Konten dari Pengguna

Pergeseran Unsur Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Timah

Syafruddin SH MH DFM
Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2005-2015) saat ini aktif mengajar sebagai dosen di tempat yang sama
4 Mei 2024 13:28 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syafruddin SH MH DFM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pergeseran Unsur Kerugian Negara dalam Kasus Korupsi Timah
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kejagung mengusut kasus tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah tahun 2015-2023 dengan menetapkan 16 orang tersangka dalam kasus ini dengan perkiraan kerugian negara 271 Triliun
ADVERTISEMENT
Namun, yang luput dari perhatian publik adalah terdapat pergeseran makna kerugian negara pasca Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menggeser delik formil menjadi delik materil pada pasal 2 UU Tipikor
Secara lengkap, rumusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU
Tipikor berbunyi:
Pasal 2 ayat (1)
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Pasal 3
ADVERTISEMENT
"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenanangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun) dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).”
Dalam konteks Putusan MK ini, Pemohon membangun argumentasi bahwa kriminalisasi lahir karena penegak hukum banyak mendakwa Aparatur Sipil Negara (ASN) karena dianggap mengeluarkan kebijakan yang merugikan keuangan negara padahal tindakan penegakan hukum yang dilakukan terhadap ASN merupakan tindakan murni penegakan hukum yang dilakukan untuk kemajuan suatu lembaga/instansi/daerah, demi menjaga tidak terjadinya penyimpangan keuangan negara yang menjadi tanggung jawabnya untuk mengelola.
ADVERTISEMENT
Dalam delik formiil, akibat bukan suatu hal yang penting dan bukan merupakan syarat selesainya suatu delik.Sedangkan, delik materiil adalah delik yang perumusannya lebih menekankan pada akibat yang dilarang, dengan kata lain pembentuk undang-undang melarang terjadinya akibat tertentu. Dalam delik materiil, akibat adalah hal yang harus ada.Selesainya,delik materiil adalah apabila akibat yang dilarang dalam rumusan delik sudah benar-benar terjadi.
Mahkamah Konstitusi pada akhirnya memberikan tafsiran bahwa salah satu unsur delik korupsi adalah bersifat “actual loss” (kerugian negara yang nyata) dan bukan “potential loss” (potensi kerugian keuangan negara atau perkiraan kerugian keuangan negara) sebagaimana selama ini diatur dan dipraktikkan.
Hal inilah yang membuat terjadinya pergeseran makna delik dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang semula merupakan delik formil dan materiil menjadi delik materiil saja sehingga Kejaksaan dalam proses pembuktian kasus korupsi Timah harus membuktikan ada actual loss sebesar 271 Triliun Rupiah dalam kasus ini
ADVERTISEMENT