparat menjadi kunci agar polisi tetap di jalur yang benar.
Poin pembelajaran yang bisa diambil adalah pentingnya membangun institusi kepolisian yang berbasis nilai-nilai kemanusiaan, bukan sekadar kekuasaan. Kepolisian yang baik tak diukur dari banyaknya pelaku yang ditangkap, tetapi dari berkurangnya kejahatan dan meningkatnya kepercayaan publik. Dalam konteks Indonesia, harapan itu masih terbuka luas. Generasi polisi muda yang idealis dan teknologi yang semakin maju bisa menjadi tumpuan perbaikan institusi.
Dengan semangat reformasi dan komitmen kuat dari pimpinan tertinggi Polri, Indonesia berpeluang besar membangun model kepolisian yang bukan hanya tangguh dalam menghadapi tantangan, tetapi juga manusiawi dalam pelayanan. Jangan sampai tragedi seperti yang menimpa Rizki Watoni, seorang warga yang “mengakhiri hidupnya setelah diduga diintimidasi dan diperas oleh seorang anggota polisi di Polsek Kayangan terkait dugaan pencurian ponsel, yang ternyata keliru, dan telah disepakati jalan keadilan restoratif” — seperti dalam artikel berjudul "Kayangan Police chief replaced over extortion allegations", 26 Maret 2025, The Jakarta Post, tidak terjadi lagi.
ADVERTISEMENT