Konten dari Pengguna

Partisipasi Perempuan dalam Politik untuk Kesetaraan Gender dan Demokrasi

Syahla Torricelli Ramadan
Mahasiswa S1 Universitas Brawijaya Jurusan Ilmu Komunikasi
23 September 2024 8:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahla Torricelli Ramadan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Partisipasi perempuan dalam politik sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesetaraan gender dan terciptanya suatu negara demokrasi. (image: Syahla Torricelli Ramadan, dibuat di Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Partisipasi perempuan dalam politik sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesetaraan gender dan terciptanya suatu negara demokrasi. (image: Syahla Torricelli Ramadan, dibuat di Canva)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, masyarakat menjadi semakin sadar akan isu-isu yang sedang terjadi di sekitar mereka, salah satunya adalah isu kesetaraan gender. Banyak masyarakat di Indonesia dan seluruh dunia yang menyeruakan akan pentingnya kesetaraan gender, terutama peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, nampaknya kesetaraan gender belum bisa tercapai hingga saat ini. Peran perempuan dalam masyarakat masih terbilang cukup minim di berbagai aspek, salah satunya aspek politik.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, terdapat kebijakan afirmasi yang mengatur bahwa keterlibatan perempuan di lembaga legislatif dan lembaga lainnya adalah 30% dari total anggota. Namun, pada kenyataannya, komposisi perempuan dalam lembaga tersebut tidak pernah menyentuh angka 30%. Contohnya adalah hasil dari pemilu tahun 2019. Setelah keluarnya hasil pemilu presiden dan wakil presiden, keluar pula hasil pemilu dan komposisi dari anggota DPR RI yang akan menjabat dari tahun 2019 sampai tahun 2024. Dari 575 anggota DPR RI yang dipilih pada saat itu, 118 di antarnya adalah perempuan atau sebesar 20,5%. Komposisi anggota parlemen perempuan saat itu jelas tidak memenuhi batas minimal yang sudah ditentukan. Mirisnya lagi, angka tersebut adalah capaian tertinggi yang pernah dicapai Indonesia terkait partisipasi perempuan di ranah politik. Hal itu membuktikan betapa kecilnya peran perempuan di sistem politik Indonesia.
ADVERTISEMENT

Patriarki Merugikan Perempuan

Rendahnya partisipasi perempuan dalam politik baik di dunia maupun di Indonesia berasal dari kentalnya budaya patriarki yang dianut banyak masyarakat. Dalam pandangan patriarki, perempuan dianggap sebagai masyarakat kelas dua yang derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Perempuan sering kali diharapkan untuk menjadi submisif dan menyembunyikan keluh kesahnya, jika tidak mereka akan dicap sebagai pemberontak. Menurut Anne Phillips dari bukunya yang berjudul “Feminism and Politics”, dalam masyarakat, laki-laki diharapkan untuk menjadi dominan dalam kegiatan baik di dalam maupun di luar lingkup keluarga, sementara perempuan diharapkan untuk menerima kepemimpinan laki-laki tersebut secara pasif. Oleh karena itu, seorang perempuan tidak diharapkan untuk menjadi agen efektif dalam politik.
Dalam artikel yang diterbitkan oleh Hamoon Khelghat-Doost tentang dampak patriarki terhadap partisipasi perempuan dalam politik juga mengatakan bahwa perempuan dilihat bukan sebagai tokoh politik melainkan hanya sebagai pion yang digunakan dalam permainan politik laki-laki, sehingga menyebabkan perempuan dikecualikan dalam arena politik.
ADVERTISEMENT
Salah satu dampak nyata dari budaya patriarki dalam politik di Indonesia adalah lambatnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Sudah lebih dari 2 dekade RUU tersebut belum disahkan, padahal pekerja rumah tangga sangat rentang akan pelecehan dan eksploitasi. Lalainya pemerintah dalam mengesahkan RUU tersebut salah satu alasannya adalah karena politik hanya dilihat dalam sudut pandang patriarki.
Padahal, peran perempuan sangatlah penting. Dunia politik adalah tempat dimana kebijakan dapat dibuat yang bertujuan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat suatu negara sekaligus mensejahterakan rakyatnya. Sehingga, sudah seharusnya perempuan dilibatkan dalam politik agar dapat tercipta keputusan-keputusan yang dapat menguntungkan perempuan karena hanya perempuanlah yang dapat memahami permasalahan yang dihadapinya secara menyeluruh. Namun, patriarki membuat seolah-olah perempuan tidak punya hak dalam membuat keputusan.
ADVERTISEMENT

