Konten dari Pengguna

Ketika Meme Lebih Berbahaya dari Korupsi: Mahasiswi ITB Jadi Tumbal Kekuasaan

Syahla Anastasya
Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13 Mei 2025 13:21 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahla Anastasya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Institut Teknologi Bandung (ITB). (itb.ac.id)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Institut Teknologi Bandung (ITB). (itb.ac.id)
ADVERTISEMENT
Seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS ditangkap Bareskrim Polri pada Selasa, 6 Mei 2025. Ia diamankan di indekosnya di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Penangkapan ini diduga terkait unggahan meme yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo.
ADVERTISEMENT
Kasus ini langsung menyita perhatian publik. Banyak yang mempertanyakan: apakah kini menyuarakan kritik lewat meme lebih dianggap membahayakan negara daripada korupsi yang merugikan triliunan rupiah?
Penangkapan SSS jadi alarm bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. Meme yang seharusnya jadi medium satir dan kritik sosial, justru diperlakukan seperti ancaman keamanan nasional. Padahal, dalam sistem demokrasi, kritik terhadap pemimpin—bahkan dalam bentuk humor—adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
Yang ironis, kasus-kasus korupsi yang merugikan keuangan negara sering kali ditangani dengan proses hukum yang berlarut-larut. Bahkan, tak sedikit pelakunya yang bebas karena alasan “kurangnya bukti”. Tapi seorang mahasiswi, tanpa senjata dan hanya mengunggah gambar, justru dijerat dengan pasal-pasal karet seperti UU ITE dan pasal penghinaan terhadap penguasa.
ADVERTISEMENT
Ini tak hanya mencederai logika hukum, tapi juga memperlihatkan sikap alergi terhadap kritik dari penguasa. Ketika mahasiswa—yang semestinya menjadi agen perubahan—dilibas karena suara kritis, maka bangsa ini sedang bergerak mundur menuju represi, bukan ketertiban.
Perlu diingat, kebebasan berpendapat adalah hak asasi yang dijamin UUD 1945 Pasal 28E ayat (3). Putusan Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa kegaduhan di media sosial bukanlah tindak pidana. Lalu mengapa SSS masih dijerat secara pidana?
Ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Hari ini meme bisa jadi alasan penangkapan. Besok mungkin cuitan, tulisan, bahkan pemikiran pun bisa dianggap sebagai ancaman.
Demokrasi tidak bisa hidup dalam ketakutan. Ia butuh keberanian untuk bersuara, bahkan bila itu hanya lewat sebuah gambar. Dan saat suara kritis mulai dibungkam, maka tugas masyarakat sipil, kampus, media, dan lembaga independen adalah satu: melawan lupa, merawat ingat dan menjaga ruang kebebasan itu tetap ada.
ADVERTISEMENT