Konten dari Pengguna

Puasa, Empati, dan Kesadaran Sosial

Syahirul Alim
Penulis Lepas tentang agama, sosial, dan politik. Tinggal di Tangerang Selatan
18 Maret 2025 15:29 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahirul Alim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi berbuka puasa. Foto: dotshock/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berbuka puasa. Foto: dotshock/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Seringkali kita melihat puasa sebagai ibadah yang diwajibkan bagi umat muslim yang hanya memiliki keterkaitan dengan Tuhan. Paling tidak, beberapa narasi yang berasal dari Nabi SAW menunjukkan bahwa puasa erat sekali kaitannya dengan dimensi Ketuhanan. Sebagaimana sebuah riwayat menyebut, "puasa itu untuk-Ku dan Aku sendirilah yang akan menilai puasa mereka". Riwayat tersebut sebenarnya terkait dengan niat dan motivasi, sebab perbuatan apapun akan lebih bernilai jika melibatkan Tuhan di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, puasa sepertinya lebih banyak mengajarkan dimensi sosial-kemanusiaan, melalui rasa lapar dan dahaga yang dirasakan oleh mereka yang berpuasa. Rasa lapar yang mungkin jarang sekali kita rasakan dalam hidup, justru dinikmati pada saat kita berpuasa. Dengan merasa lapar, empati kita tumbuh karena merasakan bagaimana sebenarnya rasa lapar yang kerap dirasakan mereka yang miskin, dalam situasi perang, kekacauan sosial, atau mungkin tekanan-tekanan ekonomi-politik dari para tiran. Puasa dalam konteks ini malah lebih mengangkat nilai-nilai sosial sehingga mengasah empati kita kepada sesama.
Disisi lain, puasa memiliki pengalaman sosial dan spiritual tersendiri bagi yang melaksanakannya, mengingat berbagai event sosial-keagamaan justru semarak di tengah aspek spiritual yang sedang melesat mendekati Dzat sang Maha Pencipta. Kegiatan bukber, pembagian takjil, tadarus, khataman al-Qur'an, saur on the road, dan lain sebagainya adalah realitas sosial yang semarak ditengah kekhusyukan ibadah puasa seseorang. Dengan maraknya aktivitas sosial pada saat puasa, semakin mendorong kesadaran betapa pentingnya sebuah solidaritas yang dapat merekatkan ikatan-ikatan sosial dan juga keagamaan.
ADVERTISEMENT
Saya lebih melihat puasa sebagai ibadah yang membuka jalan penting bagi kesadaran sosial, dengan daya dorong yang cukup kuat terhadap empati atau merasakan setiap "penderitaan" orang lain. Kelaparan, ketakutan, kemiskinan, kematian, dan semacamnya merupakan model penderitaan yang seringkali dirasakan setiap orang. Empati yang tumbuh pada orang berpuasa akan melihat setiap penderitaan ini adalah juga sama seperti apa yang mereka rasakan. Lapar dan dahaga cukup mendorong empati bertumbuh sehingga setiap muslim memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Mereka mudah merasakan seperti apa rasa lapar dan dahaga, sehingga semangat untuk berbagi atau mengentaskan kelaparan saudara-saudara mereka lebih penting dibanding puasa yang lebih menekankan sikap individual sekadar membangun hubungan dirinya dengan Tuhan.