Kemiskinan dan Panggung Kontestasi Politik

Syafbrani ZA
X Cekgu II Suami penuh waktu dan penulis paruh waktu II Menulis buku, diantaranya: UN, The End... dan Suara Guru Suara Tuhan II Ketua Umum PTIC DKI 2021/2026 II Bergiat di Univ. Trilogi - Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Univ. Riau
Konten dari Pengguna
7 April 2022 13:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret salah satu sudut kehidupan. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Potret salah satu sudut kehidupan. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Tragedi pembunuhan anak oleh orang tuanya atau dikenal dengan istilah filicide itu kembali terjadi beberapa waktu lalu. Tanpa perlu dituturkan lebih jauh, kita semua sudah mengetahuinya dengan detail 5 W + 1 H-nya. Baik dari pemberitaan media massa. Maupun cuplikan-cuplikan di berbagai kanal sosial media.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, dengan berbagai sudut pandang dan dasar keilmuan masing-masing. Hadir berbagai suara sebagai bentuk belasungkawa sekaligus empati. Sampai solusi-solusi preventif sebagai upaya saling mengingatkan.
Terlambatkah ini semua? Pasti!
Kita berharap tragedi serupa tidak terulang lagi. Oleh karenanya, selain secara aklamasi kita harus membangun kepedulian, seperti sumbang saran yang diberikan netizen. Negara juga harus hadir untuk bertanggung jawab mencegah hadirnya kisah miris ini.
Jika ditelisik dari tragedi serupa yang hadir beberapa tahun terakhir. Salah satu pemicu --- jika tidak ingin dibilang akar masalahnya adalah himpitan kemiskinan.
Per September 2021, BPS telah merilis bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 9,71 persen. Jumlah yang kemudian dikatakan 'hanya' 1 digit ini jika dikonversikan dengan jumlah penduduk tetap saja setara dengan puluhan juta jiwa. Tepatnya 26,50 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Angka ini belum ditambah dengan mereka yang masuk kategori rentan miskin. Bahkan, beberapa pakar menilai kategori ini bisa mencapai sekitar 60-an persen.
Statistik kemiskinan memang salah satu kebutuhan untuk mengukur kondisi kemiskinan itu sendiri. Tapi realitas adanya jumlah penduduk yang rentan miskin harus juga menjadi perhatian. Angkanya harus dijejer selalu agar menjadi alarm sekaligus mendapat perhatian bersama.
Namanya saja rentan, sehingga jika tidak dijaga dengan baik, hanya soal pergantian hari kategori ini akan jatuh juga ke jurang kemiskinan itu.
Faktor yang menjatuhkannya sederhana. Misalnya, pertama seperti hadirnya fenomena pandemi Covid-19. Kita semua sepakat bahkan menyaksikan sendiri banyak pekerja yang pendapatannya berkurang. Bahkan diantaranya kehilangan pekerjaan itu sendiri.
Kedua, naiknya berbagai harga yang menjadi kebutuhan masyarakat. Apakah itu sembako, tarif dasar listrik, BBM, dan lain sebagainya. Kenaikan ini, walau menurut mereka yang sejahtera 'hanya' beberapa ribu rupiah, namun bagi mereka yang tidak mampu sangat terasa dampaknya. Konteks 'hanya' itu justru bisa menjadi modal untuk menyambung hidup buat keesokan harinya.
ADVERTISEMENT
Nah, mumpung di tengah situasi menjemput perhelatan kontestasi politik 2024. Baik terkait pencapresan, pencalegan, sampai pada perebutan tampuk kekuasaan di daerah. Lagi-lagi, kita kembali bertanya. Apakah mungkin semua (bakal) calon ini menjadikan kemiskinan sebagai musuh utamanya, sehingga kelak masyarakat yang dipimpinnya bisa menikmati rasa kesejahteraan?
Atau sebaliknya? Jika kita flashback, kalau soal kampanye dan menyuarakan isu untuk mengentaskan kemiskinan sudah pasti akan menjadi tema besar setiap calon. Bahkan dari periode ke periode, kemiskinan sepertinya menjadi ladang bagi calon mencari simpati.
Para calon itu tidak hanya bagi-bagi janji, bahkan saat itu mereka langsung memberikan 'bukti' dengan bagi-bagi sembako, bagi ini, bagi itu, yang kelak bagi-bagi itu tentu akan tersubstitusi dengan suara.
ADVERTISEMENT
Namun apakan daya, setelah calon tersebut mendapatkan kursi kuasanya, semakin tinggilah jarak kemiskinan dengan panggung-panggung kekuasaan itu. Sang berkuasa semakin sejahtera, termasuk keluarga dan orang-orang di lingkar kekuasaannya. Sang miskin semakin menderita, termasuk potensi kemiskinan untuk anak cucunya.
Dulu mereka dihampiri, setelahnya mereka terlupakan. Padahal pemimpin itu pada hakikatnya melayani. Sementara kekuasaan adalah perihal bagaimana memberikan keadilan dalam setiap pelayanan.
Mengapa ini terjadi? Tingginya ongkos politik dalam merebut kekuasaan menjadi biang utama sehingga kemiskinan seperti terbiarkan. Alasannya sangat 'humanis'. Secara logika, langkah utama setelah berkuasa ya harus mengembalikan modal-modal saat merebut kekuasaan tadi.
Selanjutnya, jika merasa kekuasaan tersebut bisa membuka 'banyak jalan' bagi kepentingannya, baik pribadi maupun kelompok. Maka dapat dipastikan kekuasaan akan difokuskan untuk mempertahankan kekuasaan selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Jika lingkaran seperti ini yang terus terjadi. Tentulah kita tidak bisa berharap banyak terjadinya penurunan pada angka kemiskinan dan jumlah penduduk rentan miskin itu.
Padahal di waktu yang sama kita juga terus berharap dan saling mengingatkan agar tidak ada lagi kasus-kasus kemanusian yang terjadi. Termasuk seperti tragedi filicide itu.