Feminisme dan Politik

Berdasarkan Oxford English Dictionary, feminisme adalah advokasi hak-hak perempuan berdasarkan teori kesetaraan gender. Jadi, feminisme tidak hanya mementingkan hak-hak dan kesejahteraan perempuan saja, tetapi mendorong kesetaraan pada laki-laki dan perempuan. Seperti yang dikatakan Bell Hooks dalam bukunya, ‘Feminism is for everybody’.
Melihat dari Population Connection, Denmark, Norwegia, dan Swiss adalah tiga negara dengan kesetimpangan gender paling rendah di dunia. Pengukuran tersebut diukur dari sistem Gender Inequality Index (GII) oleh United Nations (UN) yang mencakup kematian maternal, kelahiran remaja, pencapaian pendidikan menengah, perolehan kursi parlemen, dan partisipasi pasar tenaga kerja. Jika dilihat dari sistem politik yang ada pada tiga negara tersebut, semuanya melibatkan partisipasi perempuan dalam parlemen dengan angka lebih dari 30% dari total kursi. Bahkan, Norwegia memiliki 45% komposisi perempuan dalam kursi parlemen. Hal ini membuktikan bahwa partisipasi perempuan dalam politik dapat menciptakan peningkatan kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Dengan melekatnya budaya patriarki dalam sistem politik di Indonesia, feminisme merupakan ide yang harus digalakkan dalam dunia politik. Partisipasi perempuan dapat membuat Indonesia melihat dari sudut pandang baru dan menemukan serta mencari solusi atas masalah yang mungkin tidak dianggap sebagai ancaman oleh sistem politik patriarki sebelumnya. Bagaimana Indonesia akan menjalankan nilai demokrasinya jika keputusan-keputusan yang dibuat hanya berasal dari sudut pandang laki-laki dan tidak melibatkan perempuan? Perspektif feminisme muncul sebagai jawaban untuk menghapuskan patriarki dan membuka pintu kepada perempuan untuk turut andil dalam pengambilan keputusan di ranah politik.

Perempuan dalam Politik di Indonesia

Meskipun jumlahnya jauh lebih sedikit dari laki-laki, sudah ada beberapa perempuan yang menempati posisi politik di Indonesia, salah satunya adalah Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi. Beliau adalah menteri luar negeri Indonesia perempuan pertama di Indonesia yang menjabat dari tahun 2014-2019, lalu ia kembali menjabat pada 2019-2024. Selama masa jabatannya, Retno Marsudi telah membawa Indonesia menjadi lebih berkembang di kancah internasional.
ADVERTISEMENT
Dalam pimpinan Retno Marsudi, Indonesia berhasil menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020 dan anggota Dewan Hak Asasi Manusia pada tahun 2020-2022. Tidak hanya itu, Retno Marsudi pernah memperoleh penghargaan Order of Merit dari Raja Norwegia pada 2011, menjadikannya orang Indonesia pertama yang mendapatkan gelar tersebut. Lalu, ia juga pernah meraih penghargaan pada 2017 sebagai agen perubahan di bidang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan dari UN Women.
Keberhasilan Retno Marsudi sebagai Menteri Luar Negeri untuk dua periode tidak hanya membuktikan perempuan dapat menjadi tokoh politik yang baik, tetapi juga menginspirasi masyarakat, terutama perempuan, untuk bisa berpartisipasi di ranah politik. Dengan partisipasi perempuan di aspek politik, Indonesia bisa mencapai demokrasi dengan membuat keputusan-keputusan yang tidak memihak dan memenuhi kebutuhan baik laki-laki maupun perempuan, Oleh karena itu, saya rasa harus ada lebih banyak tokoh perempuan yang berkancah dalam dunia politik supaya masyarakat sadar akan pentingnya peran mereka dalam menciptakan suatu negara demokrasi.
ADVERTISEMENT