Konten dari Pengguna

Saatnya Menjadikan Pemilu sebagai Medium Humanisasi Anak

Syafbrani ZA
X Cekgu II Suami penuh waktu dan penulis paruh waktu II Menulis buku, diantaranya: UN, The End... dan Suara Guru Suara Tuhan II Ketua Umum PTIC DKI 2021/2026 II Bergiat di Univ. Trilogi - Center for Teacher Mind Transformation (CTMT) FKIP Univ. Riau
28 Februari 2023 11:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafbrani ZA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Surat Suara Pemilu 2019. Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
Meskipun lonceng pelaksanaan kampanye Pemilu 2024 secara resmi mulai berdentang pada tanggal 28 November 2023. Tapi masyarakat sudah sangat mafhum, konstruksi-konstruksi kampanye itu sebenarnya telah lama hadir.
ADVERTISEMENT
Bahkan, jauh sebelum hadirnya tahapan-tahapan pemilu yang tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 tahun 2022 itu.
Tentu, sebagai masyarakat (biasa) kita juga tidak bisa menghentikan langkah-langkah bakal calon yang sedang menebar daya kenal itu. Toh, di antara bentuk-bentuk kampanye itu juga dihadirkan oleh masyarakat itu sendiri.
Apalagi ketika berhasrat ingin memenangkan calon-calon tertentu dan partai-partai tertentu. Maka, usaha-usaha meyakinkan keluarga, teman kongkow, atau rekan kerja agar turut serta memilih apa yang akan dipilihnya nanti itu akan terus dilakukan. Setali tiga uang, klop!
Warga menggunakan hak politiknya ketika mengikuti Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilu 2019 di TPS 02, Pasar Baru, Jakarta, Sabtu (27/4). Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Hanya saja ada satu hal yang sering terlewatkan dalam setiap perhelatan pemilu, yakni terkait penyalahgunaan anak-anak dalam kegiatan politik tersebut. Pelibatan anak dalam kampanye politik sebenarnya sudah kita sepakati sebagai larangan. Namun anehnya, dengan penuh kesadaran justru menjadi sebuah pelanggaran yang dilakukan berulang-ulang.
ADVERTISEMENT
Bahkan, pelanggarannya selama ini sepertinya hanya dikategorikan ringan saja. Para pelanggarnya merasa biasa-biasa saja. Akibat dari tidak lahirnya efek jera pada jenis pelanggaran tersebut.
Padahal KPAI sangat rajin mengingatkan sekaligus melansir jumlah kasus penyalahgunaan anak dalam setiap perhelatan kontestasi lima tahunan ini. Berkaca dari dua pemilu sebelumnya, tercatat ada 248 kasus di tahun 2014 dan 55 kasus di tahun 2019.
Selain membaca total kasus, hal penting yang perlu disadari adalah jumlah anak yang menjadi korban penyalahgunaan dalam kegiatan politik itu sendiri. KPAI sendiri juga menemukan fakta bahwa jumlah kehadiran anak lebih masif di masa-masa kampanyenya tahun 2019 silam.
Petugas KPPS menyiapkan surat suara pada pemungutan suara ulang di TPS 71, Cempaka Putih, Tangerang Selatan. Foto: Helmi Afandi/kumparan
Untuk itu, harapan kembali kita titipkan pada penyelenggaraan pemilu 2024 ini. Kita berharap pesta demokrasi bisa menjadi momentum suka cita, bukan sebaliknya selalu menghadirkan gelombang-gelombang permusuhan.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 mendatang juga diharapkan menjadi medium yang tidak hanya bisa menghindarkan bentuk-bentuk eksploitasi yang menciderai hak-hak anak, tapi juga bisa menciptakan sarana pembelajaran yang bisa menumbuhkan kepribadian-kepribadian anak yang humanis.
Mengapa harapannya demikian? Ketika kita sepakat bahwa upaya mencegah kehadiran anak dalam selebrasi kampanye sangat sulit untuk dihindari.
Maka jalan keluar yang harus dihadirkan adalah bagaimana melahirkan bentuk-bentuk kampanye yang ramah terhadap perkembangan anak itu sendiri.
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Apalagi di era kekinian, sarana kampanye hadir dengan berbagai bentuk. Tidak hanya berwujud pertemuan-pertemuan akbar tetapi juga hadir di ruang-ruang digital. Di sinilah perlunya kearifan dari setiap peserta serta seperangkat timnya yang terlibat dalam pemenangan calon yang diusungkan.
Ketika kampanye tidak lagi dijadikan ajang serang-menyerang kepribadian, namun konsisten menjadi sarana adu gagasan dalam pembangunan bangsa.
ADVERTISEMENT
Dapat dipastikan, para kontestan akan sibuk bergerak untuk fokus menjabarkan rekam jejak terbaik, bukan menjebak lawan politik dengan memutarbalikkan fakta, black campaign, dan sebagainya. Karena memang sudah saatnya mereka harus menjadi figur-figur yang mampu menjadi suri tauladan.
Sudah saatnya mereka yang sedang berebut kursi kekuasaan itu menebarkan semangat kedamaian dan kebersamaan sekaligus menguburkan perilaku yang arogan. Apalagi menghadirkan tendensi untuk menghalalkan segala cara.
Ilustrasi anak dan Pemilu. Foto: Shutter Stock
Melalui suguhan-suguhan adegan kebaikan yang simpatik dan penuh kesantunan, kelak anak-anak itu akan memiliki referensi yang positif terhadap pelaksanaan Pemilu. Mereka tidak lagi memandang Pemilu sebagai ladang bagi para gladiator yang penuh hasrat untuk saling menghabiskan. Homo homini lupus!
Tentunya, kesadaran para peserta Pemilu ini harus diikuti oleh kesadaran orang tua di rumah, guru di sekolah, tokoh-tokoh publik di lingkungan masyarakat, dan terakhir adalah para tim sukses.
ADVERTISEMENT
Bukankah kita selalu dipertontonkan dengan adegan semenit saja perdebatan para calon yang tersiar di media akan menjadi perdebatan yang tak berkesudahan di kehidupan masyarakat? Dampak dari perangai yang demikian akan menyeret anak-anak terjebak dalam perangkap pertikaian yang tidak jelas arah dan tujuannya.
Belum lagi dengan tayangan berupa kata-kata kasar serta berbagai jenis umpatan yang bergentayangan di media sosial. Praktik saling hujat antar pendukung menjadi sesuatu yang ‘khas’ bukan hanya ketika pelaksanaan pemilu, tapi ketika pemilu tersebut sudah selesai pun terus berlanjut.
Ilustrasi Media Sosial. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Loyalis-loyalis para pendukung terus melakukan serangan-serangan terhadap siapa pun yang mengkritisi lawan politiknya. Tanpa peduli bahwa semua yang terposting itu menjadi tayangan-tayangan yang akan disaksikan oleh jutaan pasang mata anak-anak itu.
ADVERTISEMENT
Dengan praktik yang demikian, sangat mustahil kita berharap polarisasi politik yang selama ini menghantui kehidupan demokrasi bangsa bisa dimusnahkan. Adanya polarisasi itu berpeluang membesar dan akan melahirkan ‘kader-kader’ barunya. Anak-anak itu akan mewarisinya.
Maka, apakah kita akan menyesali ketika mereka secara tidak langsung belajar dan akhirnya mendefinisikan bahwa berpolitik itu harus kotor, harus kasar, dan harus menghalalkan segala cara?
Apakah kita juga akan bersedih ketika mereka sempurna melakukan praktik-praktik premanisme di usianya yang masih dini?
ilustrasi ibu dan anak jelang pemilu Foto: Shutterstock
Apakah kita akan gundah ketika dalam jiwa mereka terpatri adagium tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan semata?
Satu hal lagi, persis di penghujung tahun lalu, tepatnya bersempena dengan peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, KPK mengungkapkan bahwa terhitung sejak berdirinya lembaga anti rasuah itu sudah terdapat 1.479 orang yang ditetapkan sebagai tersangka.
ADVERTISEMENT
Di antara para tersangka itu terdapat 319 orang para anggota legislatif baik DPR maupun DPRD, 23 gubernur, 163 wali kota/bupati maupun para wakilnya, serta 35 kepala lembaga atau kementerian.
Nah, apa yang akan kita harapkan ketika anak-anak itu tidak mampu lagi memandang Pemilu sebagai bagian dari perjalanan demokrasi bangsa, namun justru berpikir sebagai pintu legal bagi para (calon) pelaku korupsi untuk berkelana menggerogoti uang rakyat.
Melalui kondisi yang demikian, akan ada dua kemungkinan besar yang akan terjadi. Mereka akan tumbuh menjadi generasi yang skeptis terhadap perpolitikan tanah air atau malah menjadi aktor yang turut mendekatkan relasi kekuasaan dengan korupsi. Semoga petaka ini tidak terjadi!