Aku Gemuk, Terus Kenapa?

Syafira Maulidia
Seorang mahasiswa Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
13 Mei 2020 17:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafira Maulidia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah mengolok-olok fisikku menyenangkan bagi mereka?
Dengan berat badan 63 kg dan tinggi 158cm, jika dihitung berdasarkan Body Mass Index (BMI), aku berada di tingkat berlebih atau gemuk. Tak perlu dihitung, aku juga sadar bahwa tubuhku jauh dari kata ideal.
ADVERTISEMENT
Namun, berbeda sekali jika kalimat-kalimat tak menyenangkan keluar dari orang lain. Sering beberapa teman laki-lakiku menyebutku dengan sebutan “Ndut” sebagai kependekan dari gendut. Awalnya kuanggap hanya candaan, namun lama-kelamaan aku sadar ketidaknyamanan itu muncul karena tak pernah sekali pun aku tertawa. Ekspresi dan raut wajahku yang hanya terkekeh pelan menyembunyikan perasaanku yang sebenarnya. Apakah hanya karena tubuhku yang gemuk, aku harus kehilangan nama?
Tadinya aku menerima setiap “panggilan” tersebut sebagai sebuah kritik yang membangun. Sampai akhirnya aku mengenal tentang body shaming.
Body shaming adalah jenis bullying yang mengomentari fisik atau tubuh diri sendiri dengan cara yang negatif. Tak pernah sekali pun terlintas di benak, hal itu termasuk tindakan bullying dan bahkan beberapa sumber menganggap itu sebagai bentuk pelecehan. Laki-laki mau pun perempuan bisa mengalami ini. Mengingat masih banyak standar ganda yang berlaku di masyarakat, potensi perempuan menjadi korban lebih besar.
ADVERTISEMENT
Karena aku perempuan, aku dituntut mengikuti standar kecantikan yang secara implisit ditanamkan di masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, di Indonesia masih banyak yang menganggap cantik itu harus berkulit putih, berbadan langsing dan tinggi. Perempuan terus ditekan untuk memenuhi standar-standar ini agar bisa “diterima”, atau setidaknya tidak didiskriminasi.
Meskipun aku tidak setuju dengan semua standar itu, tersirat di benak untuk kuikuti saja mau mereka. Agar setidaknya membungkam dan menghentikan omongan-omongan tak menyenangkan dari orang lain selama ini terhadapku.
Mereka pikir mudah mengubah penampilanku dengan diet, olahraga atau semacamnya. Aku sudah mencoba semua program diet yang kutahu. Bahkan sampai yang ekstrem pun pernah kucoba. Sampai akhirnya pada tahun 2015, menjelang Ujian Nasional SMP (Sekolah Menengah Pertama), aku harus dirawat di rumah sakit karena terkena penyakit infeksi lambung. Dari situ aku sempat menyerah, karena usahaku malah mencelakakan diriku sendiri.
ADVERTISEMENT
Berlanjut tahun 2016, aku masuk SMA (Sekolah Menengah Atas) dan mencoba diet yang ringan yaitu makan oatmeal setiap harinya bersamaan dengan olahraga pilates secara rutin di rumah. Padahal aku sudah mengikuti tahap-tahapnya dengan benar, namun aku selalu gagal.
Tanpa kusadari, semua usaha itu kulakukan bukan untuk diri sendiri, tapi orang lain. Semua ini karena aku sudah muak dikomentari atas hal yang sulit kuubah. Aku juga ingin melakukannya demi kesehatan, tapi saat aku masih nyaman dengan diriku, tubuhku juga akan ikut menolak.
Aku sadar berat badan berlebih itu tidak sehat dan bisa berisiko menimbulkan banyak penyakit. Namun, tak bisakah mereka melihat diriku sebagai diriku saja? Bukan diriku yang gemuk, pendek atau apa pun itu kekurangan yang mereka lihat di diriku.
ADVERTISEMENT
Setiap mendengar kata-kata menyakitkan, aku terpaksa memasang raut wajah baik-baik saja agar orang lain tidak merasa aku sensitif atau baper (bawa perasaan). Padahal dalam hatiku teriris-iris dan sering kali mengutuk diri sendiri karena merasa buruk.
Orang selalu menganggap aku baik-baik saja dengan bercandaan menyakitkan itu. Tak pernah mereka membayangkan, satu kata celaan yang keluar dari mulut mereka, membuatku semakin membenci diri sendiri. Setiap bercermin, aku menyetujui mereka yang melontarkan komentar-komentas tentang penampilanku.
Namun, semakin lama aku sadar, membiarkan olokan mereka sama saja dengan aku mempersilahkan mereka menjatuhkanku demi kesenangan mereka. Aku tidak ingin mereka merasa bersyukur atas kekuranganku. Aku tidak ingin menghargai olokan mereka dengan senyum dan tawa palsu. Karena bukan akulah yang salah, melainkan mulut jahat mereka.
ADVERTISEMENT
Setelah kegusaran, aku berpikir aku hanya punya satu cara yaitu lawan. Hadapi mereka yang membuatku merasa terpojok dan tak nyaman. Orang tuaku membesarkanku susah payah bukan hanya untuk aku diam menerima semua ejekan tak bermoral dari orang lain.
Selama ini aku masih nyaman dengan penampilan fisikku. Aku masih bisa melakukan hal-hal yang kusuka, seperti hobiku dan passion ku. Aku ingin membuktikan bahwa kita, terutama perempuan, punya otoritas penuh terhadap penampilan kita.
Semenjak memahami body shaming, aku jadi tertarik mempelajari body positivity. Hal ini agar tak larut dalam insecurities yang selalu menghantui. Selain itu aku juga berteman dengan orang-orang yang sepemikiran, untuk menjaga energi positif pada diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Untuk orang-orang yang mengalami hal serupa sepertiku, kalian berharga. Jangan biarkan potensi dan kemampuan diri kita tertimbun. Eksplor bakat dan lakukan apapun yang kalian mau. Jangan menahan keinginan kalian hanya karna ketidakpercayaan diri. Kita tak boleh membiarkan diri “terjajah” ejekan dan celaan tak bermutu orang lain.
Jangan biarkan orang yang menjelekkanmu, menang. Jangan biarkan dirimu terus-terusan dalam posisi tak nyaman. Beri pelajaran kepada mereka soal betapa jahatnya body shaming terhadap mental seseorang. Buat mereka tak nyaman karena teguranmu.
Tak lupa, bagi siapa pun yang membaca ini. Ingat, mereka bisa saja lupa dengan perkataan sendiri, namun korban body shaming tak akan lupa dan terus percaya akan hal buruk mengenai dirinya sendiri. Seperti pepatah, mulutmu harimaumu. Dibanding tertawa di atas penderitaan orang lain, intropeksi diri sendiri jauh lebih baik, bukan?
ADVERTISEMENT
(Syafira Maulidia/Politeknik Negeri Jakarta)