Klitih, Fenomena Kenakalan Remaja Berujung Pidana

Syahreza Zanskie
Sarjana Ilmu Komunikasi Program Studi Broadcast Journalism dari Universitas Budi Luhur, Sedang Fokus Meningkatkan Skill Content Writing dari Berita Aktual
Konten dari Pengguna
13 April 2022 17:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Syahreza Zanskie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelaku Kejahatan Klitih (pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelaku Kejahatan Klitih (pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Masa remaja merupakan fase gundah gulana mencari jati diri, beberapa ada yang menghabiskan waktunya untuk belajar, melakukan kegiatan organisasi, dan berbagai aktivitas yang positif. Terjadinya kasus "Klitih" dari pelaku yang masih remaja membuat kehidupan mereka memicu hukum dan melenceng dari kehidupan yang normal.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari Kumparan.com, Polres Boyolali menangkap 2 pemuda yang diduga melakukan kejahatan jalanan yaitu aksi Klitih. Pelaku berinisial AA (16) dan RA (17) melakukan penganiayaan tanpa sebab yang jelas kepada korban berinisial SMS (16) di kawasan Andong, Boyolali pada Selasa (29/04/2022) pukul 01.15 WIB.

Klitih dan Bagaimana Kata Tersebut Menjadi Negatif

Awalnya, klitih dimaknai sebagai aktivitas jalan-jalan atau keliling kota tanpa tujuan jelas, dan hanya bersifat mengisi waktu luang saja.
Klitih berubah menjadi perbuatan melukai atau melumpuhkan lawannya dengan kekerasan. Aksi tersebut mempunyai ciri-ciri yaitu keliling kendaraan bermotor, berkumpul bersama, serta membawa senjata tajam. Adapun senjata tajam yang digunakan yaitu pisau, gir, samurai, dan lain-lain.
Kota Yogyakarta identik dengan kejahatan klitih, pelakunya mayoritas masih kalangan pelajar, begitu pula dengan korban. Artinya semua pihak yang terlibat mayoritas masih di bawah umur. Kejahatan klitih sering beraksi pada malam hari hingga larut malam.
ADVERTISEMENT
Motif dari kejahatan tersebut sebenarnya ingin menunjukkan jati diri, membuktikan seberapa mengerikan mereka dengan cara melukai korban, dan menganggap target seperti musuh. Aksi tersebut terkadang menginginkan harta atau kekayaan dari korban, seperti uang, ponsel, atau sepeda motor.
Sebagai contoh, ada pelajar yang sedang keluar rumah mengisi waktu luang dan keliling menggunakan motor, lalu berpapasan dengan remaja dengan identitas sekolah atau geng yang berbeda. Lalu muncul provokasi saling ejek antar pihak, sehingga ada potensi terciptanya aksi kekerasan.
Sayangnya, kejahatan tersebut kini tak pandang bulu. Tindakan kriminal tersebut bukan hanya menyerang Pelajar, melainkan menyerang masyarakat umum secara acak. Masyarakat khawatir untuk keluar rumah, terutama saat tengah malam, tentu itu merugikan ketertiban masyarakat.
ADVERTISEMENT

Kenakalan Remaja Menurut Kriminologi

Dalam Ilmu Kriminologi, terdapat teori perkembangan atau biasa disebut Moral Development Theory, teori tersebut menjelaskan tahap perkembangan pikiran manusia. pertama ialah tahap pra-konvensional (Umur 9–11 tahun), yaitu seorang anak umumnya berpikir “lakukan” atau “tidak lakukan”.
Lalu disusul dengan tahap konvensional (Umur 12–20 tahun), biasa dikenal tahap remaja, dimulai dengan mencari jati diri, serta berusaha mengadopsi nilai-nilai di masyarakat.
Kenakalan remaja (Juvenile Delinquency) diposisikan sebagai sumber patologis sosial, yang mana semua perbuatan dari remaja tersebut bertentangan dengan norma, stabilitas, moral, disiplin, dan hukum pada lingkungan sosial.
Singkatnya, juvenile delinquency ialah anak-anak muda yang melakukan kejahatan karena muncul motivasi agar mendapatkan perhatian, status sosial, dan penghargaan dari lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Remaja delinkuen mengalami defisien moral, artinya suatu kondisi individu yang hidupnya delinkuen (nakal, jahat), selalu melakukan aksi kejahatan dan bertingkah laku asosial, tetapi tidak mengalami gangguan pada fungsi inteleknya. Penyimpangan dari remaja delinkuen bersifat psikosis dan regresi dalam konteks kemanusiaan, sehingga sering berpotensi melakukan kekerasan, kejahatan, dan melanggar hukum.
Dapat dikatakan teori tersebut berkaitan dengan kasus klitih di Boyolali, remaja laki-laki berinisial AA (16) dan RA (17) pelaku klitih mengalami defisien moral. pengidap tersebut cenderung tidak menyadari, memahami, mengendalikan, mengatur emosi dan tingkah laku dirinya.

