Konten dari Pengguna

Gerakan Mahasiswa Kampus Merdeka

Syafbrani ZA
X Cekgu II Suami penuh waktu dan penulis paruh waktu II Menulis buku, diantaranya: UN, The End... dan Suara Guru Suara Tuhan II Ketua Umum PTIC DKI 2021/2026 II Bergiat di Univ. Trilogi - Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Univ. Riau
29 Juni 2021 14:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mahasiswa Merdeka. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa Merdeka. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Ambil Kendali Masa Depanmu. Itulah kalimat imperatif yang tersajikan di laman resmi Kampus Merdeka Kemendikbud. Dari kalimatnya itu secara jamak dapat kita pahami bahwa seruan ini adalah untuk memantik agar mahasiswa berani mengambil langkah. Langkah untuk memilih berbagai program yang ditawarkan. Langkah untuk mengeksplorasi pengetahuan dan kemampuannya agar lebih maksimal. Pastinya adalah langkah-langkah yang yang diharapkan berdampak bagi masa depannya.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah termasuk di antaranya adalah langkah-langkah dalam gerakan mahasiswa? Seharusnya iya. Mengapa?
Logika sederhananya adalah bagaimana mungkin mereka bisa mengendalikan masa depannya, jika saat berstatus mahasiswa saja selalu dikendalikan. Padahal status mahasiswa itu sendiri sudah sangat identik sekaligus tidak bisa dipisahkan dengan kata merdeka. Merdeka dalam berpikir, bersuara, dan bertindak.
Apalagi di tengah ancaman polarisasi politik yang semakin kental. Kalau bukan kepada mereka, kepada siapa lagi kita berharap tentang independensi itu? Untuk selanjutnya kita juga berharap agar mereka segera hadir menjadi juru selamat bagi semua pihak. Walau konsekuensinya harus diimpit dari berbagai sisi. Tapi itulah sebuah konsekuensi atas pilihan dari merdekanya dalam keberpihakan.
ADVERTISEMENT
Benar bahwa aksi mahasiswa tidak selalu benar. Mungkin ada salahnya. Masih belajar. Tapi itu semua tidak bisa menjadi alasan agar mahasiswa disuruh bungkam. Baik melalui padat dan beragamnya target pembelajaran. Ataupun bentuk lainnya dengan tujuan hanya satu: diam. Padahal, baginya bersuara adalah kewajiban. Bukan sekadar pilihan. Apalagi jika itu semua di atas sesuatu yang jelas benar dan jelas salahnya.
Benar bahwa pilihan mahasiswa tidak selalu bijak. Mungkin ada percik-percik emosionalnya. Masih berjiwa muda. Tapi itu semua tidak bisa menjadi rujukan agar kita abai dengan setiap aksi protes yang disampaikannya. Pendapat mereka haruslah segera didengar. Apalagi jika itu berlandaskan semangat dalam mewujudkan tatanan kehidupan yang lebih baik.
Benar bahwa perjuangan mahasiswa tidak selalu berhasil. Bahkan mungkin ada yang gagal sebelum dimulai. Selain karena mahasiswa bukan pemutus kebijakan. Mahasiswa juga punya kewajiban untuk menjalani proses perkuliahan. Ada setumpuk tugas, praktikum, dan tuntutan skripsi yang kadang membuat lelah jiwa.
ADVERTISEMENT
Tapi kewajiban tersebut tidak otomatis membuat mereka lalai dengan fungsinya sebagai penjaga moral dan kontrol sosial. Apalagi jika mereka melihat nilai-nilai luhur bangsa sudah mulai tercerabut dalam setiap sendi kehidupan.
Oleh karena itu, sepatutnya kampus harus menjadi rumah yang aman sebagai tempat untuk menempa idealismenya. Pimpinan kampus dan pengajarnya juga harus menjadi orang tua sekaligus sahabat untuk membangkitkan semangat juang dan kepekaan sosialnya. Sehingga dengan segala kekurangan yang dimiliki sang mahasiswa, kampus bisa menjadi vitamin agar idealismenya tidak mudah lemah, semangat juangnya tidak mudah letih, dan kepekaan sosialnya tidak mudah lesu. Bukan sebaliknya.
Sehingga, di samping mereka bisa konsisten menjalankan fungsinya dengan paripurna. Juga, agar kelak tidak menjadi insan kagetan atas semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi ketika mereka mulai memasuki fase paska kampus.
ADVERTISEMENT
Di titik inilah, ketika mereka tumbuh subur dengan kepekaan yang tinggi serta kemapanan akademik yang mumpuni. Harapan untuk masa depan Indonesia itu masih ada. Harapan berkiprahnya anak-anak bangsa yang kelak terus bergerak untuk kepentingan bangsa dan negara. Bukan untuk terus berkongkalikong karena hasrat menumpuk harta dan mempertahankan takhta—bahkan akhirnya terus berseteru hanya untuk memenuhi hasrat itu.
Halaman Depan kampusmerdeka.kemdikbud.go.id
Jadi, momentum hadirnya Kampus Merdeka ini sebaiknya bukan sekadar melahirkan ruang kebebasan dalam kalkulasi-kalkulasi sistem kredit perkuliahan saja. Lebih dari itu haruslah menambah ruang bagi gerakan mahasiswa—untuk terus bergerak sesuai dengan zamannya.
Di tengah vakumnya aktivitas tatap muka di kampus. Kita mungkin tersentak ketika tiba-tiba gerakan mahasiswa meluncurkan aksi-aksinya. Reaksi dari sentakan itu kemudian menjelma dengan berbagai rupa. Barangkali, reaksi-reaksi itu bisa juga menjadi tolak ukur bagi kita bersama dalam memaknai kehadiran Kampus Merdeka.
ADVERTISEMENT
Namun terlepas bagaimana sikap kita dalam menikmati aksi dari protes para mahasiswa itu. Perlahan tapi pasti kampus-kampus telah berbondong mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Mahasiswa dan dosen mulai digiring untuk menikmatinya. Namun, hening tapi pasti ternyata gerakan mahasiswa masih berkobar. Nalar kritisnya masih menyala. Mereka masih rajin berdiskusi dan menganalisa permasalahan bangsa ini. Walau semua itu harus dilakukan dengan banyak pengorbanan, tanpa pamrih, apalagi berharap bisa terkonversi menjadi nilai-nilai mata kuliah yang sempurna.
Namun bukanlah hal yang mustahil jika nanti MBKM mengakomodir gerakan mahasiswa sebagai bagian dari implementasi program Merdeka Belajarnya. Bukankah mereka juga sedang mengasah kemampuan sesuai bakat dan minatnya? Bukankah mereka juga sedang menyumbang gagasan dan solusi untuk isu-isu sosial?
ADVERTISEMENT
Mungkinkah? Mungkin saja. Salah satu jalan lain juga bisa dilakukan melalui revisi komposisi hak suara pemerintah (dalam hal ini Kemendikbud) dalam pemilihan rektor. Misalnya dari 35 persen menjadi 0 persen. Kampus Merdeka. Mahasiswa Merdeka. Rektor Merdeka?
Akhir kata, kepada para mahasiswa....
Teruslah bergerak, walau berbeda zaman.
Teruslah berpihak, hanya pada kebenaran.
*Syafbrani, rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan