PTM, RUU Sisdiknas, dan Perpanjangan Masa Jabatan

Syafbrani ZA
X Cekgu II Suami penuh waktu dan penulis paruh waktu II Menulis buku, diantaranya: UN, The End... dan Suara Guru Suara Tuhan II Ketua Umum PTIC DKI 2021/2026 II Bergiat di Univ. Trilogi - Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Univ. Riau
Konten dari Pengguna
15 Maret 2022 16:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Merdeka Belajar. Belajar bersama alam. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Merdeka Belajar. Belajar bersama alam. Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Bali Gelar PTM 50 Persen Mulai 1 April 2022. Siap-siap, PTM 100 Persen Bakal Dilakukan di Surabaya. Wagub DKI: Insya Allah PTM Segera Dimulai Sampai 100 Persen.
ADVERTISEMENT
Itulah tiga contoh dari beberapa headline media massa yang khusus memberitakan tentang Pembelajaran Tatap Muka (PTM) hari ini (15/3).
Jika 'diterawang', buka-tutup atau persentase-persentase PTM ini akan terus menghiasi pemberitaan sejalan dengan pengumuman level PPKM. Sekaligus juga akan membuat fluktuatifnya ritme belajar siswa di sekolah. Tentu, sekaligus memicu detak jantung sekaligus sumringahnya para orang tua.
Sejak hadirnya pandemi COVID-19, istilah ini memang semakin akrab terdengar dan tersiar. Padahal sebelum pandemi itu menyerang, kita telah sepakat bahwa aktivitas belajar-mengajar di sekolah ya melalui tatap muka. Wajib hadir. Tidak hadir berarti ada halangan: sakit, izin, atau alpa.
Berbeda dengan tatap muka saat ini. Sifatnya tidak sewajib dulu. Bahkan ada yang sampai kategorinya 'haram.' Selain tergantung dengan hasil leveling situasi pandemi di mana sekolah itu berada. Keputusan orang tua siswa juga menjadi bagian yang sangat penting. Survei KPAI pada awal Februari lalu misalnya mengemukakan ada 39 persen orang tua yang tidak setuju dengan belajar tatap muka. Tentunya ketidaksetujuan ini sangat berkorelasi dengan level PPKM daerahnya.
ADVERTISEMENT
Nah, apakah suara para orang tua ini diakomodir waktu itu? Mungkin perlu survei lanjutan untuk menunjukkan apakah akhirnya 39 persen orang tua ini 'mengalah' ketika sekolah anaknya tetap memberlakukan PTM.
Mengapa harus mengalah? Kemungkinan pertimbangannya tidak lain adalah khawatir sang anak akan ketinggalan materi pelajaran. Pengalaman ketiadaan tatap muka yang kemudian disubtitusi dengan PJJ telah disepakati seperti sayur yang kekurangan garam. Ada yang kurang.
Walaupun dulunya kita sempat memandang wow ketika hadirnya istilah e-learning. Di tengah kondisi normal tanpa pandemi, tidak sedikit lembaga pendidikan yang memperkenalkan kelebihannya sebagai institusi yang (akan) memberlakukan pembelajaran jarak jauh.
Semakin kesini, dengan berbagai kekurangan yang dimilikinya, kita akhirnya mufakat bahwa PJJ itu tidak bisa seoptimal PTM. Bahkan, menurut Mas Menteri PJJ bakal menghasilkan anak-anak yang learning loss.
ADVERTISEMENT
Akhirnya tatap muka itu lebih baik. Bukan hanya sekadar materi yang bisa tersampaikan, namun kedekatan fisik bisa lebih menguatkan. Tutur-tutur kata yang diucapkan sang guru lebih bermakna daripada sekadar slide-slide indah di layar gadget. Berisiknya siswa di kelas menjadi dorongan untuk guru menerapkan komunikasi efektif daripada hanya mengatur kebisingan siswa dengan sekali klik, mute all.
Saat kemufakatan ini telah tercapai atau ketika pembelajaran kembali normal karena pandemi telah usai nantinya, namun ada Pekerjaan Rumah (PR) besar yang tidak boleh terabaikan. Bagaimana agar para siswa tersebut benar-benar tidak hilang? Hilang dalam artian sebenarnya.
Bagaimana siswa dan keluarganya itu bisa hidup dengan gizi pangan yang tercukupi? Bagaimana siswa dan keluarganya bisa mendapatkan akses yang sama dengan siswa dan keluarga yang lainnya? Bukan hanya akses internet dan akses bahan belajar lainnya, tetapi juga akses untuk mencapai cita-citanya.
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 bukan hanya menyebabkan banyak tulang punggung keluarga yang kehilangan pekerjaan. Bukan hanya menyebabkan angka kemiskinan meningkat. Tetapi konon katanya, pandemi juga menyebabkan si kaya makin kaya, si miskin makin termiskinkan. Ini artinya jurang ketimpangan itu semakin menganga besar. Semakin tingginya ketimpangan, akan semakin sulitlah untuk meratakan akses-akses tadi.
Jadi, jika pemerintah saat ini sedang giat untuk memfinalkan RUU Sisdiknas. UU ini sebaiknya juga memuat jalan agar insan-insan yang lahir melalui pendidikan bangsa adalah insan yang sehat jiwa dan raganya. Insan yang berperikemanusiaan. Insan-insan yang saling memberikan jalan, bukan yang saling sikut dan saling menjatuhkan. Insan yang selalu menguatkan empati, bukan yang bersenang-senang di tengah berbagai ketimpangan. Apalagi mengeruk keuntungan di tengah ketidakberdayaan orang lain.
ADVERTISEMENT
Meskipun diterpa bencana nantinya, insan-insan yang demikianlah yang sejatinya bisa menguatkan arah perjalanan bangsa. Kelak, kita akan bangga melihat mereka yang selalu bergandengan tangan untuk menguatkan peran negara. Kelak, kita juga akan bangga melihat mereka berkolaborasi merangkai karya, membanggakan negaranya di mata dunia.
Sebaliknya, jika sistem pendidikan sudah terjebak dengan pesan-pesan politik. Jangan heran jika kelak mereka hanya akan saling kejar dalam meraih kekuasaan. Bukan saling mendukung.
Bahkan, nantinya, dari periode ke periode, fokusnya tak lebih hanya soal mempertahankan masa jabatan. Bukan menyiapkan stok-stok pemimpin baru. Padahal terkadang, tak jauh dari singgasana kekuasaan banyak siswa yang tersendat mengejar masa depannya. Banyak keluarga yang sedang berjuang mempertahankan masa kehidupannya.
*Syafbrani, Ketua Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas DKI Jakarta, bergiat di Universitas Trilogi
ADVERTISEMENT