Faktor Struktural Kejahatan Klitih

Faktor lingkungan menjadi penentu dari kurangnya kesadaran diri para remaja dalam memilih ruang lingkup untuk bersosialisasi, serta kesulitan menunjukkan perannya dalam masyarakat. Lemahnya kemampuan untuk mengontrol diri membuat remaja kesulitan dalam memfilter berbagai perilaku yang dilihat.
ADVERTISEMENT
Literasi pendidikan dari segi hukum menjadi jebakan bagi remaja dalam berperilaku. Fase remaja terkadang terlalu berahi untuk menunjukkan peran dan jati dirinya di hadapan masyarakat. Oleh karenanya, remaja cenderung apatis terhadap peraturan, serta cerdas mencari celah dari regulasi untuk melakukan sesuatu yang tidak lazim dilakukan seusianya, itu semua demi sebuah pengakuan.

Berbagai Upaya Meminimalisasi Kejahatan Klitih

Pada kasus klitih, hukuman bagi remaja atau anak-anak yang melanggar hukum bisa berupa pembinaan bahkan penjara. Akan tetapi, hukuman seharusnya dibina sesuai dengan minat atau keterampilan bakat, sebagai antisipasi agar perilaku mereka di masa depan tidak merugikan orang lain.
Sesuai dengan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak pasal 71 ayat (1), sanksi pidana utama terhadap anak terdiri dari;
ADVERTISEMENT
A) Pidana peringatan
B) Pidana dengan syarat; (1) pembinaan di luar lembaga, (2) pelayanan masyarakat, (3) atau pengawasan
C) Pelatihan kerja
D) Pembinaan kerja
E) Penjara.
Menangani aksi klitih perlu sinergi antara aparat penegak hukum dan masyarakat demi mencegah dan menanggulangi aksi klitih di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Upaya pre-emtif merupakan upaya awal dari kepolisian mencegah terjadinya niat jahat dalam kesempatan, biasanya berupa penanaman nilai dan norma kemasyarakatan.
Contoh singkatnya melakukan penyuluhan di sekolah secara rutin untuk mensosialisasikan akibat dari aksi kriminal beserta sanksinya, lalu sosialisasi dengan kelompok masyarakat dan orang tua, dan meminta mengawasi perilaku anaknya agar dijauhkan dari sifat kejahatan.
Upaya preventif merupakan upaya tindak lanjut dari upaya pre-emtif. Pada upaya ini, terdapat tindakan untuk mencegah terjadinya suatu kejahatan. Seperti melakukan patroli pada lingkungan rawan klitih, dan mengimbau masyarakat untuk tidak keluar malam apabila tak ada kepentingan.
ADVERTISEMENT
Kepolisian sebagai aparat penegak hukum juga berwenang menjalani upaya represif, maksudnya ialah upaya penegakan hukum atas suatu kejahatan yang telah terjadi. Seperti aksi penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penyidikan dan melimpahkan berkas perkara ke pengadilan untuk diproses. Dengan harap pelaku merasakan efek jera dari perbuatan kejahatan klitih.
Dari faktor dan berbagai upaya mengenai kejahatan klitih, penegakan hukum jadi fokus utama untuk menghukum pelaku klitih agar merasa jera. Begitu pula dengan peran keluarga serta masyarakat sebagai elemen pembentukan jati diri anak-anak dan remaja, sehingga diharapkan jauh dari perbuatan negatif.

Referensi:

Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 : Gangguan-gangguan Kejiwaan, Jakarta: Rajawali, 1986. hal 209
Topo Santoso dan Eva Achjani, Kriminologi cetakan ke 3, Jakarta: Rajagrafindo Pers, 2003. hal 53
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Pemidanaan Anak