Konten dari Pengguna
Keadilan Konstitusional di tengah Ketimpangan Ekologis
5 November 2025 16:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
Kiriman Pengguna
Keadilan Konstitusional di tengah Ketimpangan Ekologis
Putusan MK No. 181/PUU-XXII/2024 menandai babak baru hukum lingkungan Indonesia — menegakkan keadilan ekologis di tengah ketimpangan antara negara, korporasi, dan masyarakat adat. #userstoryDr. Ridwan Syaidi Tarigan M.H.
Tulisan dari Dr. Ridwan Syaidi Tarigan M.H. tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengukir tonggak penting dalam sejarah hukum lingkungan Indonesia melalui Putusan Nomor 181/PUU-XXII/2024. Dalam putusan ini, MK menegaskan bahwa masyarakat hukum adat tidak diwajibkan memperoleh izin pemerintah untuk berkebun di kawasan hutan, sepanjang kegiatan itu bersifat nonkomersial dan berdasarkan kearifan lokal.
ADVERTISEMENT
Di balik amar yang tampak sederhana itu, tersimpan pesan konstitusional yang kuat: koreksi atas ketimpangan struktural antara negara, korporasi, dan masyarakat adat dalam mengakses sumber daya alam. Putusan ini bukan sekadar tentang izin berkebun, melainkan tentang bagaimana hukum harus berpihak pada keadilan ekologis—keadilan yang memulihkan hubungan manusia dan alam.
Ketimpangan Ekologis dan Wajah Ganda Hukum
Selama puluhan tahun, kebijakan kehutanan Indonesia berjalan di bawah paradigma pembangunan yang antroposentris. Hutan dijadikan sumber ekonomi negara dan manusia—khususnya yang berkuasa—ditempatkan sebagai pengatur tunggal atas alam. Dengan dalih pembangunan dan konservasi, jutaan hektare hutan dikonversi menjadi lahan industri, perkebunan, dan tambang.
Namun di sisi lain, masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada hutan justru dikriminalisasi karena dianggap “mengganggu kawasan hutan negara”. Hukum yang seharusnya melindungi rakyat malah berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan. Inilah wajah ganda hukum kita: tajam ke bawah, tumpul ke atas.
ADVERTISEMENT
Putusan MK No. 181/PUU-XXII/2024 menjadi koreksi terhadap situasi itu. MK menegaskan bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, tidak identik dengan kepemilikan absolut. Negara hanyalah pengemban amanat konstitusi untuk mengatur dan melindungi demi kemakmuran rakyat—termasuk masyarakat hukum adat.
Keadilan Ekologis sebagai Amanat Konstitusi
Keadilan ekologis (ecological justice) menolak dikotomi palsu antara pembangunan dan lingkungan. Perlindungan alam tidak boleh dilakukan dengan menyingkirkan masyarakat yang hidup di dalamnya. Justru, keberlanjutan ekosistem hanya mungkin dicapai jika hak sosial dan budaya masyarakat lokal dihormati.
MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa aktivitas bercocok tanam masyarakat adat merupakan bagian dari sistem sosial dan budaya yang telah hidup jauh sebelum hukum negara modern hadir. Karena itu, menjadikannya sebagai pelanggaran hukum sama dengan mengingkari akar peradaban bangsa sendiri.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, putusan ini bukan hanya soal hukum kehutanan, melainkan makna hidup dari konstitusi itu sendiri. Ia meneguhkan kembali Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Antara Korporasi dan Komunitas
Realitas di lapangan menunjukkan ketimpangan yang mencolok: korporasi dengan mudah mengantongi izin jutaan hektare lahan, sementara masyarakat adat dipaksa keluar dari tanah leluhurnya. Ketika hukum hanya berpihak pada kekuasaan ekonomi, keadilan menjadi barang mewah.
Putusan MK ini hadir sebagai penyeimbang moral bagi negara hukum yang terlalu lama berpihak pada modal. Ia mengingatkan bahwa legalitas perizinan tidak boleh menghapus legitimasi sosial. Hak atas tanah, hutan, dan lingkungan bukan semata perkara administratif, melainkan juga persoalan martabat manusia dan kelestarian bangsa.
ADVERTISEMENT
Dari Putusan ke Kebijakan
Tantangan berikutnya adalah implementasi. Sejarah mencatat, banyak putusan MK berhenti di atas kertas. Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), perlu segera menyusun regulasi turunan yang memperjelas batas wilayah adat, jenis kegiatan nonkomersial yang diakui, serta mekanisme koordinasi dengan lembaga adat.
Lebih dari itu, percepatan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat menjadi kunci utama agar pengakuan konstitusional ini memiliki dasar hukum yang komprehensif. Negara tidak boleh berhenti pada pengakuan yudisial, tetapi harus mewujudkannya dalam kebijakan yang berpihak dan berkeadilan.
Menutup Ketimpangan dengan Nurani Konstitusi
Putusan MK No. 181/PUU-XXII/2024 adalah pengingat bahwa hukum seharusnya menyapa rakyat, bukan menakut-nakuti mereka. Negara hukum sejati bukanlah yang membatasi rakyat dengan izin, melainkan yang memberdayakan melalui pengakuan.
ADVERTISEMENT
Keadilan konstitusional sejati tidak sekadar menegakkan peraturan, tetapi menghadirkan nurani dalam kebijakan publik: ketika hutan dijaga bukan karena izin, melainkan karena cinta; ketika masyarakat adat dihormati bukan karena tekanan hukum, melainkan karena keinsafan moral—di sanalah konstitusi benar-benar hidup, di tengah denyut bumi dan rakyatnya